Bab 14. Ironi
“Mas, masa kita libur di rumah terus sih? Ngamar lagi ngamar lagi. Aku kepingin jalan-jalan, berdua saja, tanpa Mami maupun Ibu. Ke mall misalnya. Sambil beli tambahan keperluan bayi, terus cari makan enak.”
Amanda yang barus selesai mandi sore setelah berpeluh bersama dengan Dion satu jam ke belakang tadi, duduk di pangkuan Dion masih dalam balutan selembar handuk putih. “Jarang-jarang kan, kita punya waktu panjang berduaan terus kayak gini.”
“Tapi kamu juga suka kan ngamar berdua terus?” Dion mencolek pipi Amanda yang sedang cemberut. “Karena aku suka,” bisik Dion berhasrat ke telinga Amanda.
Gairah kelelakiannya pada Khalisa memang berangsur padam semejak kontaminasi ejekan buruk terhadap istrinya itu sepenuhnya mempengaruhinya. Terlebih lagi doktrin Wulan yang tak henti dilancarkan membuat Dion dengan mudahnya berpaling pada yang lain. Ikut silau akan harta, tahta, dan kasta. Ikut terseret arus ibunya. Padahal, ditilik dari sudut manapun, Khalisa jelas lebih cantik kendati lusuh tak terurus. Hanya saja Dion telah buta oleh silaunya Amanda yang berpunya.
Namun, entah kenapa Dion selalu merasa berat melepas Khalisa didorong segigih apa pun oleh Wulan. Padahal, Khalisa sudah tak lagi diperlakukannya selayaknya seorang istri, tidak secuil pun merasa kasihan pada si malang dan lebih betah mengikatnya tak peduli Khalisa
suka atau tidak, lebih tepatnya memenjarakannya di sisinya.
“Ya suka dong, Mas. Kalau enggak, mana mungkin seprai di kasur kita sering diganti,” sahut Amanda manja.
“Ya sudah, kalau suka, gimana kalau kita mengotori seprai lagi?” ujar Dion penuh arti.
“Ih, enggak ah. Aku pingin jalan-jalan pokoknya!” Pribadi Amanda yang semakin ke sini terbilang keras kepala memang lumayan susah dibujuk. Memaksa Dion untuk mengiyakan daripada Amanda merajuk dan mengadu pada ibu mertuanya.
“Oke deh, jangan ngambek lagi. Tunggu lima belas menit. Kita pergi jalan-jalan.”
*****
“Ini dasternya.” Windy menyerahkan kantong berisi daster ruflle berwarna pink yang diinginkan Khalisa. Diterima penuh sukacita oleh si wanita cantik berkulit putih langsat itu dengan tangan sedikit gemetar serta mata berbinar. “Dan ini, buat beli bakso.” Satu lembar uang lima puluh ribu dan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah diselipkan Windy ke tangan Khalisa.
“Win, ini kok banyak banget, kalau cuma buat bakso. Lima belas ribu juga cukup,” ujarnya sungkan. Khalisa hendak mengembalikannya pada Windi karena baginya nominal ini terbilang banyak, diberi daster tanpa harus membayar dengan uang saja Khalisa sudah sangat bersyukur.
“Enggak kebanyakan, kok. Kerjaan kamu rapi dan teliti. Jadi ini sepadan. Kebetulan hari ini yang bayar kreditan lancar semua. Ini buat beli bakso sama jajan Afkar,” jelas Windy, menahan tangan Khalisa yang hendak mengembalikan uang.
“Beneran ini buat aku,” cicit Khalisa senang, juga tak percaya.
“Iya beneran, tolong diterima ya. Yang enam puluh ribu buat kamu sama Afkar. Sepuluh ribunya buat ongkos angkot. Maaf ya, aku enggak bisa anterin pulang, suamiku sebentar lagi pulang kerja. Biasanya dia pulang malam. Tapi Toko kelontong tempatnya bekerja tutup lebih awal di hari Sabtu.”
“Enggak apa-apa Win, jangan ngerepotin. Aku pulang naik angkot saja. Makasih banyak lho, lain kali, kalau orang-orang di rumahku lagi pergi, aku boleh bantuin lagi enggak?” tanya Khalisa penuh harap, raut wajahnya kentara amat gembira bukan kepalang. Menerima uang dari hasil jerih payah sendiri ternyata terasa manis, berbeda rasa dari yang biasa diberikan Wulan padanya.
“Boleh banget dong. Kirim pesan ke nomorku kalau kamu ada waktu senggang lagi. Hati-hati pulangnya ya.”
Dengan langkah ringan, Khalisa berjalan pulang menyusuri gang di mana Windy tinggal. Jaraknya dari rumah Wulan sekitar tiga puluh menit ditempuh menggunakan angkutan umum.
Menengadahkan pandangan pada langit biru cerah dihiasi awan putih bergerombol riang, di benaknya terlintas sesuatu. Khalisa memutuskan mampir ke restoran cepat saji yang lokasinya dekat alun-alun kota sebelum pulang ke rumah. Ditempuh dengan berjalan kaki dari depan gang tidak terlalu jauh.
Khalisa pernah merasa sedih untuk putra kesayangannya. Kesedihan yang ditelannya bulat-bulat. Beberapa waktu lalu ketika anak salah satu tetangganya berulang tahun, Afkar tidak turut diundang, tersisih seperti biasa dan Wulan sebagai nenek juga Dion sebagai ayah yang telah banyak didoktrin ibu mertuanya itu tak bertindak apa pun.
Ia dan Afkar hanya bisa menyaksikan dari jauh melalui jendela dapur. Sebagai seorang ibu hatinya tercabik perih meski Afkar tidak merengek maupun mengeluh ingin. Nelangsa tak terkira melihat anak-anak lain bubar dengan riang sembari menenteng makanan dalam kardus berwarna merah berlogo huruf M.
“Mumpung baru jam empat terus Bunda juga lagi punya uang lebih, Af makan sorenya di restoran yang bungkus makanannya warna merah itu, mau?” tanyanya pada sang anak yang bergelung nyaman dalam gendongan kain jariknya.
“Mau, Unda, mau,” jawab si bocah pintar yang baru saja terbangun itu, setelah tidur sesiangan ini di tempat Windy, membiarkan ibunya leluasa bekerja. “Yang walna melah kuning itu ya, Unda?”
“Iya, Sayangku, yuk kita berangkat,” cicitnya bersemangat. Mempercepat ayunan langkah diiringi senyum mengembang lebar.
Seberkas awan kelabu melintas sekilas di atas kepala Khalisa, seolah ikut bersedih akan nasib si penghuni Bumi di bawahnya. Di mana Khalisa bersusah payah demi sepotong daster juga demi mengukir senyuman di wajah buah hatinya, sementara pria yang disanjungnya sebagai suami juga ayah dari anaknya, sedang bersenang-senang memanjakan wanita lain. Sungguh ironi.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
Cipika Cipiki
penggambaran sikonnya perih banget ya Alloh 🥺 Othornya pintar plus 🌟
2024-01-24
0
Muti
nyesekkkk bngettt Thor meleh trus ni air mataku 😭😭😭
2024-01-06
0
Ita Mariyanti
pinter bgt nulis karya sesedih ini Thor 😊😊😊
2023-12-29
0