Bab 6. Iri
Menghampiri Dion yang sedang mengepak beberapa baju ganti ke dalam ransel, Khalisa menyeret langkah. Meremat jari-jemari kemudian berkata, “Biar aku saja yang berbenah, Mas. Mumpung Afkar lagi asyik nonton kartun,” tawarnya lembut.
“Enggak usah, Khal. Kamu kalau ngepak barang suka ribet, kebanyakan perintilan yang dimasukkin. Aku jadi pusing sendiri nantinya pas mau ada perlu dengan isi tas. Biar aku saja,” tolak Dion sembari memilah celana formal yang tergantung di lemari. Nada bicaranya memang biasa saja, tetapi isi kalimat Dion menyusupkan nelangsa ke dalam hati Khalisa, walaupun komentar serupa bukan hal baru lagi baginya.
“Maaf,” cicit Khalisa, memelintir ujung daster yang dipakainya.
“Kenapa masih diam di situ?” tanya Dion penasaran, melirik istrinya di tengah-tengah kegiatan berbenah sebab Khalisa tak kunjung beranjak. Dia tampak risi disatroni berbenah, seolah-olah ada hal yang tidak ingin diketahui Khalisa yang akan dimasukkannya ke dalam tas.
“I-ini, Mas. Aku ... aku mau tanya tentang sesuatu,” cicitnya takut-takut, terdengar gelisah.
“Tanya apa? Ngomong aja, Khal,” sahut Dion.
Meski terlihat bingung mengutarakan, Khalisa memberanikan diri membuka suara. “Begini, Mas, aku mau tanya tentang uang jatah belanja selama tiga hari kalian pergi. Karena aku dan Afkar kan enggak ikut, jadi aku harus tetap masak, terutama buat Afkar,” tuturnya hati-hati.
“Bukannya ibu selalu membeli sembako untuk satu bulan penuh? Ini baru pertengahan bulan kan, masa iya sudah habis lagi?” Dion menunda melanjutkan mengepak barang.
“Kalau sembako kering masih ada, Mas. Tapi yang kumaksud ini uang untuk membeli lauk-pauk harian, buat beli sayur dan ikan, yang biasa ibu kasih ke aku buat belanja bahan masakan setiap harinya,” jelasnya meski sungkan.
“Oh, kalau tentang itu kamu minta langsung saja sama Ibu. Tahu sendiri kan, uang gajiku ibu yang mengelola, sesuai kesepakatan kita, karena orang tua lebih paham cara mengatur keuangan dibanding yang masih muda,” jawab Dion enteng, pura-pura tak paham akan air muka Khalisa yang frustrasi diberi usulan semacam itu.
Menggigit bibir, Khalisa mencoba menjelaskan lagi. “Tapi kalau boleh, untuk kali ini aku pingin mintanya sama Mas, kayak istri-istri pada umumnya yang meminta atau diberi uang belanja oleh suaminya langsung. Nanti tinggal Mas minta ganti uangnya sama Ibu, lagian aku enggak enak ganggu Ibu yang pasti juga lagi berbenah,” ujar Khalisa beralasan, lantaran sebenarnya tidak demikian.
Respons Wulan pasti mencak-mencak setiap kali Khalisa berani meminta uang terlebih dahulu, mengatainya lancang. Harus bersabar menunggu sampai diberi jatah oleh mertuanya itu. Uang yang dibagi pun ialah jatah untuk keperluan makan sekeluarga sehari-sehari, yang paling hanya tersisa dua ribu atau tiga ribu rupiah saja per harinya.
“Uang di dompetku ini sudah pas jumlahnya jatah buat beli bensin sebulan, makan siangku sebulan sama jatah daruratku sebulan. Kamu minta saja sama Ibu nanti, kalau takut ganggu, mintanya nanti pas kita mau berangkat.” Dion tak peka akan alasan Khalisa, padahal dia juga tahu ibunya sering mencerocos blong remnya di saat Khalisa menyinggung masalah keuangan.
Jatah untuk keperluan pribadi Khalisa yang hanya secuil dari Wulan, sudah raib sejak tiga tahun silam, tepatnya setelah Afkar lahir. Wulan berdalih keperluan Afkar lebih utama, Wulan juga mengatakan sebagai seorang ibu Khalisa dituntut untuk mengalah, harus lebih memprioritaskan kebutuhan anak dan jangan lagi memikirkan kebutuhan pribadi sendiri.
Kenyataan itu tak sesuai dengan perkataan Wulan. Wulan dan Dania sering berbelanja barang-barang pribadi yang bagi Khalisa harganya relatif mahal. Pernah suatu kali Khalisa protes pada Dion, ingin membeli barang yang sama, berakhir dengan keributan saat Wulan mengetahuinya, mengatakan bahwa Khalisa tidak memerlukan barang-barang seperti miliknya juga Dania. Lagi pula Khalisa mau pergi ke mana, tidak pernah ada acara penting yang mengundang kehadirannya. Mau itu tetangga ataupun sanak saudara Dion. Hanya di rumah saja daster murah pun cukup.
Dion seolah tak peduli lagi tentang perasaan Khalisa meski tidak diungkap gamblang. Dulu Dion tak separah ini walau banyak didominasi kontrol ibunya. Seiring waktu berlalu, dia malah termakan omongan miring orang-orang tentang istrinya sendiri.
Sebagai suami dia bukannya membela, malah lebih peduli terhadap imagenya sendiri. Tak ingat lagi akan kata cintanya dulu pada si gadis lugu cantik jelita, dulu dia tak peduli dengan omongan orang-orang bahkan tentangan ibunya sendiri. Berjuang gigih meski tahu dari mana Khalisa berasal. Bertubinya omongan miring orang-orang, seiring waktu berlalu, di mata Dion arti Khalisa memudar. Terlebih ibunya yang sejak awal tidak begitu suka dengan Khalisa terus mendoktrinnya. Belum lagi sanak saudaranya getol menyindirnya membuat Dion bosan juga jengah.
Namun, melepaskan juga dia belum ingin. Ada rasa tak rela yang didustakannya, Khalisa yang patuh dan telaten melayani kebutuhan keluarganya masih dibutuhkan Dion. Kehadiran anak pun tak banyak menggerakkan hati keluarga Dion. Mereka terkesan tak begitu peduli akan kehadiran si bocah lucu nan tampan itu. Wulan pun tidak seperti sosok nenek pada umumnya, yang berbangga dan berbahagia ketika memiliki cucu. Wulan justru terkesan menyembunyikan menantu serta cucunya. Sebab orang-orang sekitar juga kerabatnya kerap bergunjing setiap melihat kemunculan Khalisa. Berbisik menyindir, menyebut Khalisa keturunan penuh noda dosa yang darahnya ikut mengalir di nadi Afkar.
Mendesah lelah, Khalisa akhirnya mengangguk saja. “Ya sudah, nanti aku tanya sama ibu.” Khalisa mau tak mau menguatkan diri untuk meminta sendiri pada Wulan. Andai tak memikirkan gizi Afkar, Khalisa amat enggan membuka topik tentang uang dengan ibu mertuanya. Mencari pekerjaan pun ia tak punya banyak waktu luang, setiap menitnya habis untuk diabdikan di rumah mertuanya.
“Mbak Khalisa, Mbak!” terdengar teriakan Dania memanggil-manggilnya lantang.
Bergegas keluar dari kamar, Khalisa hampir saja bertabrakan dengan Dania yang berlarian
“Ish, hati-hati dong, Mbak! Kalau nabrak aku gimana?” protes Dania kesal. Padahal, dia sendiri yang salah.
“Iya, maaf, Mbak ceroboh. Ada apa, Nia?” tanya Khalisa, tidak ingin memperpanjang perdebatan.
“Jahitin pinggiran pinggang gaunku yang mau kubawa pergi. Tukang jahitnya gak bener ngukurnya, kelonggaran. Cepetan ya, yang rapi. Soalnya mau aku masukin tas, takut ketinggalan, nanti diomelin sama ibu.” Dania memberikan gaun satin berwarna hijau mint pada Khalisa, memberi titah seenak jidat tidak ingat tata-krama, kemudian berlalu santai melenggang ke dapur.
Membolak-balik baju Dania, Khalisa merasa iri. Gaun satinnya begitu cantik. Kemarin ia juga mencuci gaun dengan bahan yang sama hanya berbeda model serta ukuran, gaun baru milik Wulan yang dicuci dan disetrikanya penuh kehati-hatian, jangan sampai merusaknya. Baru tahu ternyata Dania juga dibuatkan satu, sedangkan ia sama sekali tak mendapat bagian.
“Warna baju kesukaanku,” gumamnya mendamba, sembari meraba kehalusan serat kain.
Menghela napas dalam-dalam dan mengubur keinginannya itulah yang kerap dilakukan Khalisa, yang terpenting kebutuhan si buah hati penerang jiwanya selalu tercukupi. Kendati tanpa Khalisa ketahui, kebutuhan yang dibelikan mertuanya untuk Afkar kebanyakan barang berkualitas rendah. Barang-barang diskon yang harganya sangat murah.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Syarifah Ainun
g kuat bacanya
2024-11-13
0
Ita Mariyanti
br bc karya mu beberapa part tp brasa tensi ku naek 😁😁😁 gemes sm karakter Dion yg bodoh 😂😂✌️✌️✌️ Thor
2023-12-28
0
Ita Mariyanti
ki laki egois bgt... mnta d lmpar k jurang 😡😡
2023-12-28
0