Satu tahun setelah lamaran,
Mery menutup mata, di depan kue ulang tahun yang bertingkat berhiaskan angka sembilan belas tahun. Dan, tak lama kemudian Mery meniup lilin itu cepat, sampai membuat apinya lenyap.
"Happy birthday, sayang" ucap Agriel, memeluk Mery dan mencium gadisnya. Ciuman itu sangat intens dan menuntut.
"Hmmmpphh," Dan pautan mereka terlepas, karena Mery sudah kehabisan pasokan udara.
"Selalu manis dan membuat candu." desis Agriel.
"Dasar, Agriel mesum!" pekik Mery kesal namun senang.
Dari belakang, Neanra muncul dengan senampan nasi kuning. Ya, setelah berdamai dengan hatinya wanita itu akhirnya pulang dan kembali dengan sendirinya. Tak ada banyak bicara, dan Mery enggan bertanya. Menurutnya jika ibunya tidak mau membuka, maka Mery akan diam. Karena Mery tahu, itu adalah luka. Hubungan ibu dan anak itu berjalan baik dan semestinya.
"Aduhh, kenapa ada mesum-mesumnya?" canda Neanra, mengerliakan matanya.
"Mom, Agriel itu mesum" adu Mery, lalu terpotong.
"Dan tampan." lanjut Agriel dengan rasa percaya dirinya.
Neanra terkekeh geli, melihat interaksi dua sejoli itu. "Jika sudah mantap, jangan gantungkan anak gadis Mom ya, Griel" ucap Neanra yang membuat Agriel mengangguk semangat.
"Tenang, Mom. Setelah aku dan Mery lulus, kami akan menikah. Segera" ujarnya menggebu dan mantap.
Mery tersenyum merona. Sungguh indah sekali zat bernama cinta ini.
"Sudah, sekarang sesi potong kue." Neanra berjalan ke arah kue bertingkat itu. Memberikan pisau kue pada Mery. Dan, acara ulang tahun kecil-kecilan itu pun berjalan dengan lancar, penuh hikmat.
***
Satu bulan setelahnya,
Mery berlari menyelusuri area kampus, mencari-cari keberadaan Agriel. Sejak dua hari yang lalu, cowok itu menghilang entah kemana. Tidak ada kabar ataupun izin, yang berarti absen Agriel alfa. Geruntuan kecil keluar dari bibir Mery.
"Ck.. Kau di mana Agriel!" decak Mery kesal.
"Di belakang mu, sayang" sahut seseorang dan langsung memeluk Mery erat.
Sontak saja Mery berbalik dan mendapati cowok yang selama dua hari ini ia cari, bahkan sampai ke rumahnya.
"Agriel!!!" pekik Mery, dan langsung menjewer telinga besar putih itu. Sang empu hanya bisa menahan sakit, dan pegang karena omelan dari pujaan hatinya.
"Maaf.." satu kata yang membuat Mery luluh.
"Kita itu sudah di akhir semester, Agriel." ucap Mery.
"Jadi, jangan sepelekan tentang kuliah. Kamu ingin kalau kuliah lama. Katanya, mau sekalian S2" sindir Mery.
"D3 aja, belum." ucap Ageriel pelan.
"Menjawab??" sahut Mery kesal, berdecak pinggang .
"Enggak, sayang." jawab Agriel.
Keheningan menjalari mereka, hingga uluran tangan Mery membuyarkan suasana canggung itu.
"Ikut aku, kita ke perpustakaan kampus bagian selatan" tarik Mery dan Agriel hanya bisa menurut.
Sesampai di Perpustakaan, Mery langsung mendudukan Agriel di kursi paling belakang dan memojok. Suasana perpustakaan memang tidak selalu ramai, dan hari ini sepi.
"Agriel, kamu hilang selama dua hari. Kemana?" tanya Mery pelan.
Sedangkan yang ditanya, diam dengan senyuman kecil, "Ke Singapura" jawab Agriel singkat.
"Ha? Untuk apa ke sana?" tanya Mery, menahan sebuah gejolak pahit dihatinya sendiri. Tidak sepercaya itu kah Agriel padanya? Sampai tidak mau memberinya kabar.
"Menemui Papa." Agriel merekuh tubuh Mery, dan membawanya ke dalam pelukan kokohnya. Mengelus pelan punggung kecil Mery, dan tangan itu menjalar sampai ke pinggang ramping Mery. Mencekalnya erat, seakan tidak mau Mery melihat wajahnya saat ini.
"Agriel... Bisa kau jelaskan sekarang?" lirih Mery.
"Selama kita berpacaran, kamu selalu tertutup, bahkan aku tidak tahu sisik beluk keluarga mu." Senyuman gentir Mery layangkan, dan sayang Agriel tidak melihat itu.
"Yang aku tahu, hidupmu rumit. Aku hanya bisa memberi mu semangat tanpa tahu akar masalah. Dulu, aku kira, aku tidak pantas menanyakan hal yang terlalu jauh itu. Tapi, setelah kamu melamar ku, apakah kara asing itu masih ada Agriel?" tanya Mery.
"Maaf... Sayang" Agriel mengeratkan pelukannya. Kepalanya mendongak, menatap raut wajah Mery yang nampak lesu.
Mery, cewek itu memang yang selalu mengalah dan pengertian padanya. Tidak terlalu memaksa, apapun itu. Hal itu yang membuat Agriel nyaman dan semakin mencintai Mery. Namun, di lain sisi, ia tidak mau sampai membuat Mery sedih dan kecewa akan dirinya.
"Agriel... Kenapa minta maaf?" seru Mery pelan.
"Tidak ada kata selain maaf?" lanjutnya, membuat Agriel bungkam.
"Aku takut Mery."
"Apa yang membuat mu takut?" tanya Mery. Agriel mengangkat tubuh kecil Mery dengan sangat mudah. Dan mendudukannya, di pangkuan pria itu. Kaki Mery, mengak*ng di antara paha cowok itu.
Tatapan intens mereka bertemu. Mery dapat merasakan, betapa terpuruknya tatapan yang Agriel layangkan.
"Agriel..." senyum Mery, menyugar rambut tebal hitam Agriel. Senyuman balasan Agriel layangkan, dia meemeluk Mery erat.
"Perusahaan Papa di ujung kehancuran." kata itu membuat Mery terkejut.
"Perusahaan yang ada di Indonesia, tidak bisa di selamatkan. Dan, kini yang ada di Singapura—pun begitu. Harapannnya hanya ada di Belanda. Itu satu-satunya harapan Papa." cerita Agriel.
Mery terdiam, dia hanya bisa mengelus kepala Agriel halus dan lembut. Mery masih ingin cowok itu bercerita panjang, namun sayang Agriel juga diam.
"Jika aku miskin, kamu masih mau bersama ku, Mery?" tanya Agriel, tiba-tiba.
Mery lantas tertawa, "Bicara apa kamu Agriel. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang kamu saja masih setia. Miskin itu hanyalah sebagian dari roda kehidupan. Aku tidak takut menikah bersama orang miskin, yang aku takutkan aku menikah dengan seorang pengkhianat." jelas Mery.
Agriel tersenyum, dan mengecup singkat benda kenyal mengemaskan di depannya itu.
"Tajam, tapi aku suka." cerca Agriel, membuat Mery tersipu.
"Agriel.. Aku tidak bisa mentoleransi sebuah pengkhianatan. Jika suatu ketika, kamu berkhianat, maaf jangan harap bisa bersama ku lagi." Ucapan Mery yang langsung membuat tubuh Agriel bergetar pelan.
"Tidak akan aku berkhianat pada mu, Mery. Sampai mati hanya ada kamu di hatiku"
"Tidak hanya hati agriel, tapi juga raga." balas Mery.
Agriel tersenyum, dan mendusel kepalanya di bagian cekuk leher Mery. Menyembunyikan kepenatannya di sana, menghirup aroma blossom yang menenangkan—aroma khas Mery.
***
Lagi, sudah satu bulan penuh Agriel menghilang. Mery kalut, dia mencari-cari cowok itu. Entah, kenapa akhir-akhir ini cowok itu suka menghilang—tanpa kabar. Mengigit jarinya gugup, dan takut. Matanya menyorot cincin emas yang ada di jari manisnya.
"Janjimu ada padaku, Ageriel. Kau kemana? Sesulit itukah memberi ku kabar?" gumam Mery. Menyembunyikan kepalanya di antara sela lipatan tangan. Mery sedang di rundung kesedihan.
"Mery," panggil seseorang, yang membuat cewek cantik itu mendongak.
"Ada apa, Hen?" tanya Mery.
"Aku perhatikan, kamu murung. Ada apa Mery?" tanya Hendra—teman satu fakultas dengan Mery.
Dia dan Hendra memang tidak terlalu dekat, namun sesekali cowok berkacamata tebal itu muncul, dengan segala pertolongan kecilnya.
"Gak papa, Hen." jawab Mery, bungkam.
"Aku tahu kok, kamu lagi sedih. Tapi, kalau gak mau cerita juga gak papa. Jangan larut-larut ya Mery. Kamu gak cocok sedih soalnya,"
"Cocoknya?"
"Menjelma jadi dosen killer. Soalnya pas, galak dan lindahnya tajam" jelas Hendra tersenyum merekah.
"Apa kamu bilang?" decak Mery, yang membuat Hendra ciut.
"Ampun Mery." Canda Hendra, dan di sahuti gelak tawa keduanya.
"Ngomong-ngomong, Agriel di mana? Udah lama gak lihat batang hidungnya." tanya Hendra. Mery menggeleng tidak tahu.
"Masalah ini?" tanya Hendra pelan.
Mery diam, dan dapat Hendra simpulkan itu jawabannya.
"Udah berapa lama?" tanya Hendra.
"Satu bulan, lebih, mybe?"
"Udah lama banget Mery, seharusnya Agriel udah di kasih surat peringatan. Karena ini kampus Negeri." ucap Hendra.
"Kita ke ruang kemahasiswaan,"ajak Hendra, yang langsung di anguki oleh Mery.
Hendra memang seperti itu, cowok yang bertampilan culun. Tapi mempunyai hati yang baik. Tidak hanya Mery yang pernah cowok itu tolong, tapi hampir semua temannya—jadi tak heran jika Hendra mempunyai banyak teman. Aura positif yang cowok itu berikan kadang membuat kegelisahan sedikit memudar.
***
Mery terdiam di depan rumahnya. Menatap hamparan rumput di depannya.
"Kok lucu ya, Griel." monolog Mery.
"Kamu keluar dari kampus tanpa ngasih aku kabar. Pecundang." desis Mery.
Mery sudah tahu semuanya, ternyata sudah satu bulan lebih—sejak awal kedatangan tiba-tibanya— Agriel mengeluarkan diri dari kampus. Mery meremas dadanya sakit, jadi selama ini dia di bohongi? Jujur saja, saat ini rasanya Mery ingin berteriak dan memaki Agriel seraya menendang cowok itu. Setelahnya, Mery ingin mencincang tubuh Agriel dan membuangnya ke laut.
Matanya menyorot hamparan rumput di depannya, terdapat banyak anak-anak SMA yang sedang bermain sepak bola. Pandangan Mery tajam, dengan gigi yang saling memelatuk.
Deringan ponsel memecahkan rasa kesal Mery. Terdapat nama Agriel tertera di layar ponsel. Secepat kilat, Mery mengangkat sambungan telepon itu.
"Aku tidak mau tahu, temui aku di Caffe tempat biasa kita nongkrong." ucap Mery dan langsung mematikan sepihak.
***
Agriel berlari, tatapan mengedar untuk mencari sosok Mery. Dari, kejauhan nampak Mery yang duduk tenang seraya menikmati segelas jus alpukat—minuman kesukaannya. Dengan langkah lebar, Agriel menghampiri Mery dan duduk tepat di depan Mery.
"Maaf.." lagi dan lagi kata-kata memuakkan itu terlontar.
Alis Mery terangkat tinggi, menatap Agriel dengan tatapan remeh. "Itu lagi? Sudah berapa maaf? Sampai telingaku sendiri pegal mendengarnya"
"Sayang.. Aku bisa jelaskan."
"Apa? Memang ada hal yang kamu sembunyikan?" tanya Mery seolah tidak mengetahui apapun.
Agriel mend*sah frustrasi, mengacak kasar rambut lebat hitamnya, menyorot Mery dengan tatapan lelah. "Jangan begini, sayang. Aku tahu, kau sudah mengetahuinya"
"Mengetahui apa?" tanya Mery singkat.
"Mery! Please, bertingkah lah lebih dewasa!" sertak Agriel membuat Mery tambah mengangkat alisnya, sebelah.
"Sepertinya kamu butuh kaca? Aku mempunyai nya, ingin berkaca dulu?" sahut Mery tak gentar. Memang hanya Agriel saja yang marah? Dirinya juga marah dasar sialan!
"Mery... Tidak bisakah kau jangan bersikap kekanak-kanakkan? Aku sedang stres! Jangan membuat ku marah dan memarahi mu"
"Tentu saja kau stres. Tidak mau berbagi dengan orang lain. Lupa jika manusia itu mempunyai kodrat sosial?" tanya Mery, pedas.
"Kau tadi bicara aku kanak-kanak?" sahut Mery sebelum Agriel berucap.
"Bukan seperti itu maksud ku, Mery." Agriel menatap Mery intens. Dia lelah, dia sangat lelah dengan permasalahan yang terus menimpanya. Sosok cowok gagah itu nampak loyo, seperti tidak ada gairah kehidupan di dalam dirinya.
"Lalu?" Mery mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin lamaran mereka. Melepaskannya pelan, tepat di depan wajah Agriel. Mery tidak mempedulikan tatapan tajam yang meloroh untuknya.
"Ku kembalikan ini. Aku juga lelah dengan hubungan konyol ini Agriel. Sejak dulu, tidak ada rasa terbuka darimu. Aku jadi merasa, bahwa kehadiran ku hanyalah sebatas nafsu untukmu. Kau kira aku bodoh, heh?" Tepat cincin emas itu di letakkan di meja.
"Pakai!" tegas, dingin, tajam dan menyeramkan.
"Perintah? Tidak sudi!" balas Mery tak kalah sadis.
"PAKAI KEMBALI MERY!" bentak Agriel membuat atensi para pengunjung menyorot mereka.
Mery tidak peduli, lantas berdiri dan meninggalkan Agriel begitu saja. Namun, langkahnya terhenti, dia menoleh dan menatap Agriel sesaat.
"Kita putus, sampai di sini saja kisah konyol ini Agriel."
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments