"Bagus Agriel, membuat ku bingung dan sekarang membuat ku terkejut." ucap Mery, masih dengan drama terharu. Hidung cewek itu kini memerah, dan itu menambah kesan lucu bin imut.
"Penuh kejutan, bukan?" Alis cowok itu terangkat naik, menatap Mery dengan wajah tak terbaca. Dan, itu malah menyebalkan di mata Mery.
"Kamu sepertinya rindu dengan cubitan ku, Agriel" ujarnya, dan langsung mencubit keras pinggang ramping Agriel.
Sang empu pun terkekeh menahan sakit. Menatap Mery, lalu menelungkup kepala mungil itu. Lama mereka terdiam, Agriel langsung mengecup dan sedikit menyes*p bibir Mery.
"Aku rindu kamu, Mery." bisiknya. Mery pun mengangguk, seakan mengatakan bahwa dia juga merindukan Agriel.
"Perusahaan Papa sudah stabil. Maaf dia tidak bisa datang kemari. Tapi sudah di wakilkan oleh Om Dino dan juga Bunda. Bundaku, cantik bukan?"
"Sama sepertimu." lanjut Agriel, membuat pipi Mery memanas.
"Aku paham, terimakasih."
"Kenapa terimakasih? Seharusnya aku yang terimakasih, sudah mau menungguku selama ini. Aku takut Mery, jika sewaktu-waktu kamu lelah dengan hubungan ini. Aku takut kehilangan mu. Bagaimana hidupku tanpa sosok mu, Mery?" gumam Agriel, mengecup punggung tangan Mery.
Mery menggeleng, dengan mata yang kembali berkaca-kaca, "enggak, Griel. Aku gak akan tinggalin kamu." ucap Mery.
"Cinta banget sama kamu, Mery" ucap Agriel tulus dan membawa Mery ke dalam pelukan cowok itu.
"Aku bakal di sini selama beberapa bulan," ucapnya.
"Sebelum kembali ke Belanda, untuk kuliah di sana." lanjut Agriel.
"Sebelum aku kembali, kita udah nikah ya?" Sontak saja Mery mengangkat kepalanya, menatap Agriel dengan sebuah senyuman merekah bak bunga baru mekar.
"Patuh pada perintah, calon suami." ucap Mery, yang membuat jantung Agriel berdetak tidak karuan.
***
Keesokan harinya,
Mery tersenyum merekah, menatap cowok tinggi dengan style celana jeans bolong, terpadu dengan kemeja kotak putih biru, sungguh tampan! Apalagi sinar matahari menyorot mata Agriel yang hitam pekat.
"Siap, jalan-jalan, calon istriku?" tanya Agriel, memberi tangannya dan di sambut hangat oleh Mery.
"Tentu saja, Calon Suami." balas Mery tak kalah. Bahkan, dengan gaya menggodanya, Mery mengecup pipi kanan Agriel.
Gemas, Agriel mencubit hidung kecil tak begitu mancung itu. "Kau semakin nakal, sayang" kekeh Agriel.
"Berkatmu, karena kamu mesum minta ampun. Maka aku sebagai calon istri yang baik harus bisa mengimbangi suaminya." ujarnya dan memberi kedipan mata menggoda.
Agriel lantas tertawa keras, dan segera merangkul Mery. Membawanya ke dalam mobil yang sudah teparkir apik di depan halaman rumah Mery.
"Jadi, kita mau kemana?" tanya Agriel, siap meluncurkan mobil sedan hitamnya.
"Tentu saja shopping, dan menghabiskan uang mu, sayang" jawab Mery.
"Wow, aku tunggu tagihan yang membludak itu." balas Agriel, dan di sambung kekehan kecil Mery.
"Tidak, Griel. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu, di rumah." ucap Mery, serius. Menatap depan, jalanan yang lumayan ramai itu.
"Rumah ku? Memasak? Atau menonton film?" tawar Agriel.
Lantas, Mery menoleh, "melakukan semua hal bisa kita lakukan." ucap Mery, memberi kedipan matanya.
Blam! Itu sungguh mengguncang jiwa perkasa di dalam inti tubuhnya. Ditambah, saat ini Mery mengenakan dress selutut dengan motif bunga kecil berwarna merah jambu. Manis, dan kontras dengan kulit putih bersih Mery. Rambut semu kecokelatan itu tergerai apik, dengan jepit polos merah mengapit poni panjang Mery.
"Aku tahu, pikiran kotor apa yang ada di dalam otakmu, sayang. Segera nyalakan mesinnya, dan pergi ke pasar." seru Mery.
Agriel tersenyum malu, dia lantas mengambil dagu Mery cepat. Membuat sang empu sedikit kaget. Tatapan mereka beradu, dan tak lama kemudian pertemuan antara dua benda kenyal tak terelakkan. Sedikit gigitan gemas Agriel berikan, tak lupa membeli tanda samar di leher jenjang Mery.
"Agriel..." cegah Mery, saat tangan cowok itu sudah akan merem*s dadanya.
"Maaf, sayang. Godaaan terbesar, memang" kekeh Agriel.
Mery meloroh, menatap sebal pada Agriel. "Cepat jalan, sayang ku."
"Baik cintaku." jawab Agriel tersenyum.
***
Bau tanah becek yang menguar, ditambah bau amis dan busuk. Agriel benar-benar menahan napas, melihat sekelilingnya banyak pedagang yang mayoritas sudah sepuh. Menatap wanita kesayangannya di depan, nampak menawar dan memilih beberapa sayur mayur dan daging.
Wajah merah, dan tidak betah jelas sangat ketara. Kulit putih itu nampak memberikan sinyal.
"Sayang." panggil Agriel, tak elak membuat Mery menoleh.
Sebal, cowok itu mengerucutkan bibirnya. Sudah dandan gentle begini malah di suruh ke pasar, bawa belanjaan si Mery yang sudah membuat tangannya pegal. Sepertinya secara tidak langsung, cewek itu telah menghukumnya.
"Sepuluh ribu aja ya, mbah." ucap Mery tetap kekeh pada pendiriannya.
"Belum bisa, cah ayu. Belinya aja banyak lohh,"
"Makanya itu mbah, banyak 'kan belinya. Jadi, di kurangin harganya. Diskon dikit lah." tawar Mery.
"Kalau banyak di diskon, ya rugi to, cah ayu."
"Ta—"
"Matur nuwun," ucap si penjual saat Agriel sudah melayangkan uang sepuluh ribunya. Mery berdecak kesal, walau tak ayal dirinya tersenyum senang.
"Menunggu mu menawar, sudah seperti menunggu sebuah kepastian dan harapan." sindir Agriel kesal. Lihat saja, tampang keren tadi sudah lenyap tergantikan dengan tampang sangar.
"Kamu marah?" tanya Mery. Langsung dan cepat, Agriel menggeleng.
"Enggak. Siapa yang marah?" tanyanya sok polos.
"Oh ya?" Mery memincingkan matanya, menatap Agriel intens.
"Enggak, sayang. Udah 'kan? Aku udah gak sabar mau masak bareng kamu. Terus nonton film porno" ucap Agriel.
"AGRIEL!!" bentak Mery kesal, malu dan aghttt sebuah rasa yang intinya malu setengah mati. Apalagi ada beberapa telinga mendengar.
"Udah ayo!" ajak Mery mengandeng tangan Agriel yang malah terbahak, masih dengan mode tertawa. Merasa lucu dengan raut wajah kesal bin malu Mery.
***
Sesampainya mereka di rumah Agriel. Keduanya pun secara kompak membereskan dan mulai menata belanjaan mereka.
"Agriel. Kamu yang, masak?" tanya Mery. Bukannya gak pinter masak, tapi di sini Agriel lebih enak masakkannya.
"Untuk bidadari ku," jawab Agriel.
Mery tersenyum, "Aku bantu apa, Griel?" tanya Mery ikut menimbring. Dan terjadilah pertempuran di dapur antara Agriel dan Mery. Mereka nampak sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak menghiraukan ponsel dari Agriel maupun Mery yang berdering secara bergantian. Dengan nama penghubung yang sama.
Setelah beberapa jam,
Peluh keringat di usap Mery dengan lengannya. Menatap makanan di meja makan yang sudah tertata apik. Senyuman kepuasan terbit. Hidangan yang komplit, dengan aneka rasa. Dari yang manis, asin, pedas, hingga asam.
"Puas?" tanya Agriel, membantu mengelap keringat Mery.
"Yes!" jawabnya, senang.
"Acara selanjutnya, persiapkan acara nonton filmnya." Mery, lantas menata semua makanan itu di piring Agriel.
"Oke." Agriel, nampak sibuk dengan ponselnya. Mery acuh, mungkin ada beberapa pesan penting yang memang harus di balas.
"Mery," panggil Agriel. Mery, menaikkan alisnya, tanda bahwa dia merespons panggilan Agriel.
"Temanku, ingin ke sini. Tidak apa-apa?"
"Kalau, kamu keberatan, akan aku beri alasan." potongnya cepat.
"Siapa?" tanya Mery.
"Dia teman lama. Dulu, sekolah di Belanda, anak dari teman papa. Tapi, sudah satu tahun ini, pindah ke Indonesia," jelas Agriel.
"Perempuan?" tanya Mery. Agriel mengangguk, "kamu cemburu?"
"Tentu saja." jawab Mery.
"Ini waktu kita. Kamu ingin memasukkan orang lain ke dalamnya?" Agriel nampak terdiam.
"Tapi.. Terserah kamu, Griel. Itu 'kan temanmu," lanjut Mery.
Agriel tersenyum, dia mengacak rambut Mery halus. "Makasih, sayang" ucapnya tulus.
***
Di sela-sela candaan mereka yang nampak fokus menonton film dengan genre keluarga. Mery tersipu sendiri.
"Kenapa, hm?" tanya Agriel, menyentuh lembut pipi Mery.
"Griel, kamu punya rencana anak berapa?" tanya Mery.
Tawa Agriel tiba-tiba pecah. Menatap Mery lekat, "karena film?" tanyanya disela tawa.
Mery melenggos kesal, "kalau tidak ingin jawab, ya sudah" dengusnya seraya memakan kacang kulit.
"Hei," Agriel meraih kepala Mery, menaruhnya lembut di dada bidang yang ia miliki. Mengecup pelan pucuk kepala Mery, guna meredakan amarah yang sepertinya tengah meledak itu. "Kamu tanya tentang anak, membuat cita-cita lama ku bangkit." lanjut Agriel.
"Cita-cita? Kamu ingin hamil? Tapi—"
"Mery!" potong Agriel kesal, mel*mat bibir Mery singkat.
"Hahaha.. Aku hanya bercanda, Agriel. Melihat sisi ganasmu, aku jadi takut akan hamil setiap tahunnya."
"Dan itu cita-citaku. Mempunyai anak banyak dan aku ajak mereka semua bermain golf." Kekeh Agriel membayangkan wajah-wajah lucu anak mereka di masa depan.
"Berapa?" Tanya Mery yang seolah menantang.
"Mungkin, 20 anak?" tawar Agriel.
"KAU GILA?" sertak Mery.
Agriel tertawa lepas, mencubit hidung kecil Mery, yang nampak kembang kempis. Lucu sekali wanitanya ini.
"Tidak sayang, kelak.. Berapapun Tuhan beri, aku akan menerimanya. Kalau pun tidak, aku juga akan menerimanya. Asalkan Tuhan jangan memisahkan kita, itu sudah lebih dari sebuah cukup." jelas Agriel.
Mata Mery menatap layar laptop yang menanyangkan sebuah adegan di mana para anak-anak kecil di asuh oleh birawati. Mereka nampak bahagia, berjejer rapi untuk mengantre makanan. Tawa mereka lepas, tanpa mereka tahu bahwa dunia telah kejam padanya.
"Agriel.. Anak itu tidak harus dari rahimku sendiri kan?" tanya Mery, mendongak menatap Agriel.
"Tidak, sayang. Kau ingin mengadopsi anak?"
"Boleh?" tanya Mery dengan binar mata bahagia.
"Apapun untukmu." kecup Agriel di pipi kanan Mery.
"Tapi, aku ingin mengadopsi mereka dari bayi. Agar kelak saat kita menikah nanti, umur anak kita tidak jauh dengan umur pernikahan kita. Aku tidak mau, anak adopsi kita menjadi sungkan, aku juga tidak mau kita membedakan mereka." jelas Mery.
"Untukmu sayang.. Asal kamu bahagia." Ucap Agriel.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments