Kamala meringis dan matanya memicing. Wanita itu tak menyangka jika lelaki dihadapanya pernah memiliki masa lalu sekelam itu. Sementara Arya masih betah mengelus lukisan tersebut dengan mata yang masih basah.
"Malamnya, Iswan mengirimkan semua foto yang diambil siang itu kepada Muzdalifah... Kami menyertainya dengan ancaman untuk tak melaporkan perbuatan kami." ujar Arya dengan nada pelan yang gemetar.
"Reaksi korban?"
"Dia tak membalas satupun kiriman itu.... dan seminggu lamanya, perempuan itu tidak masuk sekolah." jawab Arya yang masih terus melekatkan tatapannya pada lukisan itu.
"Anda dan teman-teman pasti senang sekali ya? Apalagi anda ngerasain perawannya **** perempuan itu untuk pertama kalinya." sindir Kamala dengan senyum sinis. Arya menoleh menatap Kamala.
"Silahkan kau sindir aku sesukamu. Ejek aku sekehendakmu. Bencilah aku semaumu... bagiku, itu adalah hal yang pantas ku dapatkan." ujar Arya kemudian menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. "Tapi... aku berharap suatu saat aku bisa menemukannya dan... aku akan mengakui segalanya, memohon pengampunannya."
Arya kembali menatap lukisan itu. "Aku tak perduli dia akan membenciku seumur hidupnya. Aku hanya berharap dia mengabulkan permintaanku."
"Apa itu?" tanya Kamala.
"Menjadi penjaganya... hingga maut memisahkan kami." jawab Arya dengan senyum hambar.
"Anda optimis bisa melakukannya?" pancing Kamala.
"Aku akan melaksanakan sumpahku, semampu dan sekuat tenagaku." jawab Arya.
Kamala tersenyum. "Semoga saja harapan anda tercapai." Wanita itu menghela napas lalu bangkit. "Kurasa sesi ini berakhir untuk saat ini. Ijinkan saya meninggalkan tempat ini, kembali ke tempat saya."
Arya kembali tersenyum dan mengangguk. "Silahkan..." jawabnya.
Kamala tersenyum dan mengangguk sedikit membungkuk lalu berbalik melangkah meninggalkan ruangan dengan wajah yang berubah membesi.
...*****...
Arya menghadapi hari-hari dengan lebih baik setelah ia mengutarakan semuanya kepada Kamala dalam sesi diskusi konseling itu. Laila sendiri sering memberi informasi terkait perilaku presdirnya kepada Kamala sebagai bahan untuk melakukan diagnosa permasalahan dari lelaki itu.
Arya menghubungi lagi Iswan. Keduanya sepakat bertemu disalah satu kedai outdoor. Arya memacu All New Avanza hitamnya melaju dijalanan menuju tempat yang disebutkan Iswan.
Arya menemukan tempat itu dan mendapati Iswan yang sedang duduk dengan seorang perempuan yang kelihatannya centil. Wanita itu tak henti-hentinya bergelayut manja dilengan lelaki itu sedangkan Iswan sesekali menyuapkan sesendok kecil cupcake ke bibir sensual perempuan tersebut. Dandanan perempuan itu begitu tidak sopannya, hanya mengenakan tanktop yang memamerkan tubuh putihnya yang menggairahkan terutama bentuk bulat *********** yang sengaja diekspos untuk membangkitkan gairah hewaniyah seseorang.
"Haai..." sapa Iswan melambaikan tangan saat melihat Arya keluar dari mobilnya dan melangkah mendekati kedua pasangan itu.
Arya tersenyum dan menyalami Iswan lalu mengangguk sopan kepada teman wanitanya dan duduk dihadapan mereka berdua.
"Pesanlah makanan atau minuman..." ujar Iswan.
"Baiklah..." ujar Arya kemudian memanggil pelayan.
Seorang pemuda mengenakan celemek muncul membawa kertas dan pulpen. Ia mendekati Arya dan menanyakan pesanan lelaki itu dengan santun. Arya memesan dan mengapresiasi sikap santun pelayan itu kemudian kembali menatap Iswan yang bermesraan dengan lancang dihadapannya.
"Kupikir kau sudah menikah... kenalkan padaku istrimu itu." tebak Arya langsung sambil mengangguk ke arah wanita yang berlagak mesra disisi Iswan.
Iswan tertawa pelan. "Sejak dulu, bukankah kau tahu kalau aku tak suka yang namanya pernikahan. Aku ingin sepenuhnya bebas menjalani Kehidupanku." jawab Iswan dengan senyum lebih lebar lalu menoleh ke arah wanita disisinya sejenak dan menatap Arya lagi.
"Kalau kau ingin mengenal Sonia, bilang saja." goda Iswan yang kemudian mengisyaratkan wanita disisinya untuk berkenalan.
Sonia memajukan punggungnya dan mengulurkan tangannya. "Aku Sonia Mambo, salah satu stafnya." ujar Sonia dengan nada genit.
Arya manggut-manggut sambil membalas menjabat tangan Sonia lalu duduk lagi dengan santai.
"Kupikir kau adalah istrinya." komentar Arya membuat Sonia menunduk malu-malu.
Arya menatap Iswan. "Semestinya, diusia seperti ini, kau sudah selayaknya menikmati hidup, bro."
"Lho? Apakah kau tak melihat, jika sekarang aku menikmati hidupku?" kilah Iswan sembari memeluk pundak Sonia dengan lengan sebelahnya.
Arya hanya diam. Tak lama kemudian muncul pelayan itu membawa baki dan minuman serta cemilan yang dipesan Arya. Pemuda itu meletakkan segalanya didalam baki ke meja dihadapan Arya.
"Silahkan dinikmati." ujarnya dengan santun.
"Terima kasih." jawab Arya mengapresiasi.
Pelayan itu mengangguk dengan santun lalu berbalik meninggalkan tempat tersebut. Arya sejenak menyeruput minuman pesanannya lalu menatap Iswan.
"Selama itu membuatku bahagia, aku akan tetap menjalaninya." ujar Iswan lalu mencium pipi Sonia membuat wanita disisinya kembali tersipu-sipu.
"Termasuk tidak menikah?" tanya Arya.
"Kau sendiri, mengapa belum menikah?" todong Iswan tiba-tiba.
"Aku belum menemukan jodohku." kilah Arya.
Iswan tertawa. "Jodoh? Kau percaya jodoh?" oloknya.
"Itu kan yang diajarkan dalam agama kita, kan?" tukas Arya dengan wajah kesal.
Iswan menggeleng-gelengkan kepala. "Kau salah, bro. Yang namanya jodoh itu nggak ada. Yang ada adalah kenyamanan dalam urusan percintaan." ujar Iswan memajukan punggungnya dan mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya lalu menyandarkan kembali tubuhnya dan menggandengkan lengannya pada Sonia.
"Selama kau nyaman menjalaninya, untuk apa sebuah pernikahan?" tukas Iswan.
"Untuk menekankan tanggung jawab." ujar Arya menekankan.
"Apakah aku bukan orang bertanggung jawab?" tanya Iswan kepada Sonia.
"Pak Arya mungkin mengungkapkan hal itu dari sudut pandang yang berbeda." komentar Sonia.
Arya menatap Sonia dengan tatapan kesal sedang wanita itu memilih tak perduli dan kembali bermesraan dengan Iswan.
"Sudahlah. Tak usah kau bahas itu lagi." pungkas Iswan kemudian menatap lebih serius. "Kurasa, kedatanganmu kali ini memiliki alasan kuat untuk meminta pertolongan."
Arya mengangguk. "Kau bisa menolongku?"
"Tentang apa?" tanya Iswan.
"Mencari alamat baru Pak Basyir." ujar Arya.
"Kau ingin sekali menemukan perempuan itu rupanya." sindir Iswan.
"Aku telah bertekad dengan diriku sendiri." tandas Arya. "Jangan halangi keinginanku."
"Untuk apa kau mencari perempuan itu, Arya? Untuk mengingatkannya akan kebejatan kita dimasa lalu?" tukas Iswan.
"Ini tak ada hubungannya denganmu." pungkas Arya.
"Tapi tetap saja ada, Arya." bantah Iswan. "Kita adalah bagian dari kehidupan wanita itu. Sekarang dia hidup entah dimana ataupun mungkin sudah wafat dan..."
"Hentikan perkataanmu yang mengatakan dia wafat!" sergah Arya. "Apa kau ingin benar ia mati?"
"Jika kematiannya bisa mengubur dosa-dosa kita, maka aku tak keberatan, Arya!" tandas Iswan yang mulai memperbaiki sikapnya. Wajahnya menjadi datar dan sinis.
"Kau memang bajingan, Iswan." ujar Arya dengan geram.
"Ya, aku memang bajingan." ujar Iswan. "Tapi aku tak mau munafik sepertimu."
Arya mengencangkan rahangnya.
"Arya... sebaiknya relakan perempuan itu. Aku hanya berharap sepertimu. Semoga dia bahagia dengan kehidupannya, entah dimana. Dan marilah kita melanjutkan hidup kita masing-masing sebagaimana mestinya." rayu Iswan. "Tidak ada yang tersakiti disini, Arya... dia pun mungkin telah melupakan kita. Tapi kemunculanmu dihadapannya justru akan membuka lagi luka lama itu. Apa kau memang ingin membuatnya terluka kembali?"
Arya hanya bisa memendam marahnya. Ungkapan Iswan memang benar-benar masuk akal. Untuk apa ia membuka lagi lembaran lama?
"Pikirkan lagi kata-kataku, Arya." ujar Iswan sembari bangkit dan mengajak Sonia meninggalkan tempat itu.
Arya hanya duduk diam ditempatnya.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments