Alfa pulang dari pekerjaannya di luar pulau satu hari kemudian. Lelaki itu memutuskan untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu, sehingga saat di rumah, walau jatah cutinya berkurang, ia bisa menikmati waktu istirahat dan waktu senggangnya dengan tenang tanpa dihantui dengan penyelesaian pekerjaan.
“Apa yang kau bicarakan bersama Mama kemarin? Apakah ia berkata yang tidak-tidak sehingga membuatmu tak nyaman?" Alfa duduk santai di sofa, menikmati suasana damai di hatinya dengan tangannya yang terus menerus mengelus kepala Tiara yang bersandar di lengannya. Televisi dibiarkan menyala begitu saja menatap mereka yang tengah asyik berduaan.
“Tidak-tidak yang seperti apa?” Tiara mendongak, mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah bisa ia jawab, tetapi, tak sampai hati untuk mengutarakan.
“Menyuruhmu melakukan hal-hal yang berlebihan? Meminum jamu, obat-obatan atau melakukan program kehamilan?”
Tiara terdiam.
Ia memang berdua dengan Helmia dalam acara bincang santai kemarin. Tetapi seperti biasanya, ibu mertuanya itu mengajaknya berbicara dengan nada yang mengintimidasi, sehingga, seperti terkena hipnotis, apa yang dikatakan oleh Mamanya, ia menurut saja.
“Iya?” Alfa menjawab pertanyaannya dengan pertanyaannya sendiri karena Tiara hanya membisu dan kemungkinan jawabannya memang benarlah sesuai dugaannya.
“Itu karena dia ingin menunjukkan rasa sayangnya padaku. Tidak ada yang salah bukan?”
“Apa ada yang Mama berikan padamu?” Laki-laki itu masih terus mengejar pertanyaan, karena merasakan kesabarannya yang mulai menipis.
Tiara menegakkan posisi duduknya dan menyilakan kaki di atas sofa sambil menghadap ke arah Alfa. “Kenapa kau tampak khawatir sampai mengintrogasiku seperti itu. Hm?” Dagunya terangkat dengan topangan tangan kanannya.
“Aku khawatir mama memaksamu sehingga membuatmu tidak enak. Apa Mama memberimu sesuatu? Jangan dikonsumsi dulu. Kita konsultasikan ke Dokter Jeni. Lagi pula kita belum tahu benar bukan? kondisi tubuhmu dengan obat yang kau minum?” Alfa mencondongkan tubuh ke depan untuk mengambil secangkir kopi yang ada di meja, kemudian menyesapnya sedikit demi sedikit seakan memberi jeda sebelum kembali berkata, “Aku sudah memesan janji temu dengan Dokter Jeni sore nanti. Kita akan mengadakan konsultasi.”
Ucapan Alfa itu membuat Tiara menegang dan panik. Tubuhnya mulai dialiri rasa panas yang membakar rongga dadanya. Benarlah bahwa ia tidak boleh mengkonsumsi obat dengan serampangan tanpa melihat terlebih dahulu dosis dan apa efek samping yang kemungkinan akan ia rasakan.
Memikirkan hal itu membuat kepala Tiara terasa semakin berdenyut, ditambah dengan rasa cemas karena penyesalan akan perbuatannya yang sudah tidak bisa ia tarik kembali.
Hari kemarin ketika Helmia datang, Tiara langsung diperintah oleh mama mertuanya itu untuk meminum salah satu obat penyubur kandungan yang dibawanya setelah mereka selesai menyantap makan siang dan makan malam. Pagi tadi, ia pun meminumnya kembali seusai sarapan.
Jadi, inikah penyebab rasa pening di kepala yang menderanya sejak tadi pagi?
Tiara memijat pangkal hidungnya sebentar sambil memejamkan mata untuk sedikit mengusir rasa tak nyaman yang bersarang di sana, mencoba menetralkan rasa sakit yang terkadang muncul dan kadangkala hilang tanpa bisa diduga.
“Kau kenapa Tiara?” Alfa langsung menghadapkan tubuh padanya dan mengerutkan kening. Tiara tampak sedikit pucat rasa-rasanya. Istrinya itu memejamkan mata dan mengerutkan kening dalam seakan-akan tengah merasai kesakitan dan menahannya.
“Tiara?” Ulangnya.
“Kepalaku pening dan perutku terasa aneh," lirihnya sembari menghempaskan tubuh pada sandaran sofa, dengan matanya yang sedikit terbuka.
“Kau sakit? Ah, apa kau terlalu lama menunggu oleh-oleh dariku?” Alfa turut bersandar sambil terus menatap wajah istrinya.
“Oleh-oleh?” Tiara menolehkan kepala.
“Ya. Kau bilang sendiri kemarin, katanya oleh-olehku itu adalah aku yang lelah dan tidur-tiduran saja di atas ranjang. Benar?”
Tiara memukulkan tangannya ke dada bidang Alfa yang langsung ditanggapinya dengan rintihan sakit yang dibuat-buat. Wanita itu merasa sebal sekaligus malu. Bisa-bisanya suaminya itu menggodanya di tengah rasa tak nyaman yang sedang mendominasinya itu.
“Ayo. Akan kuberikan padamu oleh-olehku itu. Barangkali bisa sedikit meredam rasa sakitmu. Kau tahu? Olahraga bersama suami bisa membuatmu rileks dan menyembuhkan pusing di kepala," ujarnya dengan seringaian yang menyebalkan.
Alfa bangkit dari duduknya dan hendak melangkah. Namun, Tiara hanya tersenyum dengan sebelah bibir dan tak menanggapi ajakan tersirat lelaki itu yang telah berdiri.
“Baik. Kau tak mau di sana?” Alfa mengedikkan pandangannya ke arah kamar.
“Kalau begitu, di sini saja,” lanjutnya dengan tubuh yang bergerak cepat hingga membuat Tiara menjerit kecil karena tiba-tiba saja Alfa sudah tertelungkup di atasnya dengan senyum menggoda.
******
“Masih sakit?” Alfa menggenggamkan jemarinya ke kedua tangan Tiara. Sedari berangkat tadi, Tiara hanya menurut ajakannya dan tak banyak bicara.
Sekarang, mereka telah berada di ruang tunggu antrian dokter kandungan Rumah Sakit Bersalin di kotanya. Menunggu dengan cemas berharap antrian segera berganti ke arahnya. Semakin lama Alfa semakin panik saja karena wajah Tiara benar-benar telah pucat pasi dengan tubuhnya yang lemas.
“Bisakah kita pulang saja? Antrian masih lama bukan?” Tiara tak menjawab pertanyaan lelaki itu seperti yang diharapkannya hingga membuat Alfa mendecak.
“Antar aku pulang Al ....” Alfa yang menangkap sesuatu yang semakin tidak beres itu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan melihat-lihat antrian di poli sebelah dan memutuskan untuk mengajak istrinya ke dokter umum saja yang tidak harus menunggu lama. Memutuskan untuk menunda pertemuan mereka dengan Dokter Jeni. Dipapahnya Tiara berdiri, akan tetapi, wanita itu tak juga turut melangkah membersamainya. Hal itu membuat Alfa mengerutkan kening dan memperhatikan ke arah mata Tiara dengan saksama. Barulah lelaki itu menyadari bahwa istrinya tengah menatapnya pula, tetapi, dengan pandangan kabur.
“Kepalaku ... sakit,” ucapnya semakin lirih dan tubuhnya pun rubuh kehilangan kesadaran.
Orang-orang yang kebetulan sedang berada dalam satu ruangan itu mendadak heboh. Beberapa di antaranya berlarian meminta pertolongan dan beberapa yang lain mendekat hendak membantu Alfa mengangkat Tiara. Namun, dengan kekuatan penuh, Alfa menggendong sendiri istrinya, lalu berjalan ke arah ranjang kosong yang kebetulan terletak di lorong tak jauh darinya.
Dua orang perawat terlihat mendekat dan bersama-sama mendorong ranjangnya masuk ke ruang periksa. Menutup pintu. Membuat pasien dan petugas yang berjaga tenang kembali dan duduk di posisi mereka semula.
******
Tiara terlelap dengan tenang. Matanya terpejam. Wajahnya sudah tak menunjukkan rasa sakit seperti tadi. Tetapi, wajahnya masihlah pucat pasi. Alfa menungguinya dengan galau. Ia merasa jengkel bukan main hingga membuatnya mengacak-acak rambut sampai tak karuan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar Tiara telah meminum obat seperti perkiraannya? Apa yang sebaiknya dilakukannya? Haruskah ia berbicara dengan Mamanya? Ia tahu Mamanya posesif luar biasa jika sudah memiliki hal yang dikehendakinya. Apa Mamanya tak berpikir untuk memeriksakan saja Tiara dahulu? Toh, nanti dokter sendiri yang akan memberikan yang terbaik untuk istrinya. Sebegitu cemaskah Mamanya dengan Tiara? Takut Tiara menghadapi hal yang sama dengannya?
Suara derap sepatu memasuki ruangan membuat Alfa menoleh ke belakang.
Kedua pasang mata yang bertemu pandang itu saling bersitatap sejenak sebelum bisa saling mengenali satu sama lain.
“Dokter Jeni?” Alfa berdiri dari tempat duduknya untuk menyambut kedatangan dokter wanita itu.
“Ah, Gheo?” Sapanya setelah mengenali pula raut wajah laki-laki di depannya.
Alfa menganggukkan kepala tipis. “Iya. ini aku," jawabnya.
Dokter Jeni tersenyum ramah kemudian dan melangkahkan kaki menuju meja kerja yang terdapat di ruangan itu.
Dokter itu memanggilnya dengan nama kecilnya. Jeni telah mengenal anak laki-laki di hadapannya ini bahkan sejak ia berada dalam kandungan mamanya. Usianya yang semakin menua ternyata tak membuat ia pangling, mengingat sudah lama ia tak berjumpa dengan Alfa.
“Mengapa kau ada di sini? Bukankah kau ada konsultasi denganku?” ucapnya dengan nada terkejut. Tadi, ia mendapat informasi dari perawat jaga bahwa ada pasiennya yang menunggu di ruang periksa umum.
Alfa menengok kembali ke belakangnya di mana Tiara ditidurkan. “Istriku pingsan di ruang tunggu.”
Dokter Jeni kemudian menunjuk dengan sebelah tangannya ke arah kursi yang ada di depannya, mempersilakan Alfa untuk duduk.
“Duduklah," perintahnya bersamaan dengan dirinya yang juga duduk di belakang meja.
Alfa terduduk lesu dengan punggung bersandar.
“Ada apa? Istrimu sudah hamil?”
“Aku tak tahu. Sebenarnya aku ke sini baru akan berkonsultasi untuk program kehamilan, tetapi, sepertinya Mama mendahului langkah.”
“Mamamu? Mendahului langkah? Apa maksudmu?" Kening Jeni berkerut mendengar kata-kata Alfa yang ambigu itu.
“Ya. mama sepertinya terlalu terburu-buru akan keinginannya sehingga memberikan Tiara obat tanpa sepengetahuanku.”
Dokter Jeni tampak berpikir sejenak, mencerna ucapan anak laki-laki yang sudah seperti keponakannya ini dengan hati-hati dan menyimpulkan kemungkinan yang telah terjadi.
“Baiklah. Biarkan istrimu dirawat di sini dulu. Aku nanti akan melakukan cek darah.”
Alfa menganggukkan kepala dengan frustasi, lalu dengan lemah menjawab, “Ya ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Belinda Marchely
Nah, kaaannnn 😔
2020-08-26
1
es dawet
hahhhh...kekuatan penuh ya....seperti power rangers ya...hehe...semangattt
2020-06-11
1
Adi Kusma
Mantap kak !!! Lanjut dan Semangat selalu.
kalo ada waktu
singgah ke Pendekar Elang Putih ya (•‿•)(•‿•)
2020-04-26
1