Terbangun di pagi buta berkat dering ponsel yang memekakkan telinga, Alfa terduduk paksa dengan mata sayu. Sepertinya, Tiara tampak kelelahan karena sama sekali tak terusik oleh bunyi keras yang mendering berkat panggilan telepon di ponsel miliknya. Tubuh wanita itu masih diam tak bergerak.
Dengan malas, Alfa menggeser tombol hijau di ponselnya lalu menyapa singkat, "Ya?"
Suara jernih yang terdengar menjawab lirih di seberang telepon itu menjawab dengan suara datar. Namun, sukses membuat Alfa membelalakkan mata karena terkejut.
"Apa? Pagi buta seperti ini? Oh, konyol sekali kau." Lelaki itu sedikit menengok ke arah istrinya karena tanpa sadar telah berkata dengan nada tinggi.
Alfa mendecak setelah memutus telepon, karena merasa terusik akibat rasa kantuk yang masih melanda. Laki-laki itu akhirnya turun dari tempat tidur, melangkah menuju wastafel di kamar mandi dan berusaha mengusir rasa malas dengan mengusapkan air dingin yang keluar dari keran ke wajahnya, lalu berjalan gontai menuju arah depan rumah.
******
Keluar dari pintu utama, Alfa langsung melihat keberadaan Davian yang sedang menunggunya, bersandar di pintu pagar besi miliknya dan langsung tersenyum puas melihat Alfa benar-benar terganggu atas kedatangannya pagi ini.
"Bagaimana bulan madumu? Enak?" Tanyanya tanpa rasa berdosa sembari mengangsurkan tas kamera ke arahnya.
Sebelah alis Alfa langsung terangkat mendengar pertanyaan yang tak terduga itu bakal meluncur pertama kali.
Tak mungkin ia akan mengatakan tentang malam pertama yang gagal beberapa hari lalu itu bukan? Ah, sungguh ia tak mau lagi mengingat malam pertama memalukan, di mana ia sungguh sudah sangat berhasrat sementara keinginannya harus kandas begitu saja di tengah jalan karena Tiara yang tengah berhalangan. Tak sempat terlintas dalam pikirannya tentang hal seperti itu, karena Alfa benar-benar telah membayangkan bagaimana malam penuh suka cita nan bergelora akan menghiasi malam pertamanya itu.
Sambil mengatur nafas, Alfa akhirnya berusaha untuk berbicara dengan lancar agar tak terlihat gusar, lalu mengambil dengan gerakan setengah merebut, atas tas yang telah ada di depannya.
"Menikahlah segera, maka kau akan tahu sendiri rasanya." Alfa menatap dengan senyum paling sinis yang ia bisa dan langsung berbalik melangkahkan kaki ke area teras rumah setelah menerima kamera dari tangan Davian.
"Hei! Aku tak disuruh masuk terlebih dahulu?" Protesnya dengan sedikit berteriak karena Alfa sepertinya sama sekali tak punya niatan untuk membukakan gerbang dan mempersilakannya masuk.
"Maaf Alfa, aku tak bisa singgah, aku harus segera pergi agar tak tertinggal jadwal penerbangan pesawat. Harusnya kau berkata demikian." Alfa membalikkan badan sejenak sambil mencandai sahabatnya itu, yang hanya ditanggapi oleh Davian dengan geleng-geleng kepala.
Impas. Alfa telah berhasil mencandainya balik dengan kalimat pengusiran yang nyata pada kata-katanya. Tetapi, Davian memang sedang tidak berbohong, ia harus pergi ke luar kota pada pagi berembun yang belum tersentuh sama sekali oleh cahaya itu. Ia berniat untuk memberikan kamera Alfa yang pada hari resepsi itu dibawanya untuk mengambil foto, sebelum kepergiannya ini memakan waktu hingga berhari-hari dan membuat sahabatnya itu terlalu lama menunggu.
"Ya sudah, aku pamit, jangan lupa kau ceritakan pengalamanmu itu saat kita bertemu di studio nanti ya," sambungnya ceria dengan melambaikan sebelah tangannya dan langsung beranjak dari depan gerbang, memakai helm, lalu melesat jauh ke tengah keramaian jalanan yang terurai.
Alfa hanya meringis penuh kegetiran yang tampak di wajahnya, jika saja Davian menatapnya dengan jelas.
******
Setelah meletakkan kamera DSLRnya dengan perlahan di atas meja di dalam kamar, Alfa lalu menarik kursi kerjanya dan memindah dengan penuh kehati-hatian, memory card kameranya ke dalam card reader laptop miliknya. Layar hitam mengedip perlahan, menandakan aktivitas cold booting di sana.
Tak perlu waktu lama, setelah sekian detik, muncullah foto-foto dirinya dan Tiara di acara resepsi pernikahan mereka. Dibukanya satu persatu dan diamatinya secara menyeluruh. Melihat dengan pandangan penuh penilaian pada gambar besar yang nampak di layarnya.
"Kau sudah bangun?" Tiara mendekat sambil mengucek matanya pelan. "Kau ... sudah mulai bekerja lagi?" Tanyanya kembali dengan ekspresi terkesiap begitu melihat Alfa yang tengah sibuk dengan laptopnya dan tak memperhatikan kedatangannya.
*Baik. Jadi inikah pembalasan untuknya karena malam pertama yang gagal? Bekerja di hari cuti*?
Tiara berkacak pinggang dan berdiri menantang persis di depan meja.
Alfa lalu melambaikan tangannya, seolah baru menyadari kedatangan istrinya yang tak sempat ia perhatikan itu.
"Lihatlah ...." Alfa melihat sekilas ke arah Tiara dan menunjuk layar laptop.
Pertanyaan Tiara tak terjawab namun tak urung, dengan wajah dongkol, ia mendekat dengan segera.
"Huh, kau masih saja tak bisa memecah konsentrasi saat bekerja dan diajak berbicara," sungutnya lalu berjalan memutari meja dan pandangannya langsung bertemu dengan foto-foto yang ditampilkan di layar tipis itu.
"Itu foto-foto pernikahan kita?" Tiara tampak takjub.
"Ya, aku sungguh menyesal. Seharusnya aku sendiri yang mengambil foto resepsi kita. Aku benar-benar kecewa, ada banyak sekali sudut foto yang sangat pas sehingga membuatmu tampak sangat cantik." Alfa menjauhkan tubuhnya ke belakang dan bersedekap. "Padahal aku ingin kau terlihat cantik saat hanya ada aku saja yang menatapmu, dan aku yang akan mengambil fotomu sepuasnya," ujarnya dengan seringaian yang menggoda.
Tiara menolehkan polatan matanya ke arah Alfa dengan mulut menguncir ke depan diikuti Alfa yang mengeluarkan senyum tertahan.
"Lalu? Aku bersanding dengan siapa di pelaminan kalau kau terus berduaan dengan kameramu itu?" Nada mencela mulai muncul. "Dengan fotomu?" Tanyanya lagi dengan ekspresi mengejek.
Alfa hanya menjawab dengan terbahak melihat dengusan kesal Tiara yang terlihat manis di matanya itu.
Sesaat kemudian, dering ponsel mendadak bergema, memutus tawa Alfa sejenak. Setelah mengetahui dengan pasti siapa peneleponnya, lelaki itu langsung berbicara tanpa basa-basi lagi, "Sudah rindu padaku lagi huh?" Tanyanya dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Tiara menoleh dan menyimak dengan saksama perubahan mimik wajah suaminya. Alfa melebarkan mata, mengerutkan kening, lalu mengembuskan napas panjang, menatap ke arah depan menerawang, menatap Tiara, menoleh lagi, begitu seterusnya sambil terus menempelkan ponsel di telinga kirinya, seakan lawan bicaranya itu tengah memberikan informasi yang membuat laki-laki itu berpikir keras. Semua ekspresi Alfa terekam jelas di mata Tiara membuat wanita itu bertanya-tanya.
"Ya. Iya oke, segera," ujarnya menutup pembicaraan lalu berdiri di depan istrinya, tersenyum masam dan meraih kedua tangan Tiara dalam genggaman.
“Aku butuh pendapatmu.” Alfa mengerutkan kening. Kecemasan mendadak mendominasi wajahnya.
“Tentang?” Tiara mengayun-ayunkan kedua tangannya yang saling bertautan dengan kedua tangan Alfa.
“Dony menyuruhku ikut serta melakukan sesi fotografi ke luar pulau. Ada bos perusahaan yang bekerja sama dengan tempatku bekerja dan ia menyuruhku yang menanganinya. Pemotretan untuk model produk," urainya.
“Oh ... lantas apa yang perlu kau pertimbangkan denganku?” Tiara bertanya dengan tersenyum.
“Jatah cutiku masih 7 hari lagi dan aku harus pergi besok, padahal di waktu-waktu ini aku benar-benar ingin berkonsentrasi untuk berkembang biak.” Raut muka Alfa berubah santai namun dipenuhi kekecewaan.
Tiara terkekeh dan mencubit hidung suaminya dengan gemas.
“Kau tahu Tiara? Aku sangat kesepian karena tak punya saudara kandung. Hidup dengan kedua orang tua membuatku cepat tua, mereka hanya membuatku terus berpikir dan bekerja. Aku ingin sekali punya banyak anak darimu," godanya.
Ekspresi Tiara yang semula santai menjadi sedikit tegang. Entah kenapa kata-kata terakhir Alfa mengusik jiwanya. Menyemburkan kehangatan yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Mempunyai anak? Menjadi ibu?
Sungguhlah tentu Tiara sangat ingin segera mengandung dan melahirkan bayi mungil untuk Alfa, mendengar suara celoteh anak kecil yang menjadi buah cintanya, berbahagia menatap rumah yang berantakan karena ulah anaknya, tetapi, membuat hatinya senang karena mereka tumbuh sehat.
Kedua tangan yang semula saling bertautan itu terlepas. Tiara menyentuhkan telapak tangannya ke dada bidang suami di hadapannya.
“Aku sudah tidak sabar untuk mewujudkannya.” Bola mata Tiara menatap lekat kedua mata Alfa. “Pergilah. Aku tidak keberatan. Kau harus bekerja keras agar besok anak-anakmu bangga padamu. Memiliki seorang ayah yang sangat menyayangi keluarganya," ucap wanita itu lembut.
Alfa akhirnya menegakkan badan, menipiskan bibir untuk berusaha sekuat tenaga, melawan kebimbangan yang mendera. Namun tak lama, akhirnya anggukan tipis muncul di sana.
“Aku sungguh berat meninggalkanmu saat ini, tapi, ya … kalau kau setuju aku akan berangkat," ujarnya dengan yakin untuk memantapkan dirinya sendiri.
“Ya. Aku akan di rumah menunggumu pulang.” Tiara mengangguk-angguk menyetujui pikirannya sendiri.
“Kau boleh melakukan apa saja dan pergi kemana saja jika membutuhkan teman, asal kau tak membuatku cemburu.”
“Hm ... cemburu? Misalnya?” Bahu Tiara terguncang dengan kekehan, merasa geli dengan pernyataan Alfa.
“Terlalu larut dengan aktivitasmu sampai lupa padaku," jawabnya dengan tajam. "Kau harus selalu memberiku kabar, agar aku pun tahu bahwa kau baik-baik saja," harapnya dengan penuh kesungguhan.
“Ya. Baik. Aku tahu itu." Tiara tersenyum dan melepaskan kedua tangannya yang sedari tadi menempel pada dada suaminya itu. "Aku mandi dulu.” Tiara membalikkan badan begitu saja, hendak berjalan cepat menuju pintu ruang mandi … dan ... gagal. Alfa mengisyaratkan ketidaksetujuan dengan mencekal pergelangan tangan istrinya. Tiara sedikit memiringkan kepala sebagai pertanyaan.
Apa?
“Aku tak bisa menahan lagi Tiara.” Tangan kanan Alfa terangkat dengan lima jari terbuka. Wanita itu memandang sekilas ke arah tangan suaminya, memandang Alfa lagi dan mengangkat alis seolah bertanya lagi.
Apa maksudnya?
“Lima Tiara. Aku ingin punya lima orang anak," ucapnya sembari menyibakkan rambut istrinya ke belakang telinga.
“Apa?!” Tiara membelalak.
Tanpa menunggu lagi, lelaki itu mendorong tubuh Tiara ke belakang, membentur tepian ranjang hingga membuat wanitanya terbaring di sana, memulai pagi dengan aktivitas tiga malam lalu yang tertunda ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
es dawet
yeee....jadi juga
2020-06-06
1