Alfa menatap pintu ruang perawatan dengan pandangan tak bersemangat, tetapi, sebisa mungkin, Ia akan menyiapkan senyumnya yang biasa. Mencoba untuk akan menghadapi Tiara dengan santai. Ditekannya tuas pintu dan separuh tubuhnya telah melangkah masuk. Seketika tubuhnya membeku. Dua pasang mata yang ada dalam ruangan pun sama, terpaku, menatap ke arahnya.
Mamanya ada di ruangan ini? Sejak kapan?
Perasaan tak nyaman langsung merayapinya. Entah apa yang sudah dibicarakan dua orang ini tanpa kehadirannya. Ia tak bisa untuk tidak membuang hal negatif dari pikirannya. Bukan apa-apa, ia hanya merasa, Helmia setengah hati menerima kehadiran Tiara dan Alfa tak bisa menggali lebih dalam untuk mengetahui apa yang membebani pikirannya itu. Ia paham betul ibunya, tetapi, kali ini, entah mengapa Alfa merasakan hal yang berbeda, Helmia tak bisa tertawa lepas dan bersikap terbuka seperti saat Alfa bersama kekasihnya dulu. Terlebih karena ibunya itu memiliki sifat galak. Ia takut jika ada yang tak sesuai dengan keinginannya, Helmia akan langsung memaki dengan kata-katanya yang pedas. Semoga saja karena mereka belum lama kenal. Hanya itu satu-satunya hal positif yang selalu ia tanamkan.
Tiara dan Mamanya sama-sama memandang tanpa lepas sedikit saja kedatangan Alfa hingga lelaki itu meletakkan barang yang dibawanya dan berdiri di ujung ranjang. Namun, kedua wanita itu, akhirnya terlihat bersamaan menatap amplop coklat yang ia letakkan di meja.
“Apa itu?” Helmia bertanya dengan mengarahkan pandangannya menuju amplop coklat di atas meja.
“Oh itu ... eh ... dokumen milik Davian. Tadi ... aku bertemu sebentar saat membeli makanan dan dia menyerahkan itu.” Alfa berkata dengan sedikit terbata. Ia memutuskan untuk berbohong saja dan menunda untuk memberi tahu tentang kabar yang tak mengenakkan itu. Apalagi di sini ada mamanya, yang sudah pasti akan memberikan reaksi pahit atas berita tak baik yang menimpa Tiara. Apalagi jika tahu, bahwa istrinya ternyata sakit karena mengkonsumsi obat darinya.
“Ya sudah. Mama pulang dulu.” Helmia berdiri, memandang Tiara sejenak, kemudian sedikit tersenyum dan pergi dari ruangan.
“Hati-hati Ma.” Alfa mengantar kepergian ibunya dengan ucapan singkatnya tanpa berpindah dari tempatnya berdiri. Kemudian menatap Tiara.
Dipandang dengan tatapan mengintrogasi, Tiara menundukkan kepala. Namun, sepertinya Alfa memilih untuk tak membahas apa-apa karena ia langsung mendekat ke meja dan mengambil tas makanan yang tadi dibawanya.
“Makan ya. Setelah ini kau sudah boleh pulang.” Alfa benar-benar kehilangan ekspresi untuk tersenyum. Mukanya terlihat muram tanpa bisa ia tutupi. Pikirannya berkecamuk penuh dengan perkara tak menyenangkan yang membuat ia melamun tanpa terasa. Kabar ini sungguh terasa mengejutkan untuknya. Entah bagaimana cara yang harus ia tempuh untuk memberitahukan hal ini kepada istrinya itu yang tentu saja akan lebih terkejut daripadanya.
Sekotak makan siang yang sudah Alfa pangku dalam genggaman, yang hendak ia suapkan itu pada akhirnya hanya teraduk-aduk. Namun, tak jua ia tujukan untuk disuapkan. Nampak sekali jika lelaki itu tengah melamun hingga tak sadar atas apa yang sedang ia lakukan.
Tiara mengembuskan udara dengan kasar sebelum akhirnya memegang tangan Alfa untuk membangunkannya dari lamunan. Mengerti akan apa yang ada di benak suaminya. Ia pasti menyangka, Mamanya akan berbicara yang tidak-tidak padanya.
Alfa mengangkat kepalanya dengan berat dan memaksa bibirnya untuk tersenyum.
“Ayo," ucap lelaki itu membuka mulutnya sendiri sebagai perintah agar Tiara mau membuka mulut, seperti sedang menyuapi anak kecil saja.
Tiara pun hanya menurut tanpa kata dan menerima suapan demi suapan sampai makanannya habis.
Setelahnya, mereka berdua berkemas dan berpamitan kepada perawat dan Dokter Jeni sebelum menginjakkan kaki keluar dari Rumah Sakit Bersalin tersebut, mengambil resep obat di apotek, lalu bergegas menuju ruang parkir.
Tiara sempat mengerem langkah panjang Alfa dengan menyeret tangannya hingga Alfa menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
“Ada apa?” Alfa mengangkat sebelah alis demi melihat Tiara yang kembali menoleh ke belakang. Jujur saja, ia ingin segera menghilang dari tempat tak menyenangkan ini, dan wanita itu malahan menghalangi langkahnya.
“Kita tak jadi konsultasi hari ini?” Tiara bertanya dengan polosnya.
Arrrgghh ya
Pertanyaan yang belum ia siapkan jawabannya. Alfa menggerutu dalam hati. Lelaki itu memejamkan mata sejenak untuk berpikir cepat dan menemukan jawaban yang luwes sebagai alasan. “Dokter Jeni sudah memeriksamu saat kau pingsan kemarin. Lain waktu lagi kita akan kembali.” Menjawab sekenanya berharap Tiara percaya dan bisa segera beranjak dari tempat ini.
“Oh ...." Wanita itu memberi jawaban dengan suara lirih yang lebih terdengar seperti bisikan dan tentu saja tak didengar oleh Alfa karena lelaki itu buru-buru melanjutkan langkah lagi, mendahului beberapa langkah ke depan.
******
“Bagaimana keadaan Tiara?” Yunus yang baru saja memasuki rumah spontan langsung bertanya ketika melihat Helmia tengah terduduk di kursi yang bisa dilihatnya begitu ia menapakkan kaki di dalam ruangan.
“Baik. Mungkin ia hanya kelelahan. Mereka langsung pulang begitu Tiara sadar.”
“Baguslah.”
“Atau mungkin saja Tiara sudah hamil? Ia tampak pucat dan mengaku mual.” Helmia mengambil kesimpulannya sendiri atas keadaan yang dilihatnya.
Yunus hanya tersenyum mendengar kata istrinya. Ia sangat paham. Helmia begitu mengharapkan kehadiran cucu mengingat usia mereka yang sudah mendekati pertengahan abad. Wanita itu sangat kecewa ketika tahu bahwa Alfa memutuskan hubungan dengan kekasihnya dulu setelah hampir 5 tahun berhubungan. Ia pikir Alfa akan segera menikah begitu menjalin hubungan spesial dengan wanita. Tapi nyatanya, ia malah mengakhiri hubungan sepihak dan baru menikah setelah 2 tahun berkencan dengan Tiara. Gadis yang diketahuinya merupakan anak seorang pengusaha fashion dan politikus dengan track recordnya yang tak cukup baik.
“Doakan saja yang terbaik untuk mereka. Kau jangan sampai terlalu ikut campur hingga membuat mereka tak nyaman.”
“Kau baru saja menuduhku yang bukan-bukan," ucapnya ketus.
“Aku tak menuduh. Aku hanya mengingatkan. Jangan sampai kau bawa rasa kecewamu itu dengan perlakuan yang tidak semestinya kepada Tiara.”
Helmia beranjak dari duduknya, menghadiahkan tatapan tajam dan membiarkan emosinya yang mulai naik itu mengambang di udara tak terlontarkan. Pergi dari pembicaraan yang pasti akan berujung pada pertengkaran itu.
******
Bau harum teh panas menguar di udara. Tiara menghirupnya dalam-dalam sebelum membawa cangkir tehnya ke sofa di ruang bersantai. Alfa tidak ada di tempatnya. Tadi ia melihat suaminya tengah berada di depan meja sofa sambil mengutak-atik kameranya, berniat pergi ke dapur dan membuatkan secangkir teh.
Dicarinya lelaki itu di seluruh sudut ruang dan dilihatnya Alfa tengah terduduk di depan tembok belakang dengan menarikan kuas di sana.
“Sedang apa?” Tiara menyuarakan pertanyaan dengan niat untuk menghentikan aktivitas suaminya, karena sebenarnya tanpa bertanya pun, Tiara tahu bahwa Alfa tengah melukis. Ia berdiri di ambang pintu menilik dari samping.
“Sedang … bersama yang kucintai.” Alfa mengulas senyum sejenak tanpa menstop tangannya yang sedang memegang kuas.
Tiara yang tak bisa menutupi rasa ingin tahunya akhirnya melangkah menjauh di belakang Alfa agar bisa melihat dengan jelas.
“Itu aku?” Tunjuknya pada diri sendiri.
Memandang lukisan seperti sedang berada di depan cermin besar. Alfa melukis di dinding tembok diantara dua dinding kayu yang merapatnya. Membuat lukisan itu terlihat sangat besar dengan bingkai yang sangat besar pula. Terlebih, terlihat sama besar dengan dirinya yang sesungguhnya dan sangat mirip dengan aslinya.
“Wajahku … apa wajahku memang seperti itu?”
Alfa memandang Tiara kemudian menatap lukisannya. Memiringkan kepala seolah menilai apa yang dilihatnya. Mempelajari wajah yang dilukisnya tanpa menemukan apa yang dimaksudkan Tiara.
“Aku disitu pucat sekali, apa wajahku memang pucat?” Tiara mengusap pipinya dengan kedua tangan.
“Benarkah? Ya ... ya ... aku akan menambahkan warna di sini ... di sini ....” Semakin lirih ia berkata seperti sedang berbicara kepada diri sendiri dan terus saja memoles dengan teliti selama beberapa saat.
“Tentu kau tidak pucat seperti tadi, aku hanya belum menambahkan warna terakhir serta memberi warna merah untuk bibirmu, kau sangat cantik Tiara, dan lukisan wajahmu ini, tak bisa mewakili setengah saja dari auramu yang sesungguhnya," tambahnya.
Tiara membalas dengan pandangan mengejek.
“Berdirilah di sana. Aku akan mengambil gambarmu.” Alfa mengambil kameranya, menghela Tiara agar mendekat ke tembok, dekat dengan lukisan wajahnya sendiri, lalu seperti model profesional, Tiara berfoto dengan gaya yang dipandu oleh Alfa di depannya. Istrinya itu tampak malu-malu tetapi Alfa berhasil membujuknya agar mau berpose.
Alfa tersenyum getir melihat hasil foto yang diambilnya, melihat jelas bahwa wajah Tiara memanglah pucat. Ia tak bisa berpikir jernih sedari kemarin. Perkataan Dokter Jeni terus menghantuinya. Ia hanya terus mentasbihkan doa, semoga ini hanyalah kekhawatiran sementara yang tidak perlu.
Mencoba mengusir jauh segala kekalutannya, ia mengambil kuas dan cat warna lalu melukis. Seolah tak bisa menyembunyikan setitik saja rahasia, ia bahkan tadi melukis dengan terus terbayang kesakitan yang dirasa istrinya hingga mengambil sikap bodoh dengan menyuarakan pikirannya dengan melukis wajah Tiara yang pucat.
Teruslah tersenyum Tiara ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Kiki Miski 💞🍃
Tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi helmia begitu mengetahui penyakit tiara 😱😱
semangat author bintang 😍😘💪
2020-06-29
1