Tisya terus tenggelam dalam kesedihan, air matanya tidak berhenti mengalir, hari ini menjadi hari yang sangat berat untuknya, tanpa sadar kepalanya kini ia sandarkan di dada Tristan, entah mengapa Tisya merasa nyaman dengan hal itu, dia merasakan kehangatan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.
Pria yang jauh lebih muda darinya sangat terlihat dewasa, tutur kata dan sikapnya yang lembut sangat berbeda dengan pria seumuran Tristan yang pernah dia jumpai, jangankan yang seumuran Tristan, bahkan pria yang seumuran dirinya saja sangat jarang ditemui ada yang bisa bersikap seperti Tristan.
Tristan pun tidak terlalu mempermasalahkan ketika Tysa bersandar di dadanya.
Setelah menangis, mata Tisya terasa berat, rasa kantuk datang menghampirinya beberapa saat kemudian Tysa akhirnya tertidur.
"Tysa ... Tysa ...." Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya.
Ketika Tiysa membuka mata, dia langsung terkejut dan panik, karena saat ini wajah Tristan sangat dekat dengan wajahnya.
Sejak bertemu Tristan, Tisya tidak pernah memperhatikan wajah Tristan dengan baik, baru saat ini dia dapat melihat wajah pria yang sudah menolongnya dengan sangat jelas.
Pupil mata Tristan terlihat sangat indah, berwarna biru gelap bukan berwarna hitam atau coklat gelap seperti pria di Indonesia.
"Tampan sekali ...," puji Tiysa dengan suara berbisik. Tisya tanpa sadar memuji ketampanan Tristan.
"Terima kasih Nona Tisya, aku hanya ingin memberitahu jika kita sudah tiba di Rumah Sakit Cipta." Tristan membalas pujian dari Tisya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan dari Tristan, Tisya menunduk malu tak berani menatap wajah Tristan lagi, dia juga baru sadar jika dirinya tadi tertidur dalam dekapan Tristan, Tisya mulai terlihat panik apalagi ketika menyadari ternyata tangan Tristan masih berada di pundaknya.
"Ah ... maaf ...," ucap Tiysa dengan gugup sembari memperbaiki cara duduknya.
Tristan tersenyum melihat tingkah Tisya, dia tidak menyangka jika gadis yang tadi menangis dan berani melawan bosnya ini , kini terlihat seperti anak kecil yang gelagapan karena ketahuan telah berbuat salah.
Tristan lalu membuka pintu dan turun dari mobil, dia juga membantu Tisya yang masih terlihat kesakitan karena insiden tadi.
Mereka berdua bergegas ke resepsionis Rumah Sakit Cipta, Tisya langsung menanyakan keadaan ayahnya kepada petugas yang berjaga.
Petugas menjelaskan jika Ayah Tiysa yang bernama Bimo Harsa saat ini berada di ruang ICU, Petugas tadi menambahkan jika keadaan ayahnya tidak dalam kondisi yang berbahaya.
Mendengar itu akhirnya Tiysa dapat bernafas lega, dia lalu meminta izin kepada Tristan untuk menemui ibunya.
Tristan tersenyum dan mengangguk mempersilahkan Tisya untuk bertemu keluarganya. Baru beberapa langkah berjalan Tisya tampak menyadari sesuatu yang penting.
Tisya langsung berbalik dan kembali ke Tristan, dia lalu mengulurkan tangannya kepada Tristan.
"Umm ... maaf aku belum mengetahui namamu, aku ... aku Tisya Utari Harsa." Tisya memperkenalkan dirinya dengan tersipu malu dan terbata-bata karena tersadar jika dia sama sekali belum mengetahui nama pria yang sudah menolongnya.
Mendengar hal itu Tristan tertawa. "Nona Tisya bukankah ini sedikit terlambat? Kamu bahkan sudah menjadikanku bantal tidur."
Tristan membalas Tisya sambil sedikit bercanda, tentu saja itu membuat Tisya semakin salah tingkah dan semakin tidak berani menatap mata Tristan.
"Aku Tristan Pratama, salam kenal Nona Tisya," ucap Tristan disertai senyuman di wajahnya.
Sambil bersalaman mereka memperkenalkan diri satu sama lain, Tristan juga mengingatkan Tisya untuk memeriksakan kondisinya ke dokter.
Setelah mengetahui nama dari pemuda yang telah menolongnya Tisya kembali izin pamit untuk bertemu dengan Ibunya, tak lupa Tisya juga mohon pamit kepada Haris yang juga ikut turun menemani mereka.
—
Tisya sudah sampai di depan ruang ICU Rumah Sakit Cipta, di sana Tisya melihat ibunya, Kirana Harsa yang menunggu dengan cemas, wajahnya tampak lelah sudah beberapa hari ini Kirana kurang tidur karena mengurus suaminya yang sakit.
"Ibu ...," ucapnya lirih. Dia mempercepat langkah menuju Ibunya.
Ibu Tisya langsung bangun dari duduknya ketika mendengar suara anak gadisnya memanggil. Tisya memeluk ibunya dan bertanya keadaan ayahnya.
Ibu Tiysa menjelaskan jika ayahnya masih tidak sadar, dan perlahan kondisinya sudah membaik, namun dokter menyarankan jika ayah Tisya secepatnya melakukan operasi cangkok ginjal (transplantasi ginjal), apalagi beberapa hari yang lalu pihak Rumah Sakit mendapat kabar jika ada seorang pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya.
Keluarga Tisya saat ini berada dalam keadaan yang sulit, semenjak ayahnya sakit, bisnis keluarga mereka berantakan, ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal akut dan itu membuat ayahnya harus melakukan cuci darah secara rutin.
Pagi ini, ayah Tisya tiba-tiba tidak sadarkan diri, yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Walaupun sudah ada pendonor, itu tidak semata-mata menyelesaikan masalah, biaya untuk operasi cangkok ginjal mencapai 250 Juta sampai 400 Juta, dengan kondisi ekonomi keluarga Tisya yang sekarang tentu saja nominal biaya operasi itu sangat besar.
"Ibu tidak usah memikirkan itu, aku akan mencari cara agar ayah dapat dioperasi secepatnya."
Tisya berusaha meyakinkan ibunya yang terlihat lelah dan juga cemas. Walaupun Tisya sendiri bingung di mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu, setidaknya dengan bersikap tenang dia bisa membuat ibunya tidak semakin terbebani.
"Iya nak, aku percaya padamu." Tentu saja Ibu Tisya menyadari jika putrinya hanya berusaha bersikap tenang di hadapannya, Ibu Tisya juga tidak mau terlihat semakin menyedihkan dengan terus cemas dan panik di hadapan putri tercintanya ini.
Mata Ibu Tisya kini tertuju pada perban yang membalut tangan putrinya.
"Tisya kenapa tanganmu ...." Wajah Ibu Tisya terlihat panik setelah melihat perban putih yang membalut tangan putrinya.
"Tidak apa-apa Ibu ini hanya luka kecil." Tisya menjawab pertanyaan ibunya tanpa menyebut kecelakaan yang menimpanya, dia tidak mau menambah beban pikiran Ibunya.
"Kamu yakin? apakah perlu diperiksa ke dokter? bagaimana bisa kamu mengendarai motor dari Jakarta ke Bogor dengan tangan seperti itu?"
Ibu Tisya kembali bertanya, khawatir jika luka yang diderita anaknya lebih parah dari kelihatannya, apalagi ibunya tahu tidak mudah bagi seorang gadis menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan menggunakan sepeda motor.
"Tidak usah ibu... ,tadi di kantor ada sedikit insiden kecil, lagian aku tidak menggunakan motor kesini, aku diantar oleh Tristan." Tanpa sadar Tisya menyebut nama Tristan di depan ibunya.
"Oh, Tristan..., siapa dia?" Dengan sedikit terkejut dan menggunakan nada menggoda, Ibunya bertanya tentang pemuda yang namanya baru saja disebut oleh anaknya.
Kirana sangat mengenal anaknya, dia tahu jika Tisya tidak pernah sama sekali dekat dengan pria, Tisya selalu memikirkan pendidikan dan karir jadi sangat mengejutkan saat Tisya menyebut nama seorang pria.
Tisya sontak kaget ketika ibunya bertanya tentang Tristan, dia tidak sadar sudah menyebut nama Tristan dengan santainya, wajahnya tersipu malu.
"Itu ... umm ... teman, Bu, iya teman ...." Dengan gugup Tisya menjawab pertanyaan ibunya, matanya menatap ke plafon rumah sakit seakan-akan di plafon rumah sakit itu ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
Melihat tingkah lucu anaknya Ibu Tisya tertawa. "Ya sudah ... nanti kamu harus mengenalkan Bbu ke temanmu yang bernama Tristan, dia sudah sangat baik mengantar kamu sampai disini."
"Iya Ibu sayang...." Jawab Tisya dengan manja kepada ibunya.
Tisya dan ibunya kembali melanjutkan pembicaraan mereka dengan suasana hati yang sedikit lebih baik.
—
"Pak Haris." Tristan memanggil Haris yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya tuan muda," balas Haris sambil berjalan mendekat ke arah Tristan.
"Coba cari tahu keadaan ayah Tisya ke pihak Rumah Sakit, sekalian titip pesan ke Tisya melalui petugas jaga jika besok malam kita akan kembali ke sini."
"Siap tuan muda," jawab Haris yang langsung melaksanakan perintah dari Tristan.
Setelah menyampaikan itu kepada Haris, Tristan menuju halaman depan rumah sakit, beberapa saat kemudian Haris sudah menyelesaikan tugasnya, Haris segera mengambil mobil yang berada di parkiran dan menjemput Tristan yang menunggu di depan pintu masuk lobi Rumah Sakit, setelah Tristan naik tak berselang lama mobil mereka meninggalkan Rumah Sakit Cipta.
"Jadi informasi apa yang kamu dapat dari Rumah Sakit." Tristan bertanya kepada Haris sambil menatap langit yang sudah terlihat mendung.
"Ayah Nona Tisya menderita gagal ginjal yang sudah cukup parah, dokter mengatakan jika Ayah Nona Tisya harus segera melakukan operasi, kebetulan beberapa hari yang lalu Rumah Sakit Cipta mendapat kabar ada pendonor yang bersedia. Namun sepertinya kondisi ekonomi keluarga Nona Tisya sedang tidak baik, hal itu yang membuat operasi belum dilakukan, jadi apa perintah tuan muda?"
Haris sudah mengerti setelah menyampaikan informasi, Tristan pasti akan langsung meminta Haris untuk bertindak, oleh karena itu dia langsung menanyakan kepada Tristan instruksi selanjutnya.
"Kalau begitu urus semua biaya rumah sakit dan minta dokter untuk segera melakukan operasi, dan untuk masalah Yono tadi, buat dia agar menghormati Tiysa, aku tidak mau kejadian serupa kembali terjadi," balas Tristan.
"Siap Tuan Muda," jawab Haris singkat.
Ketika menoleh ke tempat di mana Tisya tadi duduk, Tristan melihat Jaket biru gelap yang tadi dikenakan Tisya.
Karena tadi terburu-buru dan cemas Tisya lupa mengambil jaketnya, Tristan lalu meraih jaket yang berada di sampingnya.
Tak sengaja tangannya menyentuh saku bagian dalam jaket milik Tisya, dia menyadari ada sesuatu di dalamnya, Tristan mengeluarkan benda yang berada di saku jaket Tiysa, yang ternyata dompet milik Tisya.
"Gadis ceroboh ...." gumam Tristan dalam hati.
Tristan membuka dompet Tisya, di dalamnya ada beberapa lembar pecahan uang seratus ribu, kartu ATM, dan beberapa kartu identitas. Tristan menarik kartu tanda pengenal milik Tisya, dia lalu melihat data yang tertera disitu. j
"2 Februari? bukannya itu besok?" gumam Tristan dalam hati.
Ketika melihat tanggal lahir Tisya terbesit sebuah ide di benak Tristan.
"Pak Haris, besok tolong buka rekening di Bank Dana Cempaka menggunakan identitas ini." Tristan menyerahkan kartu yang berada di tangannya kepada Haris.
"Siap Tuan Muda," balas Haris sambil menerima kartu yang diserahkan Tristan, Haris melihat identitas yang tertera di kartu, lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang dia kenakan.
Tristan kembali bersandar dan menatap keluar jendela.
"Pak Haris, bukankah suara Tisya sangat mirip dengan Alyona?"
"Iya Tuan Muda, aku juga terkejut sewaktu pertama kali mendengar suara nona Tisya, dan yang lebih mengejutkan bahkan tanggal lahir mereka juga sama," balas Haris sambil melihat Tristan dari spion tengah mobil.
"Sebuah kebetulan satu berbanding sejuta," ucap Tristan sambil tersenyum dan kembali menatap keluar jendela.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Yoon Gi
menarik
2022-06-02
0
niki nikita👀
suka banget ceritanya kak 👍
2022-05-21
1
niki nikita👀
wuhuuu ganteng banget kak. 🤩
2022-05-21
1