Musik instrumen dengan suara pelan itu mengalun memecah keheningan malam. Menjadi soundtrack yang tepat sebagai pengantar tidur dan melumerkan segala gundah gulana yang menimpa, karena dengan pandainya sang konduktor memainkan musiknya dengan lembut seperti alunan ombak di pantai yang berembus tenang dan meriakkan gemerisiknya yang menjaga ketenangan jiwa. Alfa bersenandung kecil menikmati sajian nikmat indra pendengarannya, pun dengan tangannya yang seolah turut menari seiring dengan irama musik yang sedang bersuara. Ia melukis Tiara lagi. Entah bagaimana Tiara mudah sekali masuk dalam idenya ketika melukis. Mungkin saja karena memang Tiara wanita yang indah dengan penuh pesona di mata Alfa.
Dengan kedamaian yang sedang ia rasakan saat ini, ia melukis Tiara bersama dengan seorang bayi kecil di pangkuannya. Barangkali ia tak sabar pula untuk bersua dengan putranya dan melukisnya pula di atas kanvas. Kali ini, ia melukis lagi di dinding rumahnya. Ia menjadikan dinding yang bersebelahan dengan ruang dapur di mana istrinya sering kali beraktivitas di sana. Dengan penuh telaten dan hati-hati, ia terus menggoreskan kuas. Waktu yang telah menanjak malam tak membuatnya lelah dan mengantuk.
Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, terdengar nyaring suara pecahan barang serupa kaca yang cukup keras dari dalam kamar membuatnya tersentak kaget hingga menorehkan warna merah yang sedang ia gunakan untuk memoles kelopak mawar merah itu menodai sosok bayi yang telah sempurna ia lukis tadi. Lelaki itu sempat kesal dengan ulahnya sendiri. Namun tak urung, akhirnya diletakkannya kuas dan palet warna ke lantai begitu saja. Tiara sedang berada di dalam kamar dan kemungkinan sudah tertidur dengan lelap. Suara pecahan itu membuat bulu kuduknya berdiri.
Apa yang terjadi?
Alfa berlari secepat kilat. Dibukanya dengan keras pintu kamarnya dan perhatiannya langsung tertuju ke dalam ranjang besar miliknya dan hanya mendapati selimut yang telah tergulung menandakan Tiara telah bangkit dari tidurnya. Dengan cemas ia memindai seluruh ruangan dan berjalan semakin ke dalam. Tiara tengah berdiri di samping meja toaletnya dengan bersandar pada dinding dan sedikit membungkuk, meletakkan lengan tangan kanannya di area perut dengan ekspresi menahan sakit. Pecahan gelas berserak di sekitar kakinya. Alfa cemas luar biasa.
“Tiara? Ada apa?” Lelaki itu kemudian mendekat dan hendak meraih istrinya, tetapi, dadanya seperti diremas seolah ada tali yang mengikat erat paru-parunya hingga ia seperti kehilangan kemampuan untuk bernapas saat melihat ada warna merah yang mengalir melalui paha istrinya. Rasa sakit memelintir hatinya. Tiara hanya mengenakan kaos pendek dan celana kain yang cukup tebal hingga setengah paha. Darah yang nampak di sana sangat kontras dengan kulit Tiara yang putih mulus.
“Al ... fa ... sakiit. Aku hendak minum … dan gelasnya … terjatuh.” Dengan terbata-bata, Tiara berusaha mengucapkan apa yang hendak diutarakannya dengan jelas. Wajahnya tampak gugup dan peluh-peluh kecil menghias di dahinya.
“Kau ... berdarah ….” Alfa masih tak bisa mengalihkan perhatian dari warna merah yang lama kelamaan nampak seperti petir yang menyambar hatinya saat itu juga. Alfa menatap Tiara yang tengah kebingungan dengan keadaan dirinya sendiri. Wanita itu buru-buru mengalihkan perhatian dan melihat ke mana arah Alfa terpaku menatap tubuhnya.
Rasa panas menyeruak di matanya ketika ia menatap warna merah itu yang telah mengalir dan tak dirasakannya sejak tadi karena terlalu merasai perutnya yang tengah nyeri. Buliran air mata mulai terjatuh ketika ia menyadari ada sesuatu yang tak diharapkannya.
Dengan sigap Alfa menuntunnya ke dalam kamar mandi yang pintunya terletak bersebelahan dengan tempat Tiara berdiri untuk membersihkan diri.
Tak lama kemudian, Alfa menggendongnya masuk ke dalam garasi lalu memasukkan istrinya ke dalam jok belakang dengan menidurkannya. Jejak darah masih nampak di sana dan Tiara mulai terlihat lemah dan pasrah begitu saja ketika Alfa membawanya. Lelaki itu panik bukan main. Namun, ia harus tenang. Perlahan, lelaki yang masih mengenakan kaos pendek lusuh itu menghidupkan mobil dan mengembuskan napas berkali-kali. Dengan cepat, ia keluar dari area rumah sebelum dengan tergesa mengunci kembali gerbang rumahnya.
Untunglah waktu mendekati tengah malam. Jalanan yang tampak lengang seperti ini menjadi karpet merah untuknya melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi tanpa ada penghalang. Ia harus segera sampai di Rumah Sakit terdekat. Secepatnya. Dengan terkendali, ia menginjak gas dan dengan kecepatan penuh melesat cepat bertolak dari rumahnya.
******
Begitu tiba di depan UGD, Alfa segera menghambur ke arah petugas jaga yang ada di sana dan bercakap singkat. Beberapa perawat dan Alfa pun segera berlari dan membawa ranjang dorong ke arah mobil Alfa dan mengeluarkan Tiara dari sana. Darah yang ia keluarkan semakin banyak. Tiara hampir kehilangan kesadarannya, tetapi segera membuka mata lebarnya dengan pandangan sayu dan terus menatap suaminya. Alfa berjalan di samping ranjangnya dan turut masuk ke dalam ruangan.
“Anda tunggulah di luar. Kami akan melakukan penanganan.” Salah seorang perawat berhasil mengeluarkan paksa Alfa dari sana dengan langsung mengantarnya ke pintu dan menutupnya.
Dengan napas yang masih memburu, Alfa berjalan gontai menuju tempat duduk yang tersedia di sana. Membungkuk dengan siku sebagai tumpuan dan meremas kepalanya. Tak terasa setitik air mata terlepas dari matanya dan jatuh menimpa lantai. Rasa sesak begitu memenuhi paru-parunya, meledakkan teriakan yang terus menerus bergema di dalam tubuhnya. Ia ingin sekali merangsek ke dalam dan memastikan sendiri bagaimana kondisi Tiara.
Apakah ia telah kehilangan? Apakah Tiara sedang mengalami keguguran?
Aneka dugaan akan kemungkinan buruk menyeruak dan menghantam sisi dalam hati kecilnya. Membuatnya terasa amat sakit dan memaksa matanya terpejam dengan siksa yang begitu lama.
Tiga puluh menit berlalu dan udara dingin tengah malam masih menjadi satu-satunya teman untuk Alfa saat ini. Lelaki itu tak tahu sampai kapan ia akan menunggu. Alfa bahkan tak sempat mengenakan pakaiannya dengan benar. Padahal kulitnya kini telah mendingin seperti es karena tersapu oleh angin malam. Ia hanya mengenakan kaos berkerah dengan celana jeans yang penuh dengan coretan tinta warna karena aktivitas melukisnya tadi.
Pintu terbuka. Satu orang perawat keluar dari sana dan melebarkan pintu. Satu perawat lainnya tampak berjalan dengan memunggungi pintu diikuti ranjang yang keluar dari dalam. Jantung Alfa berdebar tak karuan. Dan benarlah, Tiara tengah terbaring di sana dengan mata terpejam. Ia memandang secara keseluruhan diri istrinya dan hatinya remuk sudah.
“Bapak Alfa?” Seorang perawat menghentikan lamunannya sejenak kemudian berkata kembali. “Nona Tiara akan dibawa ke bangsal perawatan. Anda bisa ikut dengan kami. Dokter Jeni baru akan datang esok pagi," ucapnya sopan sambil kembali membawa ranjang dorong itu pergi dari ruang UGD dan diikuti Alfa di belakangnya.
“Apa … yang terjadi …?” Napasnya kembali memburu dan tenggorokannya tersekat ketika mempertanyakan sesuatu yang sudah ia tahu jawabannya. Kakinya lunglai seolah tak mampu untuk menopang tubuhnya.
“Mari ikut saya Pak.” Perawat itu menunjukkan jalan dengan sebelah tangannya menuju ruang dokter. Sementara Tiara dibawa menuju ruang perawatan. Lelaki itu memandang ranjang Tiara yang bergerak menjauh dengan mata nyalang, terus sampai tak mampu ia ikuti ke mana perawat itu membawa Tiara pergi.
Belum sampai perawat itu membuka pintu, terdengar suara orang berjalan cepat di belakang mereka.
“Gheo!" Tepat. Wanita berkacamata itu memanggilnya sebelum pintu terbuka.
Ah, masih saja memanggilnya begitu. Alfa sempat bertambah kesal ketika dokter wanita itu memanggilnya demikian. Hanya dia satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama depannya. Bahkan orang tuanya saja, memanggilnya dengan sebutan Alfa.
Alfa menoleh cepat. “Dokter Jeni.” Alfa menyapa saat melihat dokter itu terengah-engah karena berjalan dengan tempo yang cepat seperti yang didengarnya tadi.
“Dimana istrimu? Masih di UGD?” Tanyanya cepat menyelidik?
“Di ruang perawatan dokter. Kami membawanya ke ruang kelas 1 di lantai dua. Ruang nomor 3. Perawat Lusy telah membawanya.” Perawat itu menjawab dengan detail dan Alfa pun mengalihkan perhatian padanya, lalu menyimpan dalam ingatannya nomor ruang yang ditempati istrinya.
“Baiklah.” Ia menganggukkan kepala lalu meneruskan langkahnya menuju ruangan yang dimaksud. Alfa pun memutuskan untuk mengekor di belakang.
******
Dokter Jeni mengembuskan napas panjang. Ia telah memeriksa secara keseluruhan keadaan fisik Tiara dalam beberapa menit sebelumnya serta mendapatkan penjelasan lengkap atas kondisi serta penanganan sementara yang telah dilakukan oleh perawat.
“Tiara mengalami keguguran." Dokter itu mulai berbicara. Alfa hanya menatap kosong ke arah ranjang. Duduk di sofa seberang.
“Tapi, kami tidak perlu melakukan proses kuretase, karena usia kehamilannya masih di bawah 10 minggu. Tiara kehilangan banyak darah dan itu cukup untuk meluruhkan semua sisa kehamilan di rahimnya. Dia juga telah menerima transfusi darah. Aku akan melakukan pemeriksaan lanjutan atas kondisinya. Dia akan tertidur mungkin sampai esok pagi. Kau tak perlu khawatir.” Jeni menyakukan tangan ke saku jas putih yang dikenakannya. “Beristirahatlah. Kau tak boleh ikut sakit," ucapnya yang tak ditanggapi sepatah kata pun oleh Alfa, tetapi wanita itu cukupmengerti. Pastilah ada gejolak yang sedang melingkupi Alfa saat ini. Meski begitu, Alfa kemudian bersuara serak dan mengangguk tipis sebagai jawaban atas perkataan Dokter Jeni padanya.
“Ya … Terima kasih."
Dokter Jeni tersenyum masam.
"Baik. Aku keluar dulu. Hubungi aku atau kau bisa memanggil perawat jika saja membutuhkan sesuatu." Tanpa menunggu jawaban, wanita itu keluar dari ruangan dan kembali menutup pintu.
Alfa masih terdiam.
Calon anaknya telah pergi. Kini mereka hanya berdua saja di tempat ini, tanpa sebentuk makhluk kecil itu lagi di rahim istrinya. Hal itulah yang terus menerus sedang lelaki itu coba untuk terima walau pedih terasa menggerogoti dan menyayat hatinya.
Alfa masih tak sanggup mendekati Tiara di ranjangnya. Lelaki itu lalu membaringkan tubuhnya di sofa besar yang ia duduki. Lampu utama kamar telah dimatikan. Menyisakan remang temaram dari pencahayaan lampu tidur yang semakin menusukkan perih.
Ia mencoba terpejam. Menghilangkan segala penat. Bersiap atas apapun yang akan ia bicarakan dengan Tiara esok hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
es dawet
😭😭😭sedihhh aq
2020-06-16
1