"Bara, besok kamu berangkat pagi-pagi. Akan ada pertemuan penting jam tujuh dan sebelum itu kamu harus sudah sampai, Papa minta mulai sekarang kamu berdiri di samping Papa setiap saat."
Bara dibuat terkejut oleh ucapan Aron, bukankah kesepakatannya dulu adalah menunggunya punya anak?
"Bukannya Papa bilang, semua itu setelah aku punya anak?" tanya Bara.
"Kamu lupa, sekarang sudah duda? Mau dapat anak gimana?" tekan Aron, seketika Bara menggaruk kepalanya.
"Baik, Pa. Tapi, malam ini aku tidur di apartemen ya? Kalau tidur disini, aku takut terus teringat Najira." mohon Bara.
Sebenarnya bukan karena hal itu, Bara memang sedang ingin menyendiri saat ini karena disaat sedang kacau, ia takut justru akan berbicara ngelantur seperti tadi.
"Baiklah, tapi langsung pulang." titah Aron yang diangguki kepala oleh Bara.
Langsung pulang dalam artian Aron tak ingin Bara menghabiskan waktu untuk hal-hal tak penting seperti mengunjungi club, minum-minum atau apapun jenis penghilang masalah secara cepat.
"Iya, Pa."
Setelah makan malam, Bara pamit ke apartemen. Aron dan Rosa pun memakhlumi, lagi pula Bara laki-laki dewasa, sudah pernah menikah dan ia butuh kenyamanan.
Bara mengemudikan mobilnya, jalanan yang macet membuatnya berulang kali berdecak sebal.
Di sela-sela macetnya, Ia menghubungi Tama.
"Hallo, Ra?" saut Tama.
"Bisa cariin info seseorang?" tanya Bara di sambungan telepon.
"Siapa?"
"Revan, aku butuh alamat apartemennya."
"Revan siapa nama panjangnya?" tanya Tama.
"Aku mana tau, pokoknya cari datanya sampai ketemu." titah Bara kesal.
"Heh, Bro. Di dunia ini Revan mana yang kau cari, mana pula itu nama pasaran." desis Tama tak terima.
"Terserah bagaimana caramu, aku butuh datanya besok!" perintah Bara, yang diangguki lemas oleh Tama.
"Sial kali ini Bara, suruh nyari Revan kemana?" gerutu Tama setelah menutup teleponnya.
Bara menatap depan. Malam yang sepi dibawah sorot sinar temaram mobilnya berhenti tepat di parkiran gedung menjulang tinggi.
"Hanya dengan ini aku bisa melampiaskan rinduku bersama sisa-sisa jejakmu. Rea, berapa lama aku harus bertahan dalam keterpurukan, berjalan tertatih dipenuhi perasaan gelisah dan dilema bersamaan. Hanya denganmu aku selalu merasa baik-baik saja. Tapi, kemana saat ini aku harus mengais bayang dan senyummu?" Monolog Bara.
Bayangan ia menggendong Rea dengan cemas berputar di kepala, ditambah perasaan bersalah mendominasi semakin membuat dilema Bara tak karuan.
"Rea, kemana aku harus mencarimu? dia membawamu dariku, kenapa dia membawamu dariku? dia mengambil Najira dan sekarang memisahkanmu dariku?" Bara mengusap wajahnya kasar. Tubuhnya bergetar saat hendak turun dari mobil. Meski begitu, dengan tertatih-tatih ia melangkah masuk loby.
Butuh perjuangan untuknya sampai di lantai apartemennya berada. Bara segera menekan sandi dan menyeret kaki menuju kamarnya.
Bara ambruk di tepi ranjang, dan masih belum menyadari sesosok yang tertidur dengan balutan selimut dibalik lampu yang padam.
"Rea bahkan aromamu masih menguar disini, dan memaksaku menyiksa diri sendiri." gumam Bara dengan mata setengah terpejam.
Bara melepas sepatunya asal dan bersiap untuk tidur setelah mengganti celana panjangnya dengan celana pendek, Bara naik ke ranjang dan memejamkan matanya perlahan.
Saat hendak membuka selimut, ia tersadar ada seseorang tertidur di sampingnya.
"Rea..." pikiran Bara hanya pada satu nama itu, lalu dengan kesigapan ia menyalakan lampu tidur. Hal pertama yang terlihat adalah wajah ayu Rea yang tertidur pulas layaknya patung.
"Rea, syukurlah." Bara membelai wajah Rea yang tampak polos tanpa make up, wajah yang akhir-akhir ini berkeliaran tanpa lelah di otaknya dan tak mau berhenti.
"Aku menemukanmu, Sugar." Bara hampir menangis gila karena karena senang, lalu dengan segera mendaratkan ciuman di kening Rea lama.
Bara menelusup masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh Rea dari belakang, dan menenggelamkan wajahnya di punggung Rea.
Bara tertidur nyenyak, mimpi buruknya kemarin berangsur hilang.
Pagi hari Bara terbangun lebih dulu, ingin sekali lagi memastikan bahwa Rea-lah yang ia peluk semalaman. Andai hari ini tak ada pertemuan penting di perusahaan, ia mungkin lebih memilih berlama-lama memeluk Rea, memeluk erat dan tak akan membiarkannyaa pergi lagi, sejengkal pun tak akan.
Lalu dengan semangat ia melangkah ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tak berselang lama, Bara keluar dengan handuk yang melilit pinggang. Berjalan santai menuju lemari untuk mencari kemeja kerjanya.
Drtttt...
"Hallo," ucap Bara di sambungan telepon.
"Aku sudah menemukan alamat Revan, Bara!" Tama berujar penuh semangat.
"Oh, itu. Simpan saja untukmu!"
"Hah, bukannya kamu yang memintaku menemukan alamatnya?" tanya Tama tak mengerti.
"Iya, tapi Rea sudah kembali, dan aku tak membutuhkannya lagi," ucap Bara dengan santainya hampir membuat Tama sesak napas karena kesal.
Tut!
Telepon mati, Bara meletakkan ponselnya asal lalu tangannya terus tergerak memilih-milih pakaian mana yang cocok.
"Mas Bara," batin Rea yang baru terbangun, ia berulang kali mengusap-usap mata, berharap tak ada masalah sama sekali dengan penglihatannya.
Bara membalikkan tubuh, tampak sekali tubuh sispacknya, dan Rea hanya mampu menatap tak berkedip.
"Sudah bangun, Sayang?" Bara mengu lum senyum dan menghampiri Rea.
"Stop, Mas. Pakai celanamu dulu." Rea menutup matanya dengan jari dan sedikit mengintip dari celah membuat Bara terbahak sekaligus gemas.
"Bukannya lebih bagus gini, seingatku semalam kamu tak keberatan." goda Bara.
Pipi Rea memerah, ia memalingkan wajahnya karena malu.
"Aku, hah? Mana mungkin."
"Mungkin saja, aku tau kamu kangen sama aku kan?"
"Nggak." elak Rea.
"Beneran nggak? jangan kangen, berat! Biar aku saja."
"Sejak kapan Mas Bara hobi gombal."
"Sejak jadi duda, kenapa? kan gombalnya cuma sama kamu Rea."
"Mas Bara cepet ganti baju sana, jangan deket-deket." usir Rea.
"Kenapa, hm? Nggak akan melorot juga." santai Bara, ia malah mendekat ke arah Rea dan duduk di hadapannya dengan senyum menggoda.
"Mas, jangan nakal aku aduin nih sama Mas Revan."
Bara malah menarik tangan Rea dan meletakkan di dada polosnya.
"Mas, ya ampun." pekik Rea memalingkan wajahnya.
Bara terkekeh, "baru gitu aja pipi kamu udah kaya tomat." ejek Bara, ia melepas tangan Rea dan bangkit dari duduknya lalu dengan sengaja mengganti pakaian di depan Rea.
"Ya ampun, Mas Bara." Rea hampir saja menjerit kalau tak buru-buru menutup wajahnya dengan bantal.
"Sudah selesai, kamu ngapain nutup wajah sama bantal?"
"Ih nyebelin." Rea beranjak, setelah melayangkan tatapan tajam kepada Bara, kemudian melangkah ke kamar mandi membersihkan diri.
Cukup lama Rea berada di dalam kamar mandi, ia menggeleng lemah membayangkan tubuh Bara yang terus melintas di otaknya.
"Sial, kok jadi aku yang m*sum sih." gerutu Rea, ia keluar dengan malas dan disambut Bara yang sudah rapi dengan setelan jas hitam yang membalut tubuhnya. Bara terlihat sangat tampan.
"Mas mau kemana?" tanya Rea, ini kali pertama baginya melihat Bara sangat keren.
"Ehm, aku ada kerjaan hari ini. Tapi kita masih punya waktu setengah jam lebih untuk sarapan bersama, ayo keluar?" tawar Bara.
"Aku, aku..."
"Ayolah Rea, tidak jauh kok hanya di seberang."
Mau tak mau Rea mengangguk, ia segera membuka ranselnya untuk mencari alat make up dan memoles tipis wajahnya.
Keluar dari apartemen, kini mereka menikmati sarapan bersama di restorant seberang jalan.
"Sebenarnya, Mas Bara kerja apa?" tanya Rea, pasalnya Bara terlihat sangat modis hari ini, bahkan jass yang dikenakan bermerk.
"Hanya karyawan." santai Bara, Rea menggeleng tak percaya, itu hal yang sangat mustahil mengingat Bara begitu murah hati dengannya.
"Cepat makan, keburu dingin."
"I-Iya Mas."
***
Bara mengantar Rea sampai depan pintu apartemen lalu mendaratkan ciuman di kening.
"Jangan kemana-mana, tunggu aku pulang!" Bara berujar, seolah Rea adalah kekasihnya.
"Tapi aku harus..."
"Tunggu aku pulang kerja." potong Bara.
"Aku ingin pulang ada yang menyambutku dengan pelukan dan senyuman." pinta Bara.
"Kalau begitu mari kita menikah."
"Aku baru menyandang status duda dan kamu sudah tak sabar ingin mengajakku menikah."
"Kenapa memang? usiaku memang kecil, tapi aku memang memiliki keinginan menikah muda, sepertinya menyenangkan."
"Baiklah-baiklah, tapi masalahnya kakakmu tidak ingin kita menikah, bagaimana?"
"Benarkah?" tanya Rea.
Bara mengangguk.
"Kalau begitu, sepertinya memang kita tak akan menikah. Mas Revan pasti memiliki pandangan lain siapa yang jadi adik iparnya." Rea tampak berfikir.
"Itu tak akan pernah terjadi selama kamu di sisiku, Rea."
"Hm, bagaimana kalau..."
"Hallo, Pa?" Bara mengangkat teleponnya yang tiba-tiba berdering.
"Jam berapa ini, Ra. Sepuluh menit kamu sudah harus sampai, Papa hitung dari sekarang!" tegas Aron.
"Iya, ini juga di jalan kok Pa, lagi macet." alibi Bara, setelah mendengar omelan Aron.
"Ck, tukang bohong!" ejek Rea.
Bara mendekus, lalu memasukkan ponselnya.
"Aku kerja, jangan kabur sayang," ujar Bara yang lebih mirip sebuah bisikan.
.
.
.
LIKE KOMEN & GIFTNYA JANGAN LUPA BESTIE💅🏻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Elisanoor
sat set sat set 🤣 percintaan macam apah ini 🤣
2023-12-06
0
Lev I
bikin greget ngegombalnya bara
2023-11-03
0
botak
gillaaa.....Rea..polos APAANN kecil apaan,...udah lihai menggatal gtu😂
2022-10-07
0