Tiara tengah berpakaian rapi bersiap untuk berangkat bekerja pagi ini. Blazer warna pink pastel yang dikenakannya dengan rambut yang dibiarkan tergerai, sudah cukup untuk membuatnya terlihat cantik dan memesona. Ia berdiri di depan pintu besar yang terbuka lebar dan menyapukan pandangannya ke seisi ruangan yang sedang sibuk dengan hiruk pikuk orang-orang yang tengah menata ruang, berharap Alfa ada di sana.
Ia akan berangkat bekerja hari ini. Namun, sejak terbangun dari tidur tadi, Alfa sudah berpamitan untuk pergi ke rumah seberang, menata perlengkapan-perlengkapan yang sudah disiapkannya bersama rekan-rekan baru yang ditunjuknya. Tiara hendak menemui suaminya terlebih dahulu sebelum pergi.
Hampir tidak ada yang memperhatikan kedatangannya ke tempat itu, seperti saat ini. Semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka berpikir Tiara adalah tamu tak diundang yang datang sebelum waktu pameran dibuka. Sekilas pandang, Davian yang juga tengah berkutat dengan kertas-kertas yang menggunung itu memperhatikan Tiara yang tengah menengok ke sana kemari dengan canggung. Lelaki itu tersenyum, bangkit dari duduknya lalu datang mendekat berniat untuk menyapa wanita itu.
“Tiara." Davian berkata dengan senyum manis yang memperlihatkan lesung pipitnya.
“Oh. Davian? Kau ada di sini?” Tanyanya dengan kening berkerut penuh tanya.
“Alfa belum mengatakannya padamu? Tentu saja aku sekarang berada di sini, aku sekarang menjabat sebagai asistennya.” Lelaki itu berucap datar, tetapi, kata-katanya itu cukup menjadi kejutan untuk Tiara.
“Oh.” Dalam sepersekian detik, Tiara memandang lelaki itu dengan pikiran yang tengah berusaha keras untuk mencerna kata-kata Davian tadi. Davian membantu Alfa di sini? Bagaimana dengan pekerjaannya sebagai fotografer? Ah, sungguh Alfa keterlaluan. Ia tak akan lupa untuk membahas ini bersama Alfa sepulang bekerja. Bagaimana lelaki itu bisa sangat egois dengan menjadikan sahabatnya sendiri sebagai asisten?
“Dimana Alfa?” Lanjutnya, melupakan sejenak pertanyaan tak mengenakkan yang bergelut dalam otaknya.
“Ah, ya. Tentu kau datang kemari untuk mencarinya.” Davian mengatakannya dengan kecewa namun berhasil tak ditampakkannya dalam raut wajah. “Alfa sedang pergi bersama staf yang lain untuk mempersiapkan promosi. Kau akan berangkat bekerja bukan? Bagaimana jika kuantar?” Davian menawarkan dirinya dengan riang. Sungguh ia tak akan melewatkan sedetik saja waktu yang bisa ia gunakan untuk bisa lebih dekat dengan wanita itu. Ia merasa menang. Bukan tak mungkin ia bisa merebut perhatian Tiara dan betapa bahagia dirinya ketika waktunya tiba, ia bisa bergandengan tangan bersama Tiara sambil menengok ke belakang di mana Alfa tengah menangis memohon dan merasakan sakit, sakit yang ia rasakan sekarang, karena selalu dinomorduakan dalam segala hal. Namun, ia tak boleh bersenang hati terlebih dahulu. Ini barulah langkah awal. Jangan sampai karena terlalu lena dengan kesenangannya, ia menjadi teledor dan menggagalkan sendiri rencananya.
“Aku sekarang asistennya. Kau bahkan bisa menyuruhku untuk melakukan apa yang bisa kukerjakan untukmu. Aku akan mengantarmu Tiara. Alfa pasti akan senang kalau kau menuruti perintahnya untuk tak berangkat sendiri bukan?” Lagi-lagi Davian berkata santai namun berhasil membuat mata Tiara membelalak. Davian benar, tetapi, Tiara merasa tak enak hati jika harus memanfaatkan keberadaan lelaki itu untuk keperluan pribadinya, bukan urusan galeri.
Lelaki itu menyeringai mendapati Tiara dalam kebimbangan. Ia tak boleh gagal. Kali ini Davian akan melakukannya perlahan-lahan dan berhati-hati.
Tiara masih diam di tempatnya. Bingung dengan pilihan yang dibuatnya sendiri. Ia merasa tak enak hati jika harus pergi dengan lelaki lain sementara suaminya tidak ada. Bagaimana jika Davian ini ternyata berbohong? Sebab, walaupun pria di depannya ini adalah rekan yang sudah dianggap sahabat oleh suaminya, tetapi, ia tak begitu dekat dengannya. Dan dengan belum mengenal, ia berhak bukan untuk waspada?
Suara ponsel yang berbunyi dari tas Tiara berhasil menjadi penengah pembicaraan canggung itu. Dengan sigap, Tiara mengambil ponselnya lalu melangkah menjauh dari Davian, berjalan memunggungi lelaki itu hingga teras rumah.
Belum sempat menyapa, si empunya suara di seberang sana sudah memberondong dengan kalimat-kalimatnya. “Tiara? Kau ada di mana? Apa sudah berangkat bekerja? Maaf sekali aku ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan. Aku tak tega sebenarnya jika kau harus berangkat sendiri, tetapi, ada-”
“Alfa!” Ketusnya memotong kalimat yang hendak diucapkannya lagi. “Aku tak apa-apa. Aku bisa berangkat sendiri. Kenapa kau sampai khawatir seperti itu seolah-olah aku sedang berada di kota yang tak kukenal dan takut aku tersesat?” Tiara mencebik, nada suaranya terdengar kesal.
“Jangan!” Alfa menggeram.
Tiara mengembuskan napas panjangnya dan memutar polat matanya dengan lelah, mendadak luntur semangat yang tengah membara dalam jiwanya karena harus beradu mulut sepagi ini di detik ia akan berangkat bekerja. “Baik. Davian menawarkan untuk mengantarku. Apa aku boleh diantar olehnya?” Tiara akhirnya mengalah dalam nada suaranya yang terdengar rendah.
Alfa tak kunjung memberikan jawaban, tetapi, terdengar pula ia mengembuskan napas dengan kasar di seberang sana. Merasakan emosinya yang tersulut karena situasi tak menyenangkan ini. Lelaki itu sungguh tak rela jika Tiara berada dekat dengan lelaki lain meskipun itu adalah sahabatnya sendiri. Namun, tentu saja istrinya akan terlambat jika harus menunggunya hingga kembali pulang.
“Baiklah. Pergilah. Aku tak apa-apa.” Lelaki itu berucap dengan lemah setelah beberapa detik kemudian ada suara lelaki yang mengajaknya bicara di seberang sana dan Alfa pun berpamitan untuk mengakhiri telepon. “Sampai jumpa di rumah sayang. Maafkan aku," ucapnya perlahan.
“Ya. Aku berangkat.” Tiara dengan malas menaruh kembali ponsel ke dalam tas lalu membalikkan badan dan melihat Davian masih setia berdiri di tempatnya.
Oh Tuhan, Ia pasti mendengar adegan keributan via telepon yang Tiara lakukan tadi. Dengan sedikit canggung dan malu luar biasa, Tiara akhirnya melangkah mendekat kembali ke tempat Davian berdiri.
“Maaf harus merepotkanmu pagi ini, tetapi, masih bisakah kuambil tawaranmu tadi untuk mengantarku berangkat?” Wajah merah Tiara tak bisa disembunyikan lagi.
Davian menahan ekspresi gelinya sekuat tenaga, untungnya, tawa kecilnya tak sampai terlihat dan terdengar hingga membuat Tiara bertambah tak enak hati.
“Tentu saja Tiara. Jangan sungkan kepadaku.” Davian lalu berjalan ke depan hendak menuju mobilnya yang terparkir di teras. “Ayo kita berangkat," ucapnya lagi ketika wanita itu tak jua melangkahkan kaki.
Tiara menganggukkan kepala lalu melangkah mengikuti Davian.
******
Alfa tengah berada di salah satu Gedung pencakar langit yang ada di seberang kota. Melangkah di lorong-lorong ruang yang panjang untuk bertemu dengan direktur perusahaan yang akan menjadi sponsor acara pameran seninya bulan depan. Diikuti Leon, anak laki-laki muda yang menjadi staf baru di panitia pamerannya.
Tiba di depan meja resepsionis, Alfa berhenti di sana dan menunjukkan kartu kunjungan, kemudian duduk di sofa ruang tunggu yang tersedia di sana. Ia merasa bersalah telah mengabaikan Tiara pagi ini hingga harus merelakan istrinya diantar oleh Davian untuk berangkat ke tempat kerja. Namun, janji pertemuan mendadak dengan bagian marketing perusahaan ini tidak bisa ditolaknya pun tak bisa diwakilkan, hingga ia harus berangkat di pagi buta agar sampai tepat waktu di tempat ini.
“Bapak Alfa?” Salah satu pegawai resepsionis menyapa. “Silakan sudah ditunggu di ruangan.” Mempersilakan dengan gerakan tangan.
“Terima kasih.” Alfa berdiri bersamaan dengan Leon yang berjalan mensejajarinya.
******
“Mengapa kau tak bekerja di tempat ayahmu saja? Hingga tak perlu berlelah-lelah seperti ini datang ke sana kemari meminta sponsor.” Pria tua dengan badan gembul itu berucap dengan nada santai dan akrab. Tak perlu dengan sikap formal seperti kepada yang lainnya karena ia sangat mengenal sosok ayah Alfa. Direktur Pemasaran – Gani Handoko. Nama yang terbaca oleh Alfa tadi begitu ia memasuki ruangan.
“Aku hanya ingin mencoba sesuatunya dari masa sulit, sehingga kemudian aku bisa merasakan waktu bahagiaku dengan senang hati. Jika aku sudah bergantung pada orang tuaku mulai dari masa mudaku, mungkin aku akan kesulitan ketika aku tak punya pegangan lagi di masa tua ketika mereka tak ada. Kau tentu tahu itu sebagai seorang senior yang telah lama berkutat dengan hal seperti ini.” Alfa berucap tak kalah santai dengan dagu terangkat penuh bangga.
Gani bertepuk tangan dengan penuh pujian di hadapan Alfa. “Wah ... wah, tak kusangka kau lebih hebat dari ayahmu.” Lelaki itu menganggukkan kepala menyetujui perkataannya sendiri. “Baik. Akan kuberi tahu nanti. Perusahaan ini tentu akan menyumbang banyak untuk acara pameran putra tunggal Perusahaan Yunus.”
“Ini acaraku sendiri dan tidak ada kaitannya dengan ayahku. Jadi, aku sama sekali tak meminta keistimewaan apa-apa dalam hal ini.” Alfa mulai kesal karena urusannya akan selalu membawa nama besar ayahnya. Buruknya, ia selalu dianggap mencari muka dan sedang merendahkan diri untuk meninggikan kualitas dirinya dihadapan orang lain. Padahal, Alfa sendiri sudah berusaha untuk tak menyenggol orang-orang terdekat atau rekan bisnis yang mengenal ayahnya.
“Oh tentu saja tidak. Aku memberi besar karena aku juga akan mendapat sesuatu yang besar. Kau fotografer terkenal dan pelukis yang dikenal banyak orang. Tentu aku menghargai karyamu," ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.
“Baiklah terima kasih atas kerja samanya. Kita akan berjumpa lain waktu.” Alfa berdiri dari duduknya lalu mengulurkan tangan dan disambut dengan senang hati oleh Gani.
Tanpa menunggu lama, Alfa beserta Leon keluar ruangan dengan perasaan sedikit lega.
Satu urusan mereka terselesaikan.
******
Tiara hanya terdiam di dalam mobil dan menjawab seperlunya pertanyaan-pertanyaan ringan yang Davian utarakan. Bagaimanapun, lelaki yang sok akrab dengan dirinya itu belum lama dikenalnya, sehingga ia pun tak perlu untuk mengakrabkan diri lebih jauh seperti keakraban yang telah terjalin antara Davian dengan Alfa. Mungkin saja Davian bersikap santai karena Tiara adalah istri temannya, sehingga ia tak merasa canggung.
Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dengan waktu singkat terasa lama bagi Tiara. Kondisi lalu lintas yang padat merayap di jam berangkat kerja membuat mereka harus bersabar dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam.
“Apa Alfa sering galak kepadamu?” Davian menolehkan kepala ke arah Tiara sejenak lalu kembali fokus ke depan.
“Tidak. Alfa ... lelaki penyabar.” Tiara tersenyum kaku dan sama sekali tak berminat untuk memandang ke arah pria di sebelahnya.
Davian mendesah. Ia sangat iri pada Alfa. Bagaimana caranya rekannya itu melunakkan Tiara yang judes seperti ini. Oh, sungguh Davian ingin sekali menikmati waktu berlama-lama berdua dengan Tiara. Namun, ucapan wanita itu selanjutnya memupus harapannya, ketika tanpa sadar, mereka telah tiba di depan gerbang perusahaan Tiara.
“Terima masih.” Tiara menoleh sebentar ke Davian yang masih duduk tenang di belakang kemudinya lalu keluar dan menutup pintu.
Lelaki itu hanya mengangguk singkat sebagai jawaban dengan senyum masam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments