Tiara kembali menginjakkan kakinya di rumah. Wanita itu tersenyum masam begitu memasuki pintu ruang depan. Tiara teringat bagaimana Ia bertengkar dengan Alfa ketika akan memberitahukan kejutan mengenai kehamilannya. Terasa sangat singkat sampai dengan saat ini. Wanita itu berusaha untuk tegar karena ada orang-orang yang dia sayangi dan selalu memberi suntikan semangat dan optimis untuknya. Tentunya, ia tak akan mengecewakan mereka dengan terus menerus bersedih bukan?
Wanita bertubuh ramping itu mungkin akan kembali bekerja besok. Alfa mengultimatumnya agar di rumah saja hari ini dan tak bepergian kemanapun. Tak bisa membayangkan bagaimana pekerjaannya menumpuk karena rasa-rasanya, setelah menikah, ada saja alasannya untuk tidak berangkat bekerja. Alfa akan pergi ke studio hari ini. Ia memutuskan untuk bersantai sejenak di ruang belakang sebelum menghubungi rekan kerjanya dan mencicil pekerjaannya di rumah.
Langkahnya terhenti sejenak ketika sampai di penghujung ruang di mana ada lukisan dirinya dengan seorang bayi kecil di pangkuannya yang tergores dengan cat warna merah.
Alfa melukis itu … kapan?
Tanpa ia tahu, Alfa sudah berdiri di sampingnya dan turut mengarahkan pandangannya ke lukisan dinding beberapa malam lalu. Ia lupa belum menyelesaikan lukisannya. Penyesalan langsung menghampirinya ketika ia melihat Tiara memandangi lukisan itu tiada henti. Teringat akan hal yang tak seharusnya dengan lukisan itu Tiara menjadi sedih kembali.
“Bayinya cantik, tetapi mengapa ada warna merah berantakan di sana? Apa kau tahu kalau ... dia akan pergi?” Tiara bertanya sambil menoleh ke arah suaminya. Senyum tersungging di bibir merah mudanya.
“Oh, jangan dipikirkan Tiara. Aku akan memperbaiki nanti. Malam itu aku sedang melukis di sini dan tanpa sengaja menggoreskan cat merah karena terkejut mendengar suara pecahan di kamarmu.” Alfa lalu memegang pucuk dagu Tiara agar wanita itu memandang ke arahnya.
“Oh," jawabnya singkat lalu turut memandangi wajah Alfa yang semakin dekat dengannya.
Lelaki itu menempelkan dahinya ke dahi Tiara dan terpejam. “Kau jangan lagi terbebani masalah anak. Biarkan itu mengalir saja. Tak peduli dengan omongan orang. Ini hanya antara kau dan aku.” Alfa mengembuskan napas panasnya berulang-ulang, berharap Tiara paham makna tersirat dalam ucapannya. Tentu saja ia ingin istrinya tak menggubris Mamanya yang setelah mengetahui informasi langsung dari Dokter Jeni, entah akan seperti apa. Tiara hanya terdiam. Menikmati kedekatan yang lelaki itu ciptakan.
Alfa semakin mendekatkan bibirnya ke bibir Tiara. Mulai meraup bibir mungilnya ke dalam bibirnya yang hangat. Menyesap dan menarik kuat rasa nikmat yang timbul akibat pertautan bibir mereka. Salah satu tangan mendorong punggung Tiara agar semakin menempel dengan tubuhnya. Napas yang semakin tak karuan memburu dan detak jantung yang berdebar semakin kencang menandakan dorongan hormon testosteron dan estrogen dalam tubuh mereka yang semakin meningkat. Alfa mendorong tubuh Tiara hingga terpepet ke tembok di belakangnya dan seolah ingin segera menyatukan diri.
Sadar bahwa ia tak boleh melanjutkan aksinya, Alfa mengurangi intensitas ciumannya dan mencium mesra dengan hanya menempelkan bibirnya.
“Aku tak boleh ...," ucapnya parau dengan napas berat dan akhirnya melepas Tiara yang sudah tampak penuh gairah dengan rambut yang lecek dan berantakan yang nampak semakin menggoda. Wanita itu masih memelukkan tangannya ke pundak suaminya dan rasa kosong memenuhi dadanya.
“Maafkan aku Tiara.” Alfa membuka matanya perlahan dan mengelus pipi istrinya dengan lembut. Dengan wajah merona malu, Tiara menundukkan kepalanya.
“Maafkan aku …” Masih dengan menunduk dan tak berani menatap suaminya. Ia sangat paham dengan apa yang tengah bergejolak di diri suaminya sekarang. Ia pun masih belum bisa memberikan apa yang Alfa minta darinya. Ia masih belum pulih. Dan ia merasa bersalah. Tak mampu menjaga calon anaknya yang bahkan mereka belum tahu seperti apa. Mungkin sekarang Alfa tak apa-apa, namun bagaimana jika esok hari ternyata ia harus menghadapi hal yang sama? Tiara tak bisa mengandung dengan benar. Lalu, bagaimana reaksi mertuanya setelah ini?
“Sudah. Aku harus membersihkan diri dulu sebelum berangkat. Sungguh berat sebenarnya harus pergi hari ini. Tapi-”
“Iya, berangkatlah.” Tiara menganggukkan kepala menyatakan tak keberatannya jika Alfa harus pergi.
Ketukan pintu membuyarkan keintiman mereka. Alfa dengan segera menoleh ke arah belakangnya lalu bergegas berjalan membuka pintu ruang depan.
“Mama.” Berta berdiri membelakangi pintu dan Alfa pun segera menyapa begitu ia melihat.
Berta tersenyum lalu memeluk putra menantunya itu sebagai ucapan perjumpaan setelah sekian lama.
“Tiara ada di belakang.” Alfa langsung berjalan mengantar ke tempat Tiara yang sedang duduk di kursi teras.
Melihat Tiara yang tengah sendiri melamun, Berta tersenyum dengan kening berkerut. “Tiara ….” Wanita itu memanggil dengan suara rendah, tetapi berhasil mengusik pendengaran anaknya hingga membuat Tiara menoleh dengan cepat dan terkejut.
“Mama ….” Secepat kilat Tiara berdiri dan menghambur ke pelukan mamanya. Memeluk dengan erat.
******
“Halo Al?” Dony menyapa ketika dering telepon akhirnya diangkat oleh Alfa.
“Iya. Sebentar lagi aku datang. Ada tamu di rumah," jawabnya tanpa menunggu pernyataan dari sang penelepon.
“Oh. Oke. Kutunggu.” Dony menekan tombol merah untuk mengakhiri sambungan singkatnya.
"Jadi mereka meminta tema apa untuk kita persiapkan?" Brian langsung menyambung dengan pertanyaan ketika Dony mengakhiri panggilan.
"Mereka meminta konsep musim gugur. Kostum pakaiannya semi formal."
"Kita akan menggunakan lokasi yang seperti biasa?" Alex menyambung.
"Iya. Kita ke lokasi yang biasa. Ekstra part hari ini. Ada tiga pemotretan lain yang harus kita lakukan. Dua lainnya sebenarnya besok, tapi mereka meminta hari ini. Satu lagi meminta untuk di studio saja. Konsepnya lebih sederhana. Yogi, Fathan, Reinan, dimana mereka?" Ujarnya menyapu pandang dan berkali-kali melihat waktu melalui jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
"Prepare akomodasi yang harus kita bawa." Brian mengangsurkan beberapa lembar kertas ke hadapan Dony yang langsung dibaca olehnya.
"Dua orang sudah membayar setengahnya. Satu lagi akan langsung melunasi begitu pemotretan selesai." Lelaki berambut pirang itu menjelaskan kembali isi kertas yang diangsurkannya.
"Baik. Kita tinggal berangkat saja." Dony menyahut.
"Sudah siap?" Alfa yang baru muncul dan berdiri di pucuk tangga mengalihkan perhatian.
Dony menganggukkan kepala.
"Ayo kita berangkat." Alfa langsung membalikkan badannya begitu saja saat mendapatkan jawaban diikuti teman-temannya yang turut serta membubarkan diri.
******
"Bagaimana keadaanmu Tiara?"
Mereka berdua duduk bersandingan di kursi kayu teras belakang rumah milik Alfa. Hendak menikmati waktu bersama dengan secangkir teh hangat serta kue aneka rasa yang tertata rapi di piring kecil di sampingnya.
Kebetulan yang menyenangkan. Tiara berpikir ia akan menghabiskan waktu sendirinya di rumah dengan berkutat pada layar laptop yang penuh akan pekerjaannya yang tertunda. Namun, sepertinya ia memang harus bersantai saja di rumah seperti ucapan Alfa sebelum lelaki itu akhirnya menancapkan gas untuk pergi bekerja.
"Baik Ma ... Mama tak perlu mengkhawatirkanku. Apa Mama tidak sibuk? Aku tak enak kalau harus menjadi alasan Mama mengosongkan waktu." Tiara tersenyum dengan ekspresi penuh kasih. "Sebenarnya aku hendak mengunjungi Mama bersama Alfa jika ada waktu luang bersama, tetapi sepertinya, ikatan ibu dan anak itu memang kuat ya. Rinduku membawamu kemari." Tiara mengelus punggung tangan ibunya.
"Aku pun rindu padamu. Tak ada yang lebih membahagiakanku kecuali melihatmu baik-baik saja." Berta tersenyum dengan getaran kasih yang sama.
"Kandunganku lemah. Aku tak bisa mengandung dengan baik. Aku takut Alfa akan kecewa padaku." Tiara mengungkapkan dengan jujur apa yang dirasakannya akhir-akhir ini. Terlontar begitu saja. Tak tahu lagi harus kepada siapa ia mempercayakan semua selain pada ibunya, dan tak tahan untuk memendam.
Berta mengamati wajah putrinya sekilas sebelum kembali berujar, "Kau tak boleh menyerah. Alfa sangat menyayangimu, dan Mama tahu, dia bukan tipe lelaki yang akan dengan seenaknya memainkan perasaan perempuan. Kau pun punya Mama. Aku tak akan merasa terbebani dengan apapun. Bicara padaku jika kau mendapat kesulitan Tiara." Berta mengelus punggung anaknya perlahan.
"Mama ... terima kasih." Wanita itu memeluk mamanya lagi. Terharu.
"Em ... Apa hubungan Mama dengan Mama Helmia baik?" Tiara melepas pelukannya demi dengan berani bertanya sesuatu yang telah lama mengganjal di hatinya.
Berta mengangkat alisnya dan berkerut mendengar pertanyaan tak terduga itu.
Apa Helmia memperlakukanmu dengan buruk Tiara?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
es dawet
semangaattt mba
2020-06-17
1