Pagi harinya,
Jarum jam terus berputar, kini jarum panjang berhenti pada angka dua dan jarum pendeknya pada angka delapan. Jam delapan lebih sepuluh menit. Korden yang menutupi jendela sudah dibuka lebar oleh pelayan yang bertugas. Sinar matahari yang menyilaukan nampak tidak mempan untuk membangunkan Mery dan Ella yang tidur nyenyak seraya berpelukan.
Pintu kamar terbuka pelan, suara sepatu berpadu lantai terdengar merdu. Bau parfum maskulin menguar begitu saja diruangan itu.
Tangan besarnya, perlahan menyentuh wajah Mery, menundukkan kepala dan mengecup dahi Mery lama. Setelahnya, kecupan itu mendarat pada pipi Ella. Menepuk gadis kecilnya itu pelan, guna membangunkan dari tidur lelapnya.
"Papa?" gumamnya pelan. Tangan gembul itu terulur mengucek matanya.
"Ssttt, nanti Mama bangun." lirih pria itu pelan.
Ella mengangguk cepat, dan turun dari ranjang. Memeluk Papanya erat. "Kangen sama, Papa."
"Papa juga," balasnya.
"Pa, kita gak bangunin Mama?" tanya Ella.
"Setelah Papa pergi dari sini. Bangunkan Mama, dia ada meeting pagi ini." jawabnya.
"Semua sesuai rencana, Papa."
"Terimakasih, sayang"
***
"MAMA!" pekik Ella menggoyangkan tubuh Mery.
Dengan mata terpejam erat, Mery hanya bergumam tak jelas.
"Mama, udah jam setengah sembilan. Ella mau di antar Mama."
"Ma," panggil Ella lagi. Sekolah Ella mempunyai sistem lebih santai daripada sekolah pada umumnya. Jam masuk sekolah Ella jam sembilan. Berbeda dengan kantor Mery yang mulai kerja mulai jam tujuh, tapi itu khusus untuk pengawai bawah.
Sedangkan Mery, biasanya datang ke kantor jam delapan. Atau pernah Mery datang pagi, untuk alibi cepat agar tidak di tanyai tentang kapan menikah oleh ibunya.
"Mama, handphone mama bunyi terus. Tulisannya Rena." ucap Ella menatap ponsel Mery yang berhenti bergetar.
Mata Mery langsung saja terbuka lebar. "RENA?" pekik Mery.
Menatap jam, sudah pukul setengah sembilan lebih. Matanya melotot seperti ikan bandeng, tanpa babibu langsung saja Mery bangun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Namun, ada satu hal yang ia lupakan.
"Ella, di mana kamar mandinya?" tanya Mery tergesa.
Ella langsung menunjuk pada arah selatan, "Di sana, Ma. Handuknya udah ada di sana, handuk Mama yang biru ya. Yang pink punya Ella."
Mery mengangguk, dan langsung berlari ke kamar mandi. Mandi dengan cepat, yang penting kena air dan gosok gigi.
Ella yang paham, Mamanya akan kelimpungan. Dengan cepat memanggil pelayan untuk menyiapkan pakaian Mery dan membawa barang-barang perlengkapan kantor Mery ke kamar.
***
Pagi ini, Mery yang biasanya berdandan ayu dan mempesona kini tidak demikian. Tidak ada polesan make up atau semacamnya. Rambutnya pun hanya di cempol asal. Tapi, walau begitu, kecantikan alami Mery malah terlihat. Bisa dikatakan, Mery malah terlihat tua saat menggunakan make up.
"Mama, Ella ikut sekalian ya?" tanya Ella melas.
Mery tak sempat menjawab dan hanya mengangguk sebagai jawaban. Dirinya sibuk, membuka laptop dan menghubungi Rena. Bisa-bisanya lupa bahwa pagi ini ada rapat penting.
Tadi malam, ia tidur terlalu larut. Karena pengaruh obat bius yang diberikan Qeila membuatnya sulit terlelap.
"Kau bisa cepat, Ella? Aku ada meeting pagi ini." ucap Mery. Ella mengangguk, dan segera memakan rotinya cepat.
Tak berselang lama, mereka pun berangkat menggunakan mobil Mery.
"Nani, nanti kau menyusul saja. Aku tidak mau acara berduaku dengan Mama terganggu." ujar Ella dan di angguki oleh Qeila.
"Baik, Nona muda. Hati-hati..."
"Jam berapa Ella biasa pulang?" tanya Mery pada Qeila.
"Nona muda mengikuti ekstrakurikuler dan organisasi hari ini, jadi akan pulang sore jam empat."
"Hari ini, aku yang menjemputnya." ucap Mery
"Dan, kau Qeila tolong beresi barang-barang ku. Tata rapi di kamar tamu saja." lanjut Mery.
Qeila mengangguk, "Jangan membatin. Aku hanya sebulan di sini. Ingat detak dan napas yang kau hutang" sambung lagi Mery.
Qeila hanya menjawab dengan anggukan. "Saya tidak suka membicarakan orang di hati, nona."
"Saya lebih suka membicarakan orang langsung di depannya." lanjut Qeila.
"Kau pintar memanipulasi dosa." jawab Mery dan berlalu.
"Terimakasih atas pujiannya, nona."
***
Seperti biasa, hiruk pikuk kota metropolitan ini seperti tidak pernah sepi. Jalanan pagi ini, padat dengan pegendara.
"Rena, tolong tunda meeting sampai tiga puluh menit ke depan. Aku terjebak macet." ucap Mery melalu airpons di telinganya.
"Ma," panggil Ella.
Mery sedikit kaku dengan panggilan itu, dia lantas menoleh sekilas pada Ella.
"Benar bukan jalannya ini? Di google maps sudah benar." ucap Mery melihat handphonenya.
"Benar kok, Ma. Ella mau cerita."
"Oh aku kira." gumam Mery.
"Apa yang ingin kau ceritakan Ella?" tanya Mery.
"Sebenarnya aku tidak suka sekolah di sana, Ma." awal Ella, dia menunduk.
"Aku gak suka sekolah di sana." ulangnya lagi.
"Kenapa? Bukankah sekolah itu adalah sekolah terbaik di negeri ini?" tanya Mery.
"Semua sekolah baik, Ma." jawab Ella.
Mery mengangguk, "Memang semua sekolah itu baik. Tapi, fasilitas di sekolahmu yang ini adalah yang terbaik. Lebih baik dari sekolah umumnya."
"Apa yang membuatmu mengatakan itu, Ella?" tanya Mery.
"Aku merasa tidak nyaman di sana, Ma. Teman teman ku terlalu memandang kaya miskin."
"Bukan nya kau itu kaya, kenapa mereka masih memandang kaya miskin?"
"Statusku di sembunyikan, Ma. Papa tidak memperolehkan aku menjadi gadis kaya di sekolah."
"Papa mengatakan, bahwa menjadi kaya tidak dibutuhkan di sekolah. Karena sekolah tempat menuntut dan mencari ilmu. Jika aku kaya di sekolah, nanti aku akan lesu saat belajar. Merasa bisa membeli apapun dengan uang dan melupakan ilmu di sekolah. Papa selalu bilang begitu pada Ella. Jadilah seseorang miskin ketika kau menuntut ilmu, dan jadilalah seseorang rendah hati ketika sudah terisi." ucap akhir Ella. Dan mobil Mery berhenti di depan gerbang sekolah.
"Makasih, Mama. Ella sekolah dulu." pamit Ella, mencium kedua pipi Mery dan punggung tangan Mery.
Mery tersenyum kecil, hatinya tersentil dengan kelakuan Ella yang manis. Begitu hangatnya di hati saat melihat seorang anak mencium punggung tangan orangtua sebelum berangkat sekolah. Tapi, sayang di sini Mery hanyalah orang asing.
Setelah Ella masuk ke dalam gedung sekolah elite itu. Mery kembali terpikir dengan ucapan ayah Ella. Ternyata seburuknya seorang mafia, akan luluh dan menjadi manusia suci di depan anaknya. Melupakan dosa dan mencegah keburukan.
"Apakah papanya masih muda? Kalau iya, menikung sepertinya seru." canda Mery, menggelengkan kepala ketika ide gila itu muncul.
"Jangan gila Mery! Laki-laki yang masih longgar ada banyak di dunia ini. Tidak perlu merusuhi laki-laki yang sudah jelas berkeluarga." gumamnya yakin.
****
Sesampainya di kantor, Mery langsung bergegas masuk ke ruangannya. Berjalan, sambil menyiapkan berkas untuk meeting dan alat make up.
Bruk
"Maaf, saya buru-buru." ucap Mery menunduk dan segera berlari saat pintu lif sudah terbuka.
Seorang pria dengan postur tegap, tinggi dan kekar itu nampak tersenyum tipis. Menatap sekilas punggung Mery dan melanjutkan jalannya.
"Mari, Presdir." sapa beberapa karyawan, menunduk hormat.
Yang disapa hanya mengangguk singkat, dan berlalu dari sana.
Sedangkan di ruangan Mery,
"Rena, sudah ready?" ucapnya.
"Sudah, Miss." jawab Rena.
"Keluarlah sebentar, aku harus berbenah dulu. Beritahu yang lain, bahwa rapat akan di mulai sepuluh menit lagi."
"Baik, Miss." ucap Rena dan keluar dari ruangan Mery.
Setelah Rena keluar, dengan gerakan secepat kilat Mery mengucir ekor kuda rambutnya, memberikan polesan make up seadanya, dan terakhir menyemprotkan minyak wangi.
Sebelum langkah kakinya semakin mendekat pada pintu, Mery mengambil satu tablet obat pereda sakit kepala. Efek dari bius Qeila masih ada, dan itu sangat mengganggu konsentrasinya pagi ini.
Ketika kakinya melangkah keluar, Mery di kejutkan dengan kehadiran sosok yang sangat dia kenal. Matanya melotot, tapi masih bisa ia kontrol. Melirik pria di sampingnya, Tuan Ree Akmal.
"Pagi Tuan. Maaf, tubuh anda menghalangi jalan saya." tandas Mery. Matanya tak berani beradu dengan pria di samping Tuan Ree. Terlalu sakit ketika mengingat bola mata gelap itu.
"Miss Mery, di depan anda ada seorang pemilik perusahaan. Memberi sapa termasuk peraturan kesopanan di perusahaan ini." ujar Ree, sembari menatap Mery tajam. Tak lama, setelah itu ia menunduk lagi.
"Apakah sapaan saya kurang jelas, Tuan?. Tapi, maaf.. Saya di sini kerja. Saya kerja untuk perusahaan. Jika hanya masalah sapa menjadi problematik di pagi ini, sepertinya sistem keprofesionalan harus di upgrade." balas Mery dengan senyuman tipis.
"Dan, permisi.." sela Mery ketika melihat mulut Tuan Ree akan terbuka.
Tangan pria di sampingnya terangkat. "Biarkan dia bekerja." ucapnya dengan nada datar.
"Periksa manager lainya dulu. Masalah keuangan, bicarakan nanti setelah rapat selesai." perintahnya.
Pria itu setiap—hampir—seminggu sekali atau dua bahkan tiga kali akan berkeliling mengecek dengan sendirinya keadaan dan operasional perusahaan secara langsung. Diamnya, bukan berarti masa bodoh. Tapi, diamnya pria itu penuh dengan misteri dan segala rencana liciknya.
"Baik, Tuan." Ucap Ree hormat.
Di dalam ruangan rapat, Merye mencoba profesional. Melupakan rasa rakutnya, melupakan rasa kecewanya dan melupakan sebuah sakit yang teramat dalam dihatinya. Sosok itu lah yang membuatnya mempunyai prinsip enggan menikah. Seolah memberi tahu, bahwa pecundang itu ada pada diri semua laki-laki. Apalagi, kehidupan rumah tangga ibunya, sudah cukup Mery merasakan rasa sakit sekaligus takut.
Semuanya berjalan dengan lancar. Seusai rapat, pria itu sudah tidak ada. Hembusan napas lega kini terdengar. Melihat jam, waktunya makan siang.
BERSAMBUNG.....
Hai! bertemu lagi dengan cerita Elemery. Jangan lupa untuk apresiasi kalian terhadap karya ini ya!!
spoiler bab selanjutnya: 🐿🔞🐍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Weny Yuniestin
seru nih
2022-07-09
1
puji Astutik
takutnya
2022-07-06
1
puji Astutik
dan aku akan dukung kamu
2022-07-06
1