Kedua calon pasutri itu duduk saling berhadapan dibatasi meja bundar yang bertatakan piring-piring makanan yang sementara dikonsumsi oleh mereka dengan lambat-lambat menerapkan pola mindfull eating agar merasakan kenyang dan puas dalam waktu yang bersamaan secara sehat.
"Kupikir, kamu akan ragu menjawab pertanyaan Mama." ujar Arya dengan senyum dan menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya kemudian mengunyahnya dengan pelan.
"Aku memahami karakter dan sifat dari seorang Ibu, Arya." sahut Kamala sembari menyuapkan sepotong bistik ke mulutnya. Ia menikmatinya dengan gigitan-gigitan kecil mengoyak dan melumatkan serat-serat daging panggang itu dalam barisan giginya yang terpancang teguh didinding-dinding gusi.
"Jangan lupa kalau aku seorang konselor, Arya. Bahan kajian seorang konselor sama dengan seorang psikolog." sambung Kamala setelah menelan beefsteak itu dan melancarkan kerongkongannya dengan seteguk air.
Arya mengangguk-angguk. "Berarti aku tak perlu mengkuatirkan apapun." gumamnya kembali menyantap lagi sesendok makanan yang ia suapkan ke mulutnya.
Kamala tersenyum. "Kamu seperti menyimpan beban yang sangat berat." Wanita itu mendekatkan tubuh dan wajahnya, sedang matanya memicing. "Apakah ini berkaitan dengan gadis bernama Muzdalifah itu?" selidik Kamala dengan suara lirih.
Arya mengangkat bahu dan menelan makanannya lalu menjawab, "Sebagiannya ia." ungkapnya. "Bagaimanapun... perasaan bersalahku kepada perempuan itu belum hilang sepenuhnya." Arya kemudian menatap Kamala dengan memicingkan mata. Tangannya yang memegang sendok terlihat membuat pola lingkaran di udara.
"Bukankah telah kukatakan kepadamu, jika aku menemukannya, aku akan menjadi penjaganya?" ujar Arya dengan lirih.
"Kau akan menikahinya?" pancing Kamala.
Arya terdiam sejenak dan memilih menikmati makanannya yang nyaris tandas.
"Arya..." panggil Kamala dengan lembut dan lirih.
Arya kembali menegakkan wajah menatap wanita yang duduk dihadapannya.
"Apakah kau akan menikahinya?" tanya Kamala.
"Jika.... kau mengijinkan..." jawab Arya terbata-bata.
Kamala tersenyum. "Kau ini lucu, Arya. Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara pernikahan kita akan dilaksanakan sebulan lagi?" sindirnya dengan senyum yang tetap terulas.
"Maafkan aku, telah menyeretmu dalam kerumitan hidupku." ujar Arya dengan pelan.
Kamala menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak-decak. "Ck ck ck... kamu memang gila ya?" sindir wanita itu.
Arya hanya tersenyum canggung lalu menikmati makanannya kembali. Kamala menyorongkan piring yang isinya tidak dihabiskan. Arya menatap piring itu sejenak lalu menatap Kamala.
"Kau marah?" pancing Arya. "Akuilah jika kau memang marah."
"Nggak... aku hanya speechless saja mendengar perkataanmu barusan." jawab Kamala. "Kalau perempuan lain yang mendengar ini, aku yakin... dia akan langsung melemparmu ke selokan."
"Untungnya kau tak begitu." sahut Arya yang juga telah menyorongkan piring yang isinya telah tandas. Lelaki itu meraih tisu kertas di meja dan mengelap bibirnya kemudian meraih gelas berisi air bening.
"Ya, untungnya aku nggak begitu." jawab Kamala membenarkan perkataan Arya saat lelaki itu meneguk sedikit demi sedikit air minum digelas dalam genggamannya.
"Mengapa kau langsung mengiyakan pertanyaan itu? Kau bisa saja memungkirinya." pancing Arya.
"Aku nggak mungkin memungkiri permintaan seorang ibu yang sudah kepengen benar lihat anaknya menikah. Kamu nggak sayang sama Ibumu?" tukas Kamala dengan kesal.
Arya mengangguk-angguk lagi. "Ya, kurasa kamu memang benar."
"Atau... kau memang nggak serius menikah, Arya?" pancing Kamala setengah menyindir.
Arya tersenyum. "Jangan menghakimi aku."
"Gayamu itu yang kadang membuatku ragu, apakah kau benar-benar serius, atau nggak." ujar Kamala kemudian menegakkan duduknya.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments