Mobil Mery kini teparkir apik di depan Caffe Brun's Hondeyy Llideiy. Dengan santai dan gaya elegan Mery membuka pintu mobilnya. Berjalan dengan langkah tegas dan membuka pintu Caffe dengan jari jari lentiknya.
Padangannya mengedar menatap satu persatu orang yang ada di sana. Sebagian besar dari mereka adalah kalangan atas, mengingat juga bahwa Caffe ini adalah tongkrongan bagi mereka.
Bagaimana bukan Caffe hight class? Satu minuman saja harganya bisa mencapai lima puluh ribu. Mery yakin bahwa Bundanya Ella memang orang kaya, teh real sultan mungkin?
Dari sekian banyak orang, Mery tidak menemukan orang dengan ciri seperti yang Ella sebutkan tadi. Sekarang terdengar runtukan kebodohan dari mulut Mery, kenapa dirinya tidak meminta foto bunda Ella langsung saja? Caffe ini juga begitu luas. Yang saat ini Mery pinjak adalah lantai dasar. Sedangkan Caffe ini terdiri dari empat lantai dengan lantai paling atas adalah ruangan khusus, atau VVIP—dengan tambahan kolam renang panas yang eksotis.
Bahunya di tepuk pelan, membuat sang empu terkejut bukan main.
"Nona Mery?" tanya pelayan Caffe itu. Mery mengangguk, menatap tajam penuh selidik pada wanita muda didepannya. Mery bisa menebak dia pelayan di sini karena wanita muda itu mengenakan seragam Caffe dengan apron logo Caffe tersebut.
"Mari, ikuti saya Nona. Nyonya Anouk sudah menunggu anda di lantai empat." ucapnya sopan membungkuk dan menuntun Mery menaiki sebuah lift. Selain tangga berupa— kayu jati yang kokoh dengan gaya klasik khas rumah Jawa terpadu Toraja— juga ada lift.
"Nyonya Anouk?" ulang Mery.
Pelayan itu tersenyum dan mengangguk, "Benar, Nona. Beliau sudah menunggu anda sejak tadi."
"Sejak tadi? Perasaan aku berjanji saat jam makan siang. Dan ini masih jam makan siang. Aneh" dengus Mery.
Secara tidak sengaja, pelayan itu menyindir Mery yang tidak on time.
Tatapan sinis Mery layangkan, dan membuat pelayan wanita itu takut, hingga menunduk dalam.
"Ciuh, segera pergi." usir Mery kesal. Moodnya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, selang beberapa hari tamu bulannnya akan datang.
Mery mende-sah frustasi, jika sudah bad mood gini, Mery tak segan membuat hati orang sakit karena lidah tajamnya.
Ruangan lantai empat, begitu sepi. Seperti didesain untuk tamu terhormat. Terdapat beberapa bilik yang sepertinya sebuah kamar, dengan kolam renang yang terpapang mempesona di area balkon. Tatanan ruangan itu sungguh unik, ada meja ditengah kolam kecil dengan kursi yang dibuat seakan mengambang. Ditambah ikan-ikan koi yang mengemaskan ikut serta dalam mempercantik ruangan itu.
Pandangan Mery mengedar menatap ruangan klasik nan unik itu. Tak ada siapa-siapa. Lalu, dimana Nyonya Anouk itu?
Hingga akhirnya Mery memutuskan untuk duduk disalah satu bangku seraya memberi makan ikan ikan koi yang gembul itu.
Mery menunggu cukup lama, dan dia mulai bosan. Apakah Nyonya Anouk itu membohongi dirinya? Mempermainkan nya? Sungguh, dia belum merasakan ucapan kejam dari Mery.
Klek..
Pintu disalah satu bilik itu terbuka, menampilkan wanita dengan postur tubuh tinggi bak model dengan rambut pirang dan hidung mancung minta ampun. Garis-garis rahangnya tegas dengan perpaduan pipi tirusnya.
Mery sedikit terkejut dengan sosok yang ada diambang pintu itu. Napasnya memburu dengan kilatan kenangan demi kenangan buruk terlintas tak terkendali. Kaset rusak itu memaksa ingin menampilkan sebuah tayangan.
Senyuman mengejek dapat Mery lihat, Nyonya Anouk. Pantas saja Mery tak asing dengan nama jelek itu, ternyata memang dia pernah mendengar nama itu, dan sialnya mengenal orangnya juga.
Dengan gaya casual yang menggoda, sedikit memamerkan bekas kissmarknya pada Mery, Anouk memperbaiki kemeja kebesarannya—kemeja seorang pria—mungkin?
"Apa kabar, old friend? long time no see you." ucapnya menyapa Mery.
"Baik, kau tenang saja, j4lang murahan. Berjumpa denganmu bukankah mimpi terburuk? Bagaikan sekarang ini aku berpijak pada neraka." balas Mery pelan penuh penekanan.
Batin Mery sekarang penuh akan tanda tanya. Dia Bundanya Ella?
"Ohhh sungguh kasarnya mulut mu itu, Mery." decak Anouk menggelengkan kepalanya.
"Ku dengar kau, pengasuh anakku?" tanya Anouk berjalan menuju Mery.
"Hahaha.. Bisa kau bilang begitu. Ku dengar, kau wanita tidak tahu diri. Sudah tidak bisa hamil tapi memperlakukan seorang anak seenaknya. Sejatinya Tuhan memberikan anugerah kau sia-siakan. Memang, semua anak harus lahir dari rahim? Ups, aku lupa kau wanita tidak berpendidikan sejak—dulu mungkin?" desis Mery dengan kekehan mengejek. Darahnya mendidih, mengingat wajah Anouk yang hanya memberi kenangan buruk.
"KAU! bicara mu sungguh angkuh sekali Mery." dengus Anouk.
Tak berselang lama, sosok pria berjalan santai keluar dari bilik kamar yang tadi tempat di mana Anouk keluar. Tatapan Mery berubah tajam, menatap bengis pria itu. Apalagi saat melihat pria itu sedang mengancingkan kemejanya, dengan tubuh basah.
Rahang Mery mengetat dengan tangan terkepal kuat. Sorot mata Mery sekarang berubah menjadi jijik, memandang pria itu.
Pria itu, Agriel. Baru Mery sadari sekarang, satu fakta yang menyakitkan hatinya. Bahwa, Agriel tetap bersama Anouk. Decihan muak Mery berikan, janji pria memang tidak bisa dipercaya.
Agriel, Anouk dan Ella. Kenapa Mery merasa ini saling berhubungan kuat? Batinnya seketika melontarkan sebuah pernyataan—sebuah kesimpulan— yang semakin membuat Mery merasa rendah.
"MAMA" teriak Ella berlari memeluk Mery. Mery terpatung, dan menatap Ella sejenak.
"Mama, udah kenal sama Bunda kan? Dan Papa." ucap gadis itu.
Mata Mery menatap Ella dengan tatapan tak terbaca. Menatap Agriel dengan raut wajah penuh kekecewaan.
"Siapa Ella?" tanyanya pada Agriel.
"Namanya Aura Bella Decaxta, dia anak angkatku dengan Agriel." jawab Anouk. Berjalan memeluk suaminya erat. Sedangkan yang di peluk hanya diam, mematung dengan tatapan dinginnya.
Aura Bella Decaxta. Nama yang beberapa tahun silam menjadi perdebatannya dengan Agriel.
Hancur, kecewa, marah dan semua rasa sakit
terpaut menjadi satu. Mery menatap Ella dalam, sedalam samudra. Tatapan yang membinus sampai ke ulung hati.
Dengan tangan gemetar, Mery menarik baju Ella. Melihat tanda lahir berupa lingkaran kemerahan yang ada di kuadran atas perut Ella. Tangisnya pecah seketika. Memeluk erat Bella-nya. Bayi perempuan yang sangat Mery sayang kini sudah tumbuh sebesar ini. Tumbuh tanpa kehadiran Mery.
Beberapa tahun Mery sibuk mengobati dirinya karena kehilangan, tapi ternyata seenak jidatnya Agriel menyembunyikan Bella. Dan lebih menyakitkan lagi bahwa, Bella dirawat oleh Anouk—musuh bebuyutan Mery.
Mery berjalan cepat kearah Agriel. Tanpa babibu tangannya melayang ke udara dan seketika memberi tamparan keras kepada Agriel.
"KAU PECUNDANG BODOH, AGRIEL! PRIA PENGECUT! DIMANA HATI NURANIMU?" teriak Mery, menangis histeris.
Plak
Mery memandang bengis Anouk, kenapa wanita tidak tahu diri ini masih punya muka? Malah sekarang berlagak seperti nyonya besar. Tidakkah dia tahu bahwa dia juga hanya dijadikan sebagai alat?
"Jaga sikapmu, Mery. Jika beberapa tahun silam, Bella ada padamu, bukankah besar kemungkinan dia tumbuh menjadi gadis bringasan, seperti kau!"
Mery tersenyum kecil, penuh dengan amarah yang mendidih. Dengan cepat, tangannya meraih rambut pirang Anouk. Menatapnya tajam dan memberinya tamparan yang sangat amat keras. Hingga, ujung bibir Anouk pecah mengeluarkan darah.
"Kau berkata aku bringasan bukan? Ya aku memang bringasan!. Hati Ibu mana yang tidak sakit dan terluka ketika menganggap anak yang dia sayangi sudah mati, tapi nyatanya masih hidup. Manipulasi kalian sungguh menjijikkan." dengus Mery.
"Tante, kenapa pukul Bunda?" tanya Bella mendekat pada Anouk.
Panggilan Bella berubah pada Mery. Sakit hati Mery ternyata belum usai.
"Bella, kemari sayang." seru Anouk memegang bibirnya yang perih.
"Jangan dekat-dekat dengan dia lagi. Dia orang jahat" bisiknya membuat Bella menatap Mery bingung.
Lantas, kepala kecil itu menatap Papanya. Segera, Agriel mendekat.
"Dia Mama mu. Jangan rubah panggilan itu. Dia juga punya hak atas dirimu, selain Papa" ucap Agriel pelan.
Mery masih diam di sana, diam mematung dengan segala rasa sakit. Pengorbanannya sia-sia. Kisah romansa kelam yang terganti dengan skenario kejam.
"Kau lebih bahagia bersama, Papa mu ternyata" ucap Mery miris.
"Begini kan mau kalian? Menjadikan aku kambing congek tak tahu apa-apa. Aku memang bodoh. Penyesalanku memang ada disaat aku menerima omong kosong tentang cinta dan menikah. Ku benci dua hal itu." sanggah Mery, berbalik mengambil tasnya dan berjalan keluar dari sana.
"Ma.. Bella minta maaf." ucap Bella berlari menuju Mery. Setelah dia mendapatkan teguran dari Papanya.
"Kau tidak salah, Bella." ucap Mery tersenyum dan mengelus pipi Bella sayang.
"Mama mau kemana?" tanya Bella sedu. Bocah kecil itu sepertinya juga di lema.
"Pergi jauh dari segala hal menyakitkan"
"Tidak nona pikirkan lagi?" potong Qeila, yang datang bersama Bella.
"Qeila.. Mama marah denganku."
"Panggil dia Nani, Bella." tegur Mery, menatap miris pada Bella.
"Bunda mengatakan aku tidak baik memanggil Qeila Nani."
"Terserah." kata itu terlontar begitu saja. Mery sudah muak, dirinya pusing dan jenuh.
Keputusannya juga sudah tepat. Dia akan melepaskan Bella—anak adopsinya dengan Agriel— dan pergi jauh dari kehidupan mereka.
"Sejatinya aku sangat menyayangi mu, Bella. Tapi hatiku tidak bisa berlama lama di sini. Dan tidak mungkin juga aku menculik mu. Sedangkan Ayahmu sendiri bukan orang biasa."
"Qeila, aku tahu sekarang. Aku titipkan Bella padamu. Jangan segan untuk menegurnya jika dia salah. Didik dia sebaik mungkin." ucap Mery dan pergi begitu saja.
Bella menatap Qeila teduh. "Aku bingung, Nani."
"Papa menyuruhku bersandiwara. Semua orang seperti tidak menyayangi ku." teduh Bella. Menduduk, dan tak berselang lama bocah itu menangis.
Qeila memeluk Bella erat, mengusap punggung gadis itu untuk memberikannya ketenangan.
"Bella tidak lupa kata Papa waktu itu?" tanya Qeila.
"Tidak." ucap Bella menghapus air matanya.
"Bella harus tetap sayang pada Mama dan menghormati Bunda. Bukankah Papa juga sudah memberi Bella janji bahwa semua akan segera berakhir. Bella hanya butuh sabar dan fokus pada pendidikan." ucap Qeila menggulang kata Agriel pada saat itu.
Dan, Bella pun mengangguk seraya kembali memeluk Qeila.
Di lantai atas, tepat di mana Anouk dan Agriel masih berada.
Tatapan Anouk berubah tajam, menatap intens pada Agriel yang hanya diam seperti patung.
"Ingat satu hal, Agriel. Bahwa kau bukan siapa-siapa tanpa aku!" decihnya dan pergi meninggalkan Agriel sendirian.
"Dan kau, tidak lagi tahu siapa aku yang sekarang." balasnya dengan tatapan mematikan, yang sayang tidak lagi di lihat oleh Anouk.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments