Seharian ini sekretaris pribadi sang presdir, Laila heran melihat wajah pimpinannya yang seharian itu terpekur. Untungnya, semua berkas yang diajukannya telah ditandatangani setelah diperiksanya lebih dahulu. Artinya, dalam gaya seperti itu, Arya membuktikan ia bukan seorang yang terpenjara dalam masalah pribadinya sendiri.
"Pak..." panggil Laila.
Arya perlahan mendongak menatap sekretaris pribadinya itu. Wajah Laila terlihat begitu penasaran dengan air muka lelaki itu. Arya mengangkat alisnya.
"Ada apa, Laila?" tanya Arya kemudian memperbaiki gaya duduknya.
"Nggak." ujar Laila. "Cuma tadi kuatir saja lihat Bapak menekur terus..." jawabnya, "Kayak punya beban." tambahnya.
Arya tersenyum. "Nggak apa-apa, Laila. Kembalilah ke kubikelmu." ujar lelaki tersebut dengan sopan.
Laila mengangguk lalu membalik pergi. Namun wajah Arya yang menekur itu tak juga hilang dari benaknya. Sang Presdir pasti menyimpan masalah.
Apakah roda keuangan perusahaan bermasalag?
Laila tiba ditempatnya dan mulai kembali menelisik satu demi satu lembaran proposal yang diajukan masing-masing divisi, mulai dari bagian perencanaan hingga bagian HRD, terutama laporan keuangan mereka. Kening wanita itu berulang kali mengerut mensinkronisasi hasil laporan dalam lembaran-lembaran dengan raut muka sang direktur utama yang seharian menekur terus.
Tidak ada kejanggalan disini... lagi pula, jika dia menemukannya, dia akan langsung memberitahuku lalu memerintahkan divisi-divisi yang mengajukan proposal dan pelaporan untjk memperbaikinya... tapi... ini tidak...
Laila menegakkan wajah dan menghela napas panjang. Kemungkinan beban yang ditanggung pimpinannya itu adalah permasalahan pribadi. Kelebihan satunya, Arya tak pernah keceplosan mencampur aduk masalah personalnya dengan masalah dalam dunia kerja. Lelaki itu orang yang cukup proporsional.
Sementara Laila kemudian mengetik lembaran persetujuan pemenuhan proposal dari semua divisi. Setelah itu, ia mencetaknya dan meletakkan lembaran-lembaran tersebut kembali dalam sebuah map lalu bangkit dan melangkah lagi masuk ke ruang direksi.
Laila menekan tombol pada pesawat telpon dan seketika terdengar suara pimpinannya dari ruang sebelah.
📞 "Ya, ada apa, Laila?" tanya Arya.
📞 "Pak, lembar persetujuan sudah saya cetak. Apakah Bapak mau menandatanganinya sekarang?" tanya Laila.
📞 "Masuklah." pinta Arya, dan percakapan itu berakhir.
Laila bangkit dan melangkah lahi sambil menjinjing map berisi lembaran penting itu. Ia melangkah ke ruang direksi dan masuk setelah terlebih dulu mengetuk pintu.
Laila kembali melihat sang pimpinan yang cepat-cepat memperbaiki sikap ketika Laila masuk. Namun wanita itu masih sempat melihat raut wajah sang presdir yang menanggung masalah, namun segera didatarkan ketika Laila masuk kedalam ruangan.
"Ini Pak, berkasnya." ujar Laila kemudian meletakkan map itu diatas meja.
Laila masih berdiri didepan menanti Arya mengeluarkan pulpennya dan menandatangani berkas itu, namun ia nyatanya lama melihat Arya tidak menyentuh berkas tersebut.
"Laila, duduklah disana." pinta Arya menunjuk sofa. "Aku hendak mendiskusikan sesuatu."
Aha! Presdir itu menemukan masalah dalam perusahaan dan akan segera menginterogasiku.
Laila sejenak menarik napas menenangkan detakan jantungnya yang berdegup tak karuan. Wanita itu kemudian berbalik dan melangkah menuju sofa lalu akhirnya duduk dengan gaya anggun disana.
Arya bangkit lalu melangkah memutar meja kerja dan menuju deretan sofa kemudian duduk beberapa jarak dihadapan Laila.
Laila sudah menanti dengan sikap siap, namun kelihatannya direktur ini diam dengan sikap layaknya tarik ulur pengucapan.
"Pak... ada masalah ya?" tanya Laila memancing duluan.
Arya menghela napas duluan, kemudian berbicara. "Aku ada sedikit masalah, Laila." ujar lelaki itu pada akhirnya.
"Apa menyangkut dengan perusahaan?" selidik Laila lagi dengan tatapan memicing.
Laila kemudian mendesah lega ketika Arya menggeleng. "Ini bukan masalah perusahaan kita." ujarnya pada akhirnya. "Aku percaya bahwa kamu mampu menanganinya lebih dari yang kuharapkan."
"Lalu apa?" tanya Laila.
Dihadapan sekretaris pribadinya itu Arya kemudian menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Diakhir cerita yang terpaparkan, Laila kemudian tersenyum.
"Ya gampang Pak. Tinggal dicari saja, kan?" pancing Laila.
Arya tersenyum. "Jika memang semudah ucapanmu, tentu aku tak akan meminta saranmu." ujarnya.
"Anda.... penderita... Pistanthrophobia?" tanya Laila dengan hati-hati dan agak lirih.
"Maksudmu?" tanya Arya kembali dengan alis mengerut.
"Anda mungkin mengalami hal yang pahit dalam dunia percintaan sehingga memiliki phobia takut tersakiti?" ujar Laila menyelidiki diri presdirnya.
Arya kemudian tertawa pendek. "Kamu kan sudah lama tahu, kalau saya hingga saat ini nggak pernah pacaran."
"Ya, siapa tahu, dulunya pernah." tukas Laila.
Arya menggeleng. "Jaman sekolahan dulu, aku termasuk anak yang lurus, hingga..." ucapan lelaki itu tertahan.
"Hingga kenapa, Pak?" tanya Laila dengan penasaran.
Arya cepat-cepat menggeleng. "Nggak. Itu bukan apa-apa." kilah lelaki itu dengan cepat.
"Kayaknya, Bapak perlu dikonseling nih." cetus Laila tiba-tiba.
"Konseling? Memang saya punya masalah apa?" erang Arya tanpa sengaja.
"Ya, Bapak punya masalah, dan itu jelas." jawab Laila. "Jangan sampai mengacaukan ritme kerja Bapak dikantor." tegurnya.
"Apakah konseling bisa menangani masalah saya?" tanya Arya dengan ragu.
Laila tersenyum dan mendesah. "Ya Allah, Pak" keluhnya. "Pasangan yang sedang bermasalah juga pasti membutuhkan konseling, apalagi orang jomblo macam Bapak." ujarnya.
"Memang kamu punya kenalan, psikiater?" tanya Arya.
"Ya Allah, Pak." ujar Laila lagi, "Ngapain cari psikiater? di divisi HRD juga ada konselor."
"Oh ya?" ujar Arya dengan gembira.
"Bapak saja yang nggak mencari." tukas Laila dengan wajah cemberut.
"Apa kau, jika mengalami masalah dengan suamimu, kau larinya ke dia juga?" selidik Arya dengan tatapan memicing.
"Ya iyalah, Pak." jawab Laila. "Setidaknya itu membantu saya dalam menghadapi persoalan rumah tangga."
"Coba pastikan pimpinan HRD untuk mengecek psikiater itu." pinta Arya.
"Okelah, Pak." ujar Laila pada akhirnya dan bangkit berdiri hendak melangkah meninggalkan sofa.
"Tunggu... kau tahu siapa staf HRD yang juga seorang konselor itu?" tanya Arya.
Laila tersenyum. "Ya iyalah Pak."
"Siapa namanya?" tanya Arya.
"Dia bernama Kamala... lengkapnya, Kamala Tamara Laiya." jawab Laila.
Kamala T. Laiya...
Arya bengong mendengar nama itu dan mengucapkannya dalam benaknya. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments