Surat pengunduaran diri itu sudah selesai dibuat olehnya. Sorot mata Mery menatap miris pada layar laptop, dan segera menyentaknya. Mery harus melepaskan kerja kerasnya selama ini, karena Agriel. Pria penuh kebohongan serta pengkhianat paling bodoh yang pernah Mery kenal. Menyesal saja rasanya tidak cukup. Mery seakan ingin memutar waktu, Mery ingin ada diwaktu lampau. Dia ingin bertindak bijak, tidak bodoh dan ceroboh.
Melipat surat itu dan memasukkannya diamplop berukuran besar.
"Mama.. Ayo berangkat" teriak Ella memenuhi pendengaran Mery.
Mery lantas berdiri dan berjalan menuju sumber suara. Didepan, sudah ada Ella dengan pakaian seragam rapinya. Rambut gadis itu di kucir dua, yang menambah kesan imut serta manis.
"Ayo." ajak Mery singkat.
Ella dengan senang hati, menyambut gandengan tangan Mery. Tersenyum cerah, karena tidurnya nyenyak didalam dekapan hangat Mery.
***
"Ella.. Jawab pertanyaan, Mama" ucap Mery mendesak.
Jalanan macet total pagi ini, terjebak macet bersama Ella membuat Mery ingin tahu lebih dalam, dan segala hal tentang Ella.
"Ma.. Ella..." jawabnya tersendat.
"Baiklah, aku ingin bertemu dengan Bundamu." ujar Mery final.
Masih seputar kehidupan Ella yang bagaikan misteri tak terpecahkan. Mery hanya ingin, setelah dia pergi Ella hidup lebih layak secara mental.
Keinginannya hanya satu, memberi semua unek-uneknya pada Bunda Ella. Seberapa sibuknya dia sampai, anaknya sendiri terabaikan. Kasih sayang Mery terlampau jauh ternyata pada Ella. Sosok yang biasanya masa bodoh dengan kehidupan orang lain kini mulai menjadi pengusik.
"Bunda Ella sibuk, dia gak bisa ketemu sama Mama" jawab Ella.
"Sesibuk ap? Ella? Aku bukan ingin merampok Bundamu, aku hanya ingin mengajaknya berbicara. Pembincaran orang dewasa. Dan, ini juga tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan tersembunyi mu. Aku juga paham privasi keluarga mu Ella." elak Mery mulai berkilah.
"Mama mau tanya pekerjaan sama, Bunda?" ulang Ella.
"Iya. Aku butuh teman yang sepadan. Ku lihat Bundamu orang yang sibuk dan cerdas."
"Bunda emang cerdas, Ma. Dia punya perusahaan sendiri. Papa juga punya perusahaan sendiri."
"Sangat kebetulan. Aku manager keuangan kecil ini ingin belajar bisnis banyak dengan Bundamu. Jadi, segera atur kencan kami Ella" bujuk Mery tersenyum manis. Terlihat jalanan mulai melonggar, dan mobil Mery berjalan dengan santai.
"Tapi,"
"Tidak ada tapi-tapian Ella. Aku hanya ingin belajar dengan ,Bundamu" potong Mery cepat.
"Tidak bisa, Ma. Aku harus memberitahu papa dulu." ucap Ella keras kepala.
"Apakah Papa mu orang yang possesive? Ayolah, aku masih wanita normal. Bukan waria." dengus Mery cemberut, susah sekali hanya ingin bertemu dengan Bunda Ella.
"Setiap keputusan, Ella selalu minta pendapat Papa." ujar Ella jujur.
Mery menepuk jidatnya pelan. Anak manis yang jujur, batinya.
"Oke. Tapi jangan bilang jika aku yang ingin bertemu. Samarkan namaku."
"Ella gak pandai menyamarkan nama, Ma"
"Elen, ucapkan jika namaku Elen." tungkas Mery.
"Oke. Tunggu sebentar." ucap Ella dan mulai mengetik pesan kepada Papanya.
Tak berselang lama, ponsel Ella berbunyi. "Bukan urusanku." ucap Ella membaca pesan yang di kirimkan papanya.
"WHAT? itu tadi benar pesan dari papamu?" pekik Mery.
Lantas saja Ella mengangguk. "Ada apa, Ma?" tanyanya dengan kerutan di dahi.
"Boleh ku pinjam telepon mu, Ella?" tanya Mery.
Ella pun dengan menurutnya memberikan ponselnya pada Mery.
Dengan cepat, Mery mulai menghubungi papanya Ella.
Sambungan telepon itu langsung diangkat. Belum juga papanya Ella berucap, Mery sudah lebih dulu menyambar sengit.
"Hallo tuan yang terhomat. Aku disini bukanlah siapa-siapa, memang begitu lancang. Tapi mohon maaf sebelumnya. Aku hanyalah seorang wanita, namaku Elen. Aku teman Ella, dan seseorang yang menjadi sandaran keluh kesahnya. Aku juga tahu, Ella hanyalah anak adopsi. Tapi, bukankah ketikan mu terlalu kasar tuan? Sudah tidak mempunyai waktu, tapi juga tidak punya kasih sayang."
"Aku paham, maksud kalian mengadopsi Ella. Bukan berarti dia tidak mempunyai perasaan. Dia bocah kecil yang hampir saja terjerumus pada lingkungan buruk. Untung Tuhan mengirimkan aku disaat yang tepat. Yang dibutuhkan Ella hanyalah kasih sayang dan waktu kalian berdua. Kemana saja? Apakah uang sudah cukup membuat hati anak bahagia? Sejak kapan barang branded adalah bentuk kasih sayang?. Barang dan uang yang kau beri hanyalah bentuk terburuk dari sebuah waktu yang kau miliki. Rubahlah sikapmu tuan yang terhormat. Ella butuh dirimu, bukan siapun."
"Jika memang tidak bisa membalas dengan bahasa halus setidaknya jangan memberi balasan kasar itu. Segera hapus pesan buruk mu itu. Terimakasih, semoga kau tidak sebodoh yang aku pikirkan!" sambungan itu terputus secara sepihak oleh Mery.
"Kau tenang saja Ella. Kalau ayahmu marah, bilang saja tadi aku dalam mood buruk." ucap Mery pada Ella. Bagaimana dia bisa lupa jika ayah Ella bukanlah orang biasa pada umumnya. Gila!
"Mama keren!" puji Ella memberi dua jempolnya pada Mery.
Mery tersenyum kikuk dengan hati yang was-was.
"Bunda bisa ketemu sama Mama, nanti jam makan siang di Caffe Brun's Hondeyy Llideiy."
"Terimakasih, Ella"
"Mama semangat belajar sama Bunda ya."
"Bundamu mempunyai ciri spesifik?" tanya Mery.
"Bundaku campuran Belanda dan Inggris, rambutnya pirang dengan tinggi badan yang tinggi banget. Matanya sedikit abu-abu. Ella suka matanya bunda"
"Okee, segeralah turun. Sudah sampai, sekolah yang rajin Ella sayang"
"Siap, Ma!"
***
Siang itu Ella di jemput lebih awal oleh Ayahnya. Dan, kini mereka ada di dalam mobil. Aura dominan yang sangat kental dapat dirasakan. Hanya saja, bocah kecil itu tidak tahu menahu. Keberadaan Ella saat ini memang tidak sebahagia saat itu, tapi keberadaan Ella saat ini berupa bayangan kokoh yang sengaja pria itu buat.
"Mama ingin bertemu, Bunda." cicit Ella.
"Aku tahu, Ella." jawabnya singkat. Sebuah senyuman tipis hadir tak kala mengingat kembali celotehan Mery.
Rasanya amat sangat rindu. Melihat wajah perempuan itu marah, kesal dan cemberut. Wajahnya kadang memerah, dengan mulut yang terus mengoceh mengeluarkan segala unek-unek tajamnya. Hati siapun akan terasa sakit, mendengar lontaran kejam itu. Sangat berbeda dengannya yang malah ketagihan—dengan amukannya.
"Mama pengin belajar bisnis dengan Bunda, Pa." beritahu Ella menoleh pada pria itu.
Rasanya ingin tertawa keras. Belajar? Sebuah kilahan bodoh macam apa itu? Boleh jujur? Bunda Ella juga hanyalah kacung tak berdaya. Mery ingin belajar dengannya? Apakah Mery ingin merendah serendah rendahnya? Lucu. Sangat amat lucu.
"Ella seneng, akhirnya Mama ketemu sama Bunda." ucap Ella.
"Ella sayang banget sama Mama, Pa. Tapi juga gak bisa benci Bunda, walau Bunda pernah buat Ella—"
Ucapannya terpotong, ketika mobil yang tadinya melaju kini telah berhenti.
"Jika kau sudah tidak betah bersama Bundamu. Bilang saja padaku..."
"Hari ini adalah hari di mana pertemuan kedua kubu yang saling bermusuhan. Aku menjemput mu, dan menurutlah pada Qeila. Mulai sekarang kau tinggal di Mansion dekat dengan sekolahmu" ujar pria itu berapa perintah tak bisa diganggu gugat. Keputusan final.
Ella mengangguk dan segera turun dari sana. Mata polos itu menatap mobil papanya berputar arah dan pergi meninggalkannya. Dibelakang sudah ada Qeila yang menyambut kedatangan Ella.
Ella lantas berlari dan memeluk Qeila. "Kenapa aku merasa kehadiranku hanyalah alat?" pertanyaan Ella yang membuat Qeila terkejut. Belajar darimana bocah ini berbicara?
"Kata Bunda. Aku ini hanyalah alat bagi Papa. Alat masa lalunya." lanjut Ella.
Qeila paham, dia mengangkat tinggi tubuh Ella. Tersenyum cerah dibalik wajah pucatnya.
"Kau pernah mendengar ucapan Mama mu, Ella?" tanya Qeila.
Ella menggeleng samar. Qeila terkekeh, tinggal sebulan dengan Mery membuatnya banyak merubah pola pikirnya dan cara bicaranya. Semakin lebih berani.
"Bundamu yang bermulut kurang ajar. Kau itu manusia bukan alat. Alat itu barang, disebut dengan benda—yang berarti mati. Sedangkan kau hidup. Kau lihat tangan mu. Ada berapa?" tanya Qeila.
"Dua." jawab Ella.
"Tuhan sudah sangat baik, memberikan kita dua tangan. Gunakan itu dengan baik. Tutup telingamu, dan jangan dengarkan. Mulut mereka terlalu banyak untuk dua tangan kecilmu, Nona muda yang manis." lanjut Qeila yang langsung mendapatkan kekehan tawa oleh Ella.
"Qeila.. Mirip dengan, Mama. Aku suka, terimakasih Qeila."
"Sama-sama Nona muda."
***
Bertepatan dengan jam makan siang tiba,
Mery berjalan keluar dari kantor. Menuju basemant dan segera mengeluarkan mobilnya. Semua pekerjaan dia selesaikan secepat mungkin, karena Mery merasa pertemuannya dengan Bunda Ella akan merusak mood dan menguras energi.
Rasa penasaran hinggap di hati Mery, berbagai pertanyaan muncul tak terkendali. Didalam keheningan, ponselnya berbunyi.
Tertera nama Huble si Janda memenuhi layar.
"Aku sampai lupa mempunyai teman bodoh." dengus Mery tajam dan mengangkat telepon itu.
"ASTAGA!!! NAGA!!!! OMOOO!! KAU GILA!! BENAR-BENAR GILA SAYANGKUHHHH" pekik Huble membuat telinga Mery sakit bukan main.
"Kau sudah lupa mempunyai sahabat, hah?? Sejak terakhir aku menelepon mu sampai SEKARANG! kau tidak ada kabar! Kau tahu! Aku khawatir bodoh. Tidakkah rasa rindu hinggap di hati iblis mu itu, Mery? Si Perawan tua!" lanjut omel Huble.
Mery meletakkan teleponnya—yang sudah menekan tombol speaker—diatas dasbor mobil.
"Kau siapa?" pertanyaan macam apa yang Mery lontaran.
Amarah kemarahan menyeruak begitu saja dihati Huble. Terdengar tarikan napas panjang yang membuat Mery terkekeh geli.
"SAHABAT LAKNAT KAU! APAKAH KAU LUPA? SAAT DULU SEKOLAH, SIAPA YANG DENGAN SABAR MENUNGGU MU DI DEPAN TOILET? HAH?!!!"
"Seorang gadis yang setiap paginya akan boker di sekolah. Karena dipaksa sarapan olehmu Ibunya! Kau lupa perjuanganku? Membohongi setiap orang yang bertanya 'sedang apa disana Huble?' 'Mery di mana?' 'Huble? Setiap pagi aku melihatmu melamun di toilet, kau baik-baik saja?' TIDAK KAH KAU LUPA MERY. HIKSSS.. .DASAR HUBLE CENGENG, AKU MENANGISI WANITA BODOH?" akhirnya dengan isak tangis.
"Hai Huble? Aku hanya bercanda. Kenapa kau baperan sekali? Seperti wanita hamil saja. Aku hanya ingin suasana saat bertelepon denganmu. Hapus air matamu, Huble." ujar Mery, dia merasa sedikit bersalah karena membuat Huble menangis.
"Aku PMS, bodoh!" tungkas Huble kesal.
"Mery.. Kau masih berhutang penjelasan denganku." ucap Huble mengganti nada bicaranya serius.
"Anak apa yang kau maksud?" tanya Huble.
"Kau akan segera tahu, Huble. Sampai jumpa lagi, semoga hari mu tambah suram" dan panggilan itu dimatikan dipihak.
BERSAMBUNG...
Jangan lupa dukungannya 🤑
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Weny Yuniestin
laannjuutkaan thooorrr
2022-07-09
1