Suara decit pintu yang terbuka mengawali hari Tiara pagi itu. Helmia nampak berdiri di depan pintu. Dengan bahagia, Tiara memberi salam dan cipika cipiki dengan mertuanya. Sesuai dengan perkataan Alfa, Mamanya akan datang berkunjung hari ini menemaninya sebagai ganti karena ia harus pergi meninggalkan istrinya seorang diri saat jadwal cutinya masih belum habis.
Tiara menengok ke luar rumah, memastikan tidak ada orang lain yang datang bersama Mamanya dan menepikan badan lalu membuka kedua tangan mempersilakan Helmia masuk.
“Papamu selalu sibuk dan hanya mempunyai waktu luang di akhir pekan.” Menjawab pertanyaan Tiara yang muncul dalam ekspresinya, lalu berjalan santai sembari mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, dan duduk di kursi tamu tanpa diperintah.
“Duduklah saja di sini. Mama membawa banyak makanan untuk ngobrol santai kita hari ini.” Mengangkat tas besar di sampingnya, menunjukkan pada Tiara dengan seulas senyum.
“Terima kasih Ma. Aku ambil minum kalau begitu.” Tiara menunjuk arah belakang dengan ibu jari, mulai terintimidasi dengan sikap mamanya.
“Teh hangat. Tawar.” Masih menatap Tiara yang hendak pergi ke belakang. Memerintah seperti sedang berada di restoran dan memesan kepada pelayan.
“Ah ya. Aku tidak lupa kesukaan Mama.” Tersenyum manis dan melangkah menuju dapur.
Tiara mengambil satu cangkir porselen serta satu gelas high ball dari rak yang terdapat pada pantry dan membuatkan teh permintaan Helmia lalu jeruk dingin untuknya.
Dan … ia teringat Alfa. Lelaki itu sangat berbeda dengan kedua orang tuanya. Dari sekilas pandang saja, Yunus tampak galak dengan guratan-guratan yang terlihat di wajahnya. Dan Helmia, dia tampak sadis dan selalu mendominasi dalam berbicara. Berkebalikan dengan Alfa yang selalu menebar senyum hangat dan memperlihatkan hati yang lembut dengan candaan-candaan yang selalu ia lontarkan. Mungkin saja … ia menuruni sifat kakek atau neneknya? Tak terasa Tiara tertawa sendiri atas pemikiran konyol yang baru saja melintas dalam otaknya.
Namun, seperti Utara dan Selatan juga sepertinya antara Ia dan Alfa. Tiara menambahkan sekelebat angan-angan dalam bayangannya. Ia terkenal sebagai gadis jutek yang jarang mau beramah-tamah, apalagi kepada orang yang belum dikenalnya dan Alfa begitu baik serta mudah bergaul kepada orang lain. Bibirnya mengurai senyum mengingat kenangan bagaimana dirinya memperlakukan Alfa dengan galak di awal-awal pertemuan mereka.
Tiara terkekeh sendiri dengan angan-angannya lalu membawa nampan berisi dua minuman itu beserta piring-piring kecil sebagai tempat cemilan yang dibawa Helmia.
******
“Kau tidak menunda bukan?” Baru satu sesapan teh dari cangkir yang dipegangnya, kemudian Helmia memulai percakapan.
“Menunda ... apa?” Tiara bertanya seiring dengan raut wajahnya yang benar-benar menunjukkan tanya, penasaran dengan arah pembicaraan.
“Menunda kehamilan," tukas Helmia singkat namun sukses membuat rona wajah Tiara memerah.
Tak menunggu jawaban dari menantunya, Helmia sibuk sendiri dengan kedua tangannya yang meraih tas jinjing yang ia bawa dan mengeluarkan begitu banyak kantung kertas berisi makanan serta beberapa kotak kecil dari sana.
“Ini. Mama bawakan banyak sekali aneka vitamin dan nutrisi penyubur kandungan. Mama ingin kamu sehat dan vitamin-vitamin ini sangat bagus untukmu," ucapnya.
“Oh ... ya ... terima kasih.” Tiara menerima kardus-kardus kecil di tangannya seolah dihakimi dengan kata-kata, Cepatlah hamil Tiara. Mamamu ini tak sabar menimang cucu. Begitu kira-kira yang hendak disampaikan oleh Helmia bila saja ia tak menyembunyikan segala urat malu yang membuat Tiara tak enak hati. Ia hanya mendengarkan sambil terus menimbang-nimbang dan membaca tulisan-tulisan kecil yang tertulis di sana.
“Mama juga punya kenalan dokter kandungan yang terkenal di kota ini. Dahulu Mama juga sering berkonsultasi dengannya ketika hamil.”
Tiara menatap kearah Helmia dengan tersenyum. “Iya Ma. Terima kasih banyak untuk semua ini.”
Tiara menghapus bersih ucapannya tadi yang mengatakan bahwa Alfa dan kedua orangtuanya tidaklah sama. Ternyata, meski mempunyai watak yang berbeda, anak dan mamanya ini sama-sama terburu-buru ingin segera Tiara mengandung dan memberi mereka keturunan. Ah ya. Alfa harus bekerja keras.
Terbayang begitu saja bagaimana Alfa memperlakukannya dengan sangat menyenangkan di bawah selimut ketika mengingat-ingat hal tersebut. Tiara mengerjapkan matanya. Mengusir jauh-jauh pikiran yang membuat darahnya berdesir tersebut, lalu berucap, “Apakah dahulu Alfa kecil pernah memiliki saudara kandung? Ah, maksudku, yang … yang pergi sebelum waktunya?” Tiara menjadi bingung sendiri karena tak menyangka akan menanyakan hal tersebut secara spontan kepada mertuanya. Alfa belum pernah bercerita apa-apa tentang hal ini padanya, sehingga pertanyaan tersebut memintas seketika.
“Ya. Ada. Kesemuanya meninggal dunia ketika masih berada dalam kandungan. Satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka berdua meninggal ketika usia kandungan Mama baru berjalan 6 bulan.” Helmia mendadak memperlihatkan wajah muram dan menerawang.
“Alfa sangat berarti untuk Mama. Dia satu-satunya penerus keluarga kami.” Helmia berhasil menguasai dirinya tanpa ada drama berkaca-kaca dan menangis lalu tersenyum dengan hangat ke arah Tiara.
“Kamu masih muda Tiara. Mungkin dulu Mama seperti itu karena telat menikah.” Wanita itu lalu mengambil kudapan yang ada di atas meja dan menyodorkannya ke arah Tiara. “Cobalah. Camilan sehat untukmu," tawarnya.
******
Di tengah aktivitas studio foto yang lalu lalang dengan begitu banyak orang, Alfa baru saja menyelesaikan Commercial Advertising Photographynya dan sedang menilik ke dalam komputer hasil kerjanya tadi sebelum melakukan editing. Menyunting foto mana saja yang bagus dan mana yang harus difoto ulang.
Masih ada satu lagi Fashion Photography yang harus ia kerjakan, dan ia harus segera menyelesaikannya sesuai dengan perintah divisi marketing perusahaan yang melakukan kontrak dengannya.
“Silakan minumannya.” Seorang wanita membawa nampan kecil dan menyerahkan segelas teh ke atas meja Alfa.
“Terima kasih.” Tanpa memperhatikan si empunya suara, Alfa langsung mengambil gelasnya dan merasakan kesejukan airnya yang dingin membasahi tenggorokan. Ia sangat mudah haus di tempat ini karena cuacanya yang panas dengan matahari yang bersinar dengan teriknya.
Perempuan itu berjalan di depan meja komputernya dan barulah Alfa memperhatikan dengan cermat wanita paruh baya dengan kemeja longgar berwarna khaki dengan tubuh sedikit kurus namun memperlihatkan perutnya yang sedikit menyembul.
Oh, ia sedang hamil?
Alfa menatap penuh pada aktivitas wanita itu di dalam ruangan, bagaimana ia bergerak dengan lincahnya dengan perutnya yang tak rata. Memperhatikan hal tersebut, Alfa sontak mengingat Tiara, membayangkan dalam imajinasinya, bagaimana nantinya jika istrinya itu hamil dengan perutnya yang membesar.
Lelaki itu mengembuskan napas kasar dan kembali menatap layar komputer. Tangannya menyentuh saku hendak mengambil ponsel lalu mendadak jengkel karena dilema, antara meneruskan pekerjaannya yang masih menggunung itu atau menghubungi Tiara.
Aarrgghh ...
Alfa mendengus kesal karena tak bisa memutuskan. Dengan cepat, akhirnya diambilnya ponsel yang ia sakukan di kantong bajunya lalu menghubungi wanitanya nan jauh di pulau seberang.
Entah aktivitas apa yang sedang dilakukan istrinya itu hingga suara dering telepon yang berdengung di telinganya itu terasa sangat lama.
“Tiara?” selorohnya ketika suara dering itu tak lagi terdengar sebagai tanda bahwa istrinya telah menjawab panggilan.
“Iya Alfa." Tiara baru menjawab teleponnya di dering ketiga.
“Sedang apa di rumah?”
“Mama baru saja datang. Aku sedang berbincang dengannya.”
“Oh ya?”
“Hendak mengatakan sesuatu pada Mama?” Tawar Tiara.
“Boleh.”
Terdengar suara gemerisik pertanda ponsel telah berpindah tangan.
“Alfa? Kapan kau pulang?” Tepat. Kata-kata Helmia ketika Alfa sedang bepergian dan menghubungi pertama kali terucap juga. Sepertinya tadi Alfa akan langsung menjawab saja sebelum ditanya, tetapi ia kalah cepat.
“Paling cepat kemungkinan nanti malam dan paling lama besok pagi aku baru akan tiba di rumah. Masih ada editing yang harus kuselesaikan," jawabnya.
“Kau jangan lupa membawa Tiara ke tempat Jeni saat pulang nanti. Mama sudah berpesan tadi pada istrimu kalau Mama sudah ada kenalan dokter kandungan.”
Alfa mengangkat sebelah alis mendengar mamanya yang tiba-tiba saja mengubah arah pembicaraan tanpa basa-basi. Namun, meski begitu dengan lugas ia menjawab, “Baik. Akan kuatur besok setelah aku tiba di rumah.”
“Ya. Mama tunggu kabar darimu.”
Hening sejenak. Sepertinya mamanya itu sudah mengakhiri pembicaraan dan menyerahkan kembali ponsel Tiara.
“Alfa?” Sapaan lembut Tiara nan merdu itu kembali menggaungi telinganya.
“Iya istriku. Aku tak sabar untuk pulang dan melihat spring bed di rumah," kelakarnya dengan penuh kelegaan yang membuat Tiara terkekeh karena mendengar kata-katanya yang menjurus itu.
“Begitu?" tanyanya dengan nada malu-malu kemudian mengembuskan napas dengan kelegaan yang sama, mengetahui bahwa suaminya itu tengah baik-baik saja. Ada rindu yang terasa dekat sekali dengan pemiliknya saat mendengar suara lelaki itu di telepon. “Ya. Aku paham. Kau pasti lelah dan ingin segera memberiku oleh-oleh tidur panjangmu di atas tempat tidur," candanya dengan langsung mengakhiri panggilan.
Alfa tersenyum masam karena Tiara tak memberi kesempatan padanya untuk semakin jail dengan memutus sambungan telepon begitu saja.
Ah, ia semakin rindu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Belinda Marchely
Hmmm, emaknye si Alfa lagi gue pantau, nih 🙄
2020-08-26
1
Kiki Miski 💞🍃
wahh baru beberapa hari menikah, mertuanya sdh lgsg minta cucu, seperti nya bakal berat cobaanya tiara 🤔🤔 semangat author bintang 💪😍
2020-06-26
1
Ghina
semangat kak😍
2020-06-14
1