Bab 10. Penampakan
Begitu asyiknya berjalan-jalan dengan Afkar, Khalisa baru menyadari bahwa gelap semakin larut. Jam di ponsel bututnya sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.
“Duh, dasar aku. Kampungan banget sih, jarang main jadi begini nih, lupa waktu.”
Mengancingkan jaket Afkar lebih rapat juga memasangkan topi hangatnya, Khalisa menggendong Afkar yang masih asyik memijakkan kaki ke sana kemari di lokasi alun-alun Kota Bandung yang mulai sepi. Menggendongnya menggunakan kain jarik yang tersimpan lama di lemari sebab gendongan bayi yang biasa dipakai sudah kurang layak dipakai bepergian. Mengencangkan simpulnya, memastikan sang anak dilingkupi kehangatan.
“Kita pulang ya, Sayang. Nanti kapan-kapan kita main lagi. Afkar juga sudah waktunya bobo.”
“Af nantuk, Unda. Tapi asyik,” ujarnya sembari menguap lebar.
“Ya sudah, sekarang Af merem ya, bobo di gendongan Bunda.” Khalisa mengecup pipi gembul sang anak, lalu memeluknya erat sembari mengayunkan kaki menuju pinggiran jalan, menunggu angkutan umum jurusan ke tempatnya pulang melintas.
Dua puluh menit berlalu, angkutan jurusan yang ditunggunya tak kunjung datang. Trotoar di sekitarnya mulai lengang. Beberapa orang yang tadi sama-sama menunggu angkot sudah lebih dulu menaiki jurusan masing-masing.
Di sisi kanan dan kirinya tinggal dua orang pemuda yang sejak sepuluh menit lalu ikut berdiri tak jauh dari Khalisa. Mereka tak terlihat berniat mencegat angkot, terus menerus melirik padanya.
Riak tak aman menyeruak menyapa tengkuk. Khalisa menarik napas gelisah. Rasa takut mulai merambati punggungnya. Memutar otak, ia berpikir keras, mengamati lokasi sekitar. Lantaran tak mengamati dengan benar sebelumnya, ia baru menyadari tempatnya mencegat angkot merupakan kawasan yang minim penerangan. Matanya berlarian panik memetakan arah, mencari celah memungkinkan menyelamatkan diri andai terjadi hal darurat yang terus berlalu-lalang di benaknya.
“Hei cantik, mau ke mana? Abang antar.” Si pemuda berambut gondrong yang berada di sisi kanan menyapa dengan nada mencurigakan.
Matanya jelalatan memindai Khalisa yang tetap memikat cantiknya meski dalam dandanan super sederhana, hanya mengenakan blus longgar sebetis. Rambut hitamnya kendati dikuncir sembarang tetap tak kehilangan kilaunya. Kulitnya bersih putih langsat. Hidung bangir, bibir mungil merah muda, dengan alis hitam terbentuk rapi sejak lahir membingkai manik sendunya.
“Tidak usah, Bang. Saya nunggu angkot saja. Silakan duluan,” jawab Khalisa, bola matanya bergulir resah meredam kepanikan.
Erat, Khalisa mendekap Afkar yang berangsur terlelap. Sembari berusaha untuk tetap tidak gemetaran meski jujur saja itu sulit. Ingin berteriak minta tolong juga tidak terlihat ada orang lewat.
“Enggak baik nolak rezeki. Kalau enggak mau sama Abang itu, bagaimana kalau sama Mas saja diantar pulangnya? Pakai motor,” tawar yang satunya lagi dengan nada tak kalah mencurigakan lalu menyeret langkah mendekat. Membuat Khalisa kian panik, mati-matian mengokohkan lututnya yang lunglai diserbu rasa takut yang kian bertambah intensitasnya.
Atmosfer tidak aman berembus kencang. Kendaraan semakin jarang yang melintas mengingat waktu semakin malam. Hanya beberapa mobil pribadi yang melaju lewat dan itu pun dalam kecepatan tinggi.
Melalui kedua sudut mata Khalisa dapat melihat, si dua pemuda mencurigakan itu mengikis jarak, kian mendekat.
Terdorong rasa takut yang kian menghebat, Khalisa menguatkan tekadnya, mengambil ancang-ancang untuk berlari ke sisi kiri menuju jembatan penyeberangan. Akan tetapi, niatannya meletus sudah saat terdengar suara gaduh di belakang punggungnya. Disusul suara ribut hantaman juga teriakan.
Dari ujung kepala hingga kaki, Khalisa gemetaran ketakutan tak ubahnya gempa dahsyat. Saat suara gaduh berkurang, ia memberanikan diri berbalik. Tercengang begitu disuguhi pemandangan tak terduga.
Di belakangnya dua pemuda yang tadi mengganggunya terkapar dengan dahi berdarah. Dua orang pria adalah pelaku yang membuat si dua pemuda mencurigakan mengaduh. Dua orang pria gagah rupawan.
“Kena kalian!” Si pria berbaju polisi berseru sembari mengunci pergerakan si dua pemuda yang terkapar. “Katakan, siapa yang menyuruh kalian melakukan teror pelemparan batu pada kendaraan di jalanan!”
“Ampun, Pak. Kita enggak disuruh siapa-siapa, cuma iseng bercanda, sumpah,” ujar mereka kehilangan taringnya. Merengek seperti bayi.
“Bohong! Saya tak butuh sumpah omong kosongmu. Jelaskan semuanya di kantor polisi! Yudhis, pegangi mereka, aku akan menghubungi petugas patroli lain untuk membawa si pelaku pelemparan batu ini.”
“Ghai, tunggu. Coba lihat baik-baik.” Si pria berjas biru yang dipanggil Yudhis itu kembali bersuara.
“Bukankan si gondrong ini oknum yang sedang dicari-cari juga? Si maling jemuran pakaian dalam yang akhir-akhir ini meresahkan warga perumahan-perumahan di daerah Bandung Kota. Dasar penjahat otak mesum!” Si pria berjas biru memelintir kian kencang kedua lengan salah satu preman hingga kembali mengaduh.
“Hah, p-pakaian dalam?” refleks Khalisa berkomentar meski tergagap akibat masih dilanda keterkejutan. Ia masih gemetaran, langkahnya membeku, seolah kakinya dipaku ke tanah.
Dua orang pria itu baru menyadari akan kehadiran orang lainnya di sana. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Mereka berjengit nyaris terjengkang, mendapati sosok wanita cantik pucat pasi yang menggendong balita, berdiri tak jauh dari pohon rindang di sisi trotoar.
“Astaghfirullahaladzim! K-kamu manusia atau kuntilanak!” seru si pria berjas biru spontan setengah berteriak.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
msk kunti gendong anak mas Yudhis 😂😂🙈🙈
2023-12-29
1
asfar arahman
bang yudhis...ngak ada dong kuntilanak cantik spt khalisa...
2023-02-23
1
h a y u
Calon istri bang
2023-01-26
1