Satu kata untuk Mery saat ini, tidak peduli. Ia sudah tidak peduli akan semua hal. Kepalanya penat dan hatinya lelah. Semua rasa yang tidak bisa di deskripsikan. Mery sudah tidak peduli, tentang kehidupan mereka.
Sudah seminggu yang lalu, dan kini Mery duduk di bangku salah satu Caffe di kota kelahirannya. Menatap matcha panas yang ada di depannya dengan segala kelelahan. Sudah seminggu ini Mery menyandang status baru, sebagai pengangguran. Sungguh, tidak ada di dalam benak Mery jika dirinya akan benar-benar menjadi pengangguran.
Tidak ada ponsel, tidak ada make up, tidak ada gaya glamor, tidak ada sikap congkak. Kini, hanya ada Mery yang sedang kebingungan. Hatinya merasakan luka serta kekecewaan. Apalagi saat mengetahui bualan si brengsek Agriel. Dia masih bersama Anouk. Ya, memang sejak dulu Mery lah yang bodoh. Mudah di bohongi dan di tipu oleh mulut dan rayuan dari si mulut buaya Agriel. Memuakkan sungguh!.
Dengan wajah polos tanpa sentuhan kecantikan itu, Mery menatap lingkungan Caffe yang masih sepi. Jam dinding itu menunjukkan angka sepuluh pagi, yang artinya Caffe itu baru buka beberapa menit yang lalu. Dan, Mery adalah pengunjung pertamanya.
Melihat situasi Caffe yang mulai di datangi pengunjung membuat Mery berdiri dan meninggalkan tempat. Tak lupa, meninggalkan uang di bawah kertas bon.
Langkahnya gontai, seperti tidak ada kehidupan di diri Mery. Hatinya tidak rela berpisah dengan Bella, tapi Mery juga sadar. Memang ia siapa? Ia juga bukan siapa-siapa Bella. Dulu, ia hanya seorang gadis remaja labil dengan pemikiran ceteknya, mengadopsi anak dan merawatnya dengan alibi untuk latihan ketika sudah menikah nanti. Bagaimana tidak sepolos dan bersemangat? Jika si pria saja memberi banyak janji dan bualan yang menggiurkan.
Kepala Mery lantas menggeleng, tersenyum konyol dengan apa yang dulu ia lakukan. Sekarang, yang mendapatkan imbas adalah Bella. Anak itu bagaikan alat oper sana oper sini. Rasa menyesal dan keinginan mengambil Bella hadir dibenak kecilnya. Tapi, memang ia bisa?. Mery juga sadar akan dirinya dan perekonomiannya. Dia bukan seperti Agriel yang bisa memberikan Bella dua figur dan kelimpahan harta. Bella lebih layak hidup dengan Agriel, karena pria itu mampu.
Ingatkan Mery bahwa sekarang dirinya sudah miskin. Denda sialan itu menguras habis tabungannya. Sepertinya, sudah bukan waktunya galau tak tahu arah. Mery harus segera mencari pekerjaan. Yang tentunya kali ini harus benar-benar jauh dari cekalan pria brengsek itu.
***
"Bella..." bujuk Agriel.
Sedangkan Bella nampak berkaca-kaca dengan wajah yang sudah memerah menahan isak tangis.
"Bella gak mau, Pa. Aku mau di sini, sama Bunda dan Papa, terus jemput Mama" gelengnya dengan suara serak.
"Sayang Mama atau Bunda?" tanya Agriel.
"Mama.. Tapi Mama pergi"
"Gak pergi, Bella. Papa mau jemput Mama. Bella harus pergi ke rumah Uncel Neel, dia baik sayang. Bella tenang aja, beliau teman akrab Papa"
"Jauh, Bella gak mau naik pesawat." ucap Bella tetap kekeh pada pendiriannya.
"Suka salju? Bella penasaran gak sama Salju?" tanya Agriel memancing.
Lantas saja, kepala gembul itu mengangguk semangat. "Penasaran, Pa!" ucapnya semangat.
"Di sana, Bella bisa sepuasnya main salju. Papa akan jemput Bella, bersama Mama. Di sana, Bella harus nurut sama Uncel Neel. Belajar yang rajin. Okey?"
"Tapi, beneran? Papa gak bohong 'kan?" ulang Bella sekali lagi.
Agriel mengangguk, memberikan kecupan hangat di dahi mungil Bella, seakan sebagai tanda perpisahan mereka.
Setelah itu, tangan kecil Bella di tuntun kecil oleh Qeila. Kepala kecil itu kadang masih menoleh, menatap Papanya. Rasa tidak rela ingin Bella sampaikan. Tapi, jauh di hatinya ada sebuah dorongan untuknya jangan banyak membantah pada Agriel. Alhasil, bocah kecil itu hanya bisa menurut, rengekan kecilnya tidak berguna saat ini.
"Siapkan semua. Perjaga ketat keamanan Bella di sana" ucap Agriel mengenakan kembali kacamata hitamnya dan berbalik arah setelah mendengar jawaban dari tangan kanannya—Ree.
***
Sepulangnya dari Caffe, tidak membuat Mery tenang malah semakin pusing mendengar ocehan Huble. Menghubungi Huble sepertinya sebuah kesalahan. Tidak dapat pekerjaan baru malah dapat ocehan dari mulut wanita itu.
"Mery!" dengus Huble. Menatap Mery kesal.
"Bisakah kau jelaskan sekarang padaku, ha?. Pertama, siapa anak yang kau maksud itu Mery? Kau saja perawan tua, mana bisa mempunyai anak? Kau pikir aku bodoh. Aku sangat yakin, itu hanyalah alibimu bukan? Untuk segera memutuskan sambungan telepon. Jangan mengada-ada Mery. Yang kedua, kenapa saat ku telepon saat kau masih di sana, tidak ada sinyal sinyal kebahagiaan? Ada apa Mery? Tolong jelaskan. Apakah boss di sana sangat galak? Sudah biasa bukan Mery jika boss itu galak. Apa yang membuat mu sedih. Sejak kau di sana, kau semakin tertutup. Aku merasakan itu, bodoh. Yang ketiga, kenapa kau keluar dari perusahaan? Ingin menjadi gelandangan?. Kau tidak berpikir bahwa zaman sekarang mencari pekerjaan itu susah. Jangan berlagak menjadi orang kaya kau. Sekarang lihatlah penampilan burukmu! Mana Mery yang glamor itu! Mana mobil mu? Mery! Dimana ambisi kerja gila mu?. Sekarang kau di bawah ku, tidak ingin mengejar?" celoteh Huble tanpa henti.
"MERY! AKU INI SEDANG BICARA DENGAN MU! JAWAB!!" teriak Huble kesal, sangat amat kesal dengan kelakuan temannya ini.
"Ssttt. Kau diamlah, Huble." Mery memegang pelipisnya pelan. Rasanya ingin pecah ini kepala. Masalah bertumpuk-tumpuk tapi hatinya kacau. Tidak ada kesinkronan, yang membuatnya tidak ada gairah hidup.
"Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan konyol mu jika kau saja sudah siap dengan jawaban itu? Menerka, heh?" dengus Mery tepat di depan wajah Huble.
"Iya, kau benar. Jadi.. Jawab sekarang pertanyaan ku. Baru ku beritahu lowongan pekerjaan." Senyuman licik kini terbit di bibir Huble. Rasakan kau Mery!, batinya girang bukan kepalang.
"Benar aku sudah punya anak." ucap Mery.
"WHATTT!!!" pekik Huble, langsung berdiri menarik kerah daster Mery. "Demi dewa neptunus. Kau sedang berkhayal, ha?"
"Demi planet pluto, aku tidak berbohong." ucap Mery menarik tangan Huble dari kerah dasternya.
"Aku juga sudah tidak perawan, jadi berhenti menyebutku perawan tua." bisik Mery pelan.
Huble bungkam, dia syok dengan apa yang terjadi. Seketika Huble sadar, bahwa dia hanyalah sahabat Mery di kantor. Terbawa sampai ke dunia pribadinya bukankah sudah luar biasa?
"Kisahku kelam Huble." lirih Mery dengan mata berkaca-kaca. Tangannya bergetar, menggenggam cangkir teh yang ada di depannya. Pandangan matanya ke bawah, tidak berani menatap semesta.
"Mery.." panggil Huble, mengulurkan tangan. Menarik tangan Mery lalu membawanya diantara telapak tangannya sendiri. Memberikan kehangatan serta rasa kemanusiaannya melalui sentuhan itu.
"Aku ini lemah, Huble. Aku ini juga bodoh. Mery yang kau kenal sekarang, hanyalah topeng dari sebuah kisah kelam." lanjut Mery dengan bibir bergetar.
"Rasa menyesal itu pada akhirnya hanyalah boomerang berupa karma." Mery berdiri, menatap hamparan taman buatan sang Mama, Neanra.
***
Flashback
Mery berumur 17 tahun,
"Mery! Kau di cari Agriel. Dia di taman belakang sekolah." seru Diana, teman sekelas Mery.
Mery yang sedang menulis rangkuman itu lantas menoleh ke arah sumber suara. "Terima Kasih, Diana" ucap Mery tersenyum manis.
Mery itu siswi cantik—primadonanya sekolah—dengan tubuh langsing, tinggi dan wajahnya yang proporsional. Banyak cowok yang suka padanya, sayang Mery sudah punya pawang. Pacarnya bernama Agriel, seorang siswa paling populer seantero sekolah. Wajahnya tampan dengan latar belakang anak orang kaya.
Mereka berdua adalah pasangan yang serasi. Kadang, ada yang iri melihat kemesraan mereka, kadang juga merasa terkekeh senang. Mery dan Agriel sudah lama berpacaran. Bahkan sejak awal masuk SMA. Berarti hubungan mereka sudah berjalan hampir dua tahun. Cukup lama dan langgeng.
"Dorrrr!" ucap Mery menepuk bahu Agriel.
Cowok itu menoleh, menatap Mery yang cantik natural.
"Kamu gak kaget?" tanya Mery cemberut, mengembungkan pipinya.
Melihat keimutan sang pacar membuat Agriel gemas. Tangan besarnya itu meraib pinggang mungil Mery, dan mendudukkan di atas pangkuannya.
Mery terpekik kaget, namun sudah terbiasa dengan tingkah Agriel. Kini, tangannya ia kalungkan di leher kokoh Agriel. Tatapan mereka beradu, dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa centi lagi, maka wajah keduanya akan benar-benar menempel.
"Jangan, Agriel." ucap Mery menggelengkan kepala, dan menutup mulutnya menggunakan tangan.
"Tidak boleh." lagi, Mery ucapkan dengan nada sedikit tegas.
Agriel mengangguk, "Maaf" ucapnya pelan tepat di depan wajah Mery.
"Okey... Ada apa?" tanya Mery menurunkan tubuhnya dan duduk disamping Agriel.
"Kangen kamu." Satu kata yang membuat Mery tersenyum malu. Wajah cewek itu memerah merona dan menatap Agriel dengan tatapan sayu.
"Aku juga. Padahal baru kemarin kita jalan" ucap Mery, tetap menatap Agriel. Seakan mengagumi wajah bak dewa yunani itu.
"Gimana tadi ulangannya?" tanya Agriel, seraya mengeluarkan susu kotak rasa alpukat pada Mery.
Dengan senang hati Mery menerima susu kotak itu, pacarnya itu seakan tahu apa yang ia suka.
"Lacar, semoga aja aku dapat nilai seratus. Gak yakin sih, soalnya ada beberapa nomer yang ragu." cerita Mery dengan ekspresi yang berlebihan. Dan, momen seperti inilah yang Agriel suka. Mery bercerita dengan ekspresi yang dia punya. Tidak berlebihan namun mengemaskan.
"Berapapun nilainya, itukan usaha kamu."
"Iya."
"Agriel." panggil Mery.
Cowok itu lantas menoleh, menatap sedu Mery. Tatapan itu, kenapa tersirat akan banyak luka. Mery terdiam, mulutnya dibungkam oleh tatapan Agriel. Menusuk, tajam dan menawan.
"Aku gak papa, sayang" ucap Agriel pelan.
"Gak mau berbagi ya sama aku?" tanya Mery mendekat pada Agriel.
"Belum siap." jawabnya, merekuh tubuh Mery. Yang ia butuhkan saat ini adalah pelukan hangat dari kekasihnya. Tidak lebih dari itu.
BERSAMBUNG...
.
.
Bab kedepannya bakal menceritakan flashback, siapa nieh yang kepoyyy sama cerita masa lalu Mery & Agriel? tunggu aku update terus yaaa 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Weny Yuniestin
laannjuutkaan thooorrr biar nyambung nih masa lalu mereka
2022-07-09
1