Tiara berjalan menuruni tangga depan rumahnya. Menyusul Alfa yang tengah berdiri di belakang gerbang. Tubuhnya lebih segar sekarang setelah hampir menghabiskan waktu tiga puluh menit berendam dalam bathtub. Baru empat puluh lima menit yang lalu Tiara tiba di rumah sepulang dari bekerja. Namun, warna jingga keemasan di ujung barat ternyata telah menyambutnya, pertanda waktu yang akan berganti malam sebentar lagi. Wanita itu bekerja ekstra waktu hari ini. Biasanya pada pukul dua siang, Tiara telah tiba di rumah dan beristirahat.
Alfa menoleh sejenak ke arah Tiara. Menatap betapa berkilaunya istrinya itu yang turut terkena cahaya senja. Rambut cokelat keemasan yang menghias di kepalanya membuatnya nampak semakin menawan.
“Sedang menunggu seseorang?” Tiara memperhatikan suaminya yang tak berkedip sedari tadi menatap entah apa ke depan. Dua tangan ia sakukan ke kantong celana dan tubuh tegapnya itu … mengapa terlihat begitu memesona di mata Tiara? Ah, ya. Hanya dia bukan yang berhak berkata seperti itu karena Alfa adalah suaminya. Tetapi mengapa Alfa malah sekarang berdiri di sini, di pinggir jalan depan rumahnya seolah sedang memamerkan pesonanya kepada siapa saja yang melihat?
“Tidak," jawabnya singkat.
“Apa baru saja ada seseorang yang datang?” Tiara menanyakan lagi karena Alfa sama sekali tak memperhatikannya dan seperti tak berniat menjelaskan apapun.
“Tidak sayang.” Lelaki itu akhirnya merangkul Tiara dengan senyum hangatnya. “Kau lihat bangunan yang ada tepat di seberang?” Alfa mengacungkan tangannya ke depan diikuti arah pandang Tiara yang mengekor ke sana.
“Rumah bercat putih itu? Iya. Ada apa?” Tiara mengerutkan kening.
“Aku sudah membelinya," ucapnya dengan nada bangga yang menguar.
“Membeli? Kau membeli rumah lagi? Ah, tolong jelaskan padaku agar aku tak terlalu banyak bertanya," ketus Tiara dengan ekspresi judesnya yang mulai terlihat. Alfa terkekeh.
“Aku mencari bangunan rumah yang bisa kutempati sebagai gallery. Kau tahu? Aku sudah terlalu banyak melukis dan ingin merumahkan sendiri lukisanku. Ya. Kurasa lebih baik, aku juga bisa menampilkan hasil jepretan kameraku di sana. Besok kita lihat," ujarnya sambil sesekali menolehkan kepala ke arah istrinya yang hanya manggut-manggut saja menanggapi ucapannya.
“Mengapa kau tak memberi tahuku sebelumnya? Apa kau sudah mempersiapkan semuanya?” Wanita itu bertanya lagi.
Alfa menggelengkan kepala. “Belum apa-apa. Aku sedang mencari seorang asisten untuk membantuku mengurus segalanya, seorang laki-laki yang tangkas dan mau bekerja keras. Tetapi entah kenapa begitu banyak pelamar perempuan yang mendaftar, padahal, aku tak mau ada wanita lain yang dekat-dekat denganku. Oleh karena itu, bagaimana jika kau saja yang menjadi asistenku? Aku tak perlu sungkan-sungkan lagi untuk dekat dengan asistenku seperti ini.” Alfa mulai menggoda dan menghadapkan tubuhnya pada Tiara. Menarik pinggang wanita itu untuk mendekat erat ke tubuhnya. Memompa degup jantung menjadi semakin cepat.
Perempuan itu mulai merasakan ada gelenyar yang mulai merambat ke punggungnya. Namun kali ini, lebih ke rasa malu yang semakin memerah di pipinya, mengingat mereka sedang berada di tempat terbuka saat ini.
“Tetapi sayangnya aku menolak.” Tiara tersenyum miring dengan nada ejekan.
Alfa mengangkat kedua alisnya meminta jawaban. “Apakah itu akan menambah beban pekerjaanmu?” Laki-laki itu tersenyum masam.
Oh, sungguh Tiara tak tahu apa yang sedang dipikirkan lelaki ini. Ia bahkan tak tahu apakah Alfa sedang mencandainya atau benar-benar bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
“Tak usah kau pikirkan Tiara.” Alfa melepaskan pelukannya dan kembali menghadap ke arah depan, masih dengan senyum misteriusnya. “Aku tentu tak setega itu menyuruh kau bekerja. Aku bahkan sangat ingin kau duduk manis saja di rumah dan menikmati hidupmu sebagai istriku.” Lelaki itu menatap tajam, tetapi dengan ekspresi lembut. “Aku tidak sedang menampilkan diriku sebagai orang kaya yang arogan. Aku ingin kau menyaksikan bagaimana aku bekerja keras untukmu.”
"Tentu saja. Lelakiku harus hebat." Tiara tersenyum lalu turut serta menikmati pemandangan senja di depan mereka dan menyandarkan kepala ke dada bidang lelaki itu
Rumah tepat di depan seberang jalan rumah mereka itu bercat putih bersih, dengan tanaman-tanaman hijau di pot-pot yang tumbuh subur serta daun-daun yang merambat di pilar-pilar kecilnya. Pintu depan rumah itu terbuat dari dua pintu kaca besar yang tak tertembus karena tertutup dengan kelambu dengan warna putih pula. Halaman depan nampak sedikit luas dan tertata rapi dengan taman-taman kecil di sudutnya. Dinding pembatas dihias menyerupai dinding lereng dengan rumpu-rumput kecil yang tersebar pada beberapa tempat. Membuatnya tampak alami namun elegan.
Tiara pun tersenyum sendiri ketika menyadari bahwa bangunan rumah di depan mereka sangatlah sesuai dengan seleranya.
"Kau suka?" Alfa memiringkan kepalanya.
"Ya. Rumah itu cocok dengan seleraku dan sesuai dengan karaktermu." Tiara mengangguk-angguk menyetujui ucapannya sendiri.
"Tapi, bagaimana rumah itu bisa nampak terawat padahal tak ditinggali?" Tiara mengangkat kedua alisnya.
"Pemiliknya melakukan pembersihan berkala setiap dua minggu sekali." Alfa memandangi Tiara lalu mendaratkan bibirnya di pelipis istrinya. "Kau penasaran? Tapi kusarankan besok saja kita ke sana, aku tak mau kau peluk terus menerus karena kau takut gelap." Alfa merenges. Tiara mencubit pelan tangan kiri suaminya dengan gemas.
******
"Bagaimana? Aku diterima bukan?" Davian tersenyum penuh percaya diri.
"Apa kau sungguh-sungguh dengan niatmu? Aku tak mau pekerjaan kita saling berantakan bersamaan karena ini. Dan sekarang kau mau membantuku mengurus gallery? Jika kau membantuku mencari orang saja untuk bekerja padaku, maka aku baru akan berterima kasih." Alfa mengabaikan senyum yang terus menerus tersungging di wajah sahabatnya itu.
"Ah kau. Kau tetap tak bisa menolakku sebelum tahu bagaimana aku bekerja."
Alfa tak habis pikir. Apa yang sebenarnya Davian mau. Lelaki itu sangat bersikeras untuk membantu mengurus gallery barunya, padahal kesibukan mereka sama. Dan tujuan Alfa mencari orang yang dapat membantunya tentu saja karena dia harus bisa menyelesaikan semua urusannya tanpa terkendala pembagian waktu.
Alfa mengerjapkan matanya mengusir kepusingan yang mendadak melandanya. Tentu saja ia tak mau menolak peluang ini bukan? Bagaimanapun Davian sahabatnya yang sudah ia kenal dengan waktu yang cukup lama. Anggaplah ini solidaritas Davian karena sudah mau mengerti dengan keadaannya. Mungkin ini lebih baik daripada harus merekrut orang baru yang akan memerlukan waktu lebih lama untuk saling mengenal. Walau tak menutup kemungkinan, Alfa akan lebih banyak lagi meng-hire beberapa orang lagi sebagai panitia untuk pembukaan galerinya.
"Baiklah." Dengan tatapan tak bersemangat akhirnya Alfa menyetujui permintaan Davian untuk menjadi asistennya. Tak mau berlama-lama berdebat dengan rekannya yang jago bersilat itu. "Aku percaya padamu. Jadi jangan kecewakan aku." Lelaki itu menatap kembali dengan ekspresi bersungguh-sungguh lalu menyesap tegukan kopi terakhirnya yang masih sedikit hangat.
"Aku bisa sedikit mengesampingkan dulu Blueict untuk membantumu."
Alfa menolehkan kepala dengan cepat.
"Gila kau." Alfa sedikit membanting gelas yang dipegangnya sebelum berucap, "Aku pulang terlebih dulu, besok kita bertemu untuk membahas kelanjutan apa yang harus dikerjakan. Oke asisten?" Ucapnya dengan nada mengejek diselai senyum miring mencandai Davian.
"Oke Bos." Davian mengacungkan jempol sebagai tanda persetujuan.
Tanpa menunggu lama, Alfa segera berjalan menuju pintu keluar cafe tempat mereka bertemu ini.
Setelah tak nampak lagi Alfa di pelupuk matanya, seringaian licik mulai terkembang di sana.
Bodohnya kau Gheo Alfa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments