Ketegangan kini menyelimuti ruangan berdominan cream dengan hiasan dinding abstrak dan beberapa rak bertumpuk berisi segala dokumen.
Laki-laki paruh baya itu kembali memasang kacamatanya. Menatap Mery dengan tatapan jengah. Hembusan napas terdengar dipendengaran Mery.
"Bagaimana bisa perusahaan sebesar ini begitu bodoh? Anda 'kan kepala manager HR" ketus Mery.
"Sekali lagi saya jelaskan, Ibu Mery—"
"Jangan panggil saya Ibu, Mr.Armal. Panggil nama saya atau gunakan bahasa formal" potong Mery. Cantik begini di panggil 'Bu'?. Haduh, mau dibawa kemana ini kesombongan Mery.
"Kepala keuangan selain sangat teliti juga sangat ulet." entah itu pujian atau sindiran, yang Pasti Mery tidak peduli.
"Jangan mengalihkan pembicaraan saya, Mr."
"Kenapa alamat apartemen yang tercantum di surat fasilitas tunjangan saya naik jabatan ini berbeda dengan alamat apartemen yang saya tinggali?" tanya Mery sekali lagi.
"Sudah berapa kali saya mengatakan dan menegaskan! Bahwa perusahaan ini tidak pernah memberi tunjangan berupa hunian."
"Jika benar demikian. Kenapa bisa salah? Ketika sopir menjemput saya, dan mengatakan dia utusan dari perusahaan lalu menghantar saya ke sebuah apartemen elite. Apakah anda kira saya bangga? Senang? Tidak, Mr. Ini kejanggalan!"
"Tunggu dulu, Mery. Perusahaan tidak memberi utusan orang untuk menjemput mu. Malah pihak kami yang menunggu mu, sadari kemarin. Untuk mengambil mobil. Dan mobil itulah yang menjadi tunjangan transpotasi kamu." jelas Mr. Armal.
"Kapan presdir akan mengunjungi perusahaan ini?" tanya Mery tiba-tiba.
"Presdir hanya akan mengunjungi kantor pusat seminggu dua kali, Senin dan Kamis."
Mery mengangguk. "Sepertinya ada kesalahan di sini." gumam Mery yang masih dapat terdengar lawan bicaranya.
"Saya rasa juga begitu, Mery. Saran saya, segeralah kamu pindah dari sana. Siapa yang menjemput mu pun tidak jelas, dan yang pasti itu bukan utusan dari perusahaan."
"Nama Presdir kita, Tuan Ree Akmal?" tanya Mery.
Mr. Armal tampak mengenyitkan dahinya samar. "Itu asisten pribadinya presdir, Mery."
"Nama Presdir kita adalah Tuan Erial Agriel Exanta Putra."
***
Mery duduk dibangku kebesarannya. Memeriksa dengan teliti segala berkas yang ada di hadapannya sekarang. Sesekali membolak balikkan halaman dan tangannya senantisa menggulir data-data di komputer depannya.
"Rena," panggil Mery. Sekertarisnya pun langsung beranjak dan memasuki ruangan Mery.
"Ada yang bisa bantu, Miss?" tanyanya sopan.
"Tolong pelajari dengan serius data-data di flashdisk ini. Untuk rapat besok,"
"Sistem kerja saya sangat berbeda dari sistem kerja lama. Saya tegaskan itu pada mu terlebih dahulu." ucap Mery tegas.
"Segala keuangan perusahaan, benar-benar kita kelola dengan maksimal. Menurut saya sendiri, keutungan perusahaan bisa lebih besar dari yang dibayangkan. Hanya saja, untuk beberapa bulan kedepan. Kita harus fokus untuk melunasi hutang. Ajak juga manager lain untuk berkerja sama dengan pihak keuangan. Terutama manager pemasaran" ucap Mery panjang lebar.
Rena mengangguk setuju. Sangat setuju dengan pemikiran bos barunya ini. Ucapanya pun sangat memberi semangat, yang seaakan itu menular pada dirinya.
"Baik, Miss. Akan langsung saya kerjakan." balas Rena tak kalah tegas.
"Buat juga software akutansi yang baru."
"Baik, Miss. Apakah ada lagi?"
"Tidak, untuk saat ini kita bebenah dulu secara inside."
"Baik, Miss. Saya permisi" Rena pun pergi meninggalkan ruangan Mery.
Kepergian Rena, langsung membuat Mery melepaskan ikatan rambut yang membentuk bun itu. Kepala sangat pusing. Beraneka kenangan masa lalu seakan menari-nari di benak Mery saat ini.
Wisata masa lalu yang membuat rasa sakit.
"Agriel. Pria gila itu lagi" dengus Mery.
Dreeett
"Selamat pagi, hunian yang anda minta sudah siap nona. Pengambilan kunci bersamaan dengan uang pembayaran."
"Baik terimakasih. Nanti jam istirahat saya ambil."
Titt
Mery menatap langit-langit kantornya. Memikirkan cara untuk mengambil semua barang-barang di apartemen itu tanpa dirinya menginjakkan kaki ke sana. Tapi, sepertinya tidak bisa. Karena tidak sembarang orang bisa memasuki area elite itu. Apalagi letak posisi apartemen Mery yang sangat VVIP.
"Bodoh! Jadi selama ini kau bekerja dibawah naungan pria sialan itu Mery?" monolognya sendiri.
****
Hari ini merupakan hari yang sangat melelahkan. Mery sampai lembur di hari pertamanya kerja. Ada banyak pembenahan yang harus ia kerjakan, persiapan rapat pertamanya besok jangan sampai ada kesalahan.
Rena juga ikut lembur bersama Mery, kedua wanita beda generasi itu nampak sangat serius membahas masalah, dan langkah kedepannya bagaimana.
Tak terasa, jarum pendek jam menunjukkan angka sepuluh malam. Sudah sangat larut. Beberapa lampu di ruangan tertentu sudah dimatikan. Walau masih ada beberapa lampu yang menyala, mungkin itu beberapa dari mereka yang juga lembur.
"Semoga rapat besok berjalan dengan lancar" ucap Mery.
"Amin, Miss"
"Kita bereskan dulu," ajak Mery, dan mereka berdua sama-sama membersihkan ruangan yang berantakan itu.
"Berapa umurmu, Rena?" tanya Mery.
Dengan sopan, Rena menjawab "Saya sudah tua, Miss" candanya.
"Tapi kau masih sangat cantik" puji Mery.
"Terimakasih, Miss. Umur saya sudah empat puluh lebih. Anak saya yang besar, tahun ini sudah masuk ke bangku perkuliahan." jelas Rena.
Mery mengangguk, Rena yang umurnya empuluhan saja anaknya sudah masuk dunia kuliah. Sedangkan dia, sudah hampir kepala tiga, masih lanjang dan sibuk dengan karirnya. Jika kalian berpikir, Mery tidak pernah iri melihat beberapa wanita di luar sana menikah, kalian salah.
Memutuskan pilihan tidak menikah, dalam kutip belum siap. Itu bukan lah pilihan, impian semua wanita pasti hidup bahagia. Membina rumah tangga, merasakan menjadi ibu. Tapi lagi, keadaan yang mendorong Mery untuk memilih jalan itu. Kehidupan masing-masing orang berbeda bukan?
"Rena, kalau boleh aku tahu. Kau tinggal di mana?" tanya Mery.
"Tidak jauh dari kantor, Miss. Ada yang anda butuhkan?"
"Tidak, hanya sebagai basa basi saja. Daripada mengantuk."
"Pulang lah duluan. Aku masih ada beberapa hal harus di urus"
Rena memberi hormat dan berpamitan dengan Mery.
Di ruangan itu Mery mengenggam erat kunci akses hunian barunya. Yang letaknya lumayan jauh dari kantor, Mery terpaksa. Di kota metropolitan ini sangat sulit untuknya mencari hunian yang sesuai keinginan. Ditambah juga, biaya yang di keluarkan untuk sepetak tanah saja sudah membuat Mery harus berpikir pikir lagi.
Kaya bukan berarti mengeluarkan uang tanpa pikir panjang. Malah kaya di sini, Mery harus bisa mengatur keuangannya sebaik mungkin. Dia tulang punggung keluarga, dimana ada seseorang yang harus dia rawat di sana. Mery masih punya ibu, yang harus ia jaga.
"Skincareku, laptopku, baju-bajuku, koleksi sepatuku, tasku, dan masih banyak lagi. Tidak mungkin pergi begitu saja tanpa mengambil rakyat-rakyat ku itu" gumam Mery.
"Agghht! Salahkan siapa ini? Aku tidak sombong hanya mereka saja yang enggan berteman denganku. Takut minder mungkin?" geruntunya kesal. Tidak punya chanel untuk dia hubungi, kecuali sahabat gilanya. Huble. Hanya dia saja. Sial!
"Apa yang kau takutkan Mery? Dia ingin bermain dengan mu! Jangan takut apalagi lemah!" semangat itu menggelora.
***
Mery mengendap-endap masuk ke dalam apartemennya. Mengambil beberapa barang yang ada, untung belum semua barang ia keluarkan dari kopernya. Mery juga sengaja tidak menyalakan semua lampu, ruangan itu menjadi tamaram.
Tok.. Tokk..
Pintu terketuk, yang membuat Mery menghentikan aktivitasnya. Melihat dari celah pintu, Nani dari gadis manis yang tidak sengaja ia temui di lif tadi pagi.
"Nona, maaf mengganggu malam-malam" ucapnya bergetar takut.
"Tidak apa-apa. Ada apa ya?" tanya Mery, melihat wajah ketakutan orang di depannya.
"Bisa nona ikut saya sebentar? Nona muda tiba-tiba sakit, dia minta saya untuk mencari anda."
"Sakit? Perasaan tadi pagi dia masih sehat" ucap Mery bingung.
"Sakit bisa datang kapan saja, Nona. Sama dengan kematian"
"Saya janji hanya sebentar. Nona muda memang seperti itu. Setelah merasakan nyaman akan kasih sayang, membuatnya manja. Kasihani nona muda, Nona. Anak sekecil itu, tidak mendapatkan kasih sayang dari bundanya, ayahnya pin sibuk kerja." lirihnya berkaca-kaca.
Mery tergagap sendiri. Dan akhirnya ia memutuskan ikut wanita pucat itu. Ternyata letak apartemen gadis itu berada di lantai paling atas.
Di ambang pintu, langkah Mery terhenti.
"Aku seperti di bodohi lagi." gumamnya.
"Siapa namamu? Bagaimana kamu tahu nomor apartemenku? Kita baru bertemu tadi pagi. Itu pun tidak sengaja. Bagaimana kau bersikap seolah-olah sangat akrab dengan ku?" desis Mery.
Wanita itu membalik tubuhnya, menatap Mery teduh.
"Maafkan saya, Nona" ucapnya, dan dengan sangat cepat ia menyuntikan obat bius di lengan Mery yang terekspos.
"Mery, ini terakhir kalinya kau percaya omongan orang" gumamnya sebelum jatuh tak sadarkan diri.
"MAMA!"
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Weny Yuniestin
nah loe.... pinisirin aku
2022-07-09
1
puji Astutik
erial/agriel salah satu di hapus lebih enak
2022-07-06
0
puji Astutik
kok namanya kurang yambung ya
2022-07-06
0