Pendarahan di lengan Chalodra semakin deras saat menuju rumah sakit. Hendery memeluk erat tubuh istrinya yang terkulai lemas di pangkuannya. Tidak ada suara sirine, sebab mereka menaiki mobil Hendery, dengan Taka yang menyetir.
Mata Hendery yang memerah masih ada, dia merasakan benci pada Anggara, yang menembak putrinya sendiri, meski tidak sengaja. Hendery sesekali membelai pipi mulus Chalodra, menatap Chalodra yang tertidur dengan pulas. Ah, bukan tidur tapi pingsan.
Chalodra langsung dibawa ke ruang UGD. Seorang perawat menghentikan Hendery saat laki-laki itu ingin masuk. "Maaf, Bapak dilarang masuk. Silakan tunggu di luar!" Setelah itu, perawat itu masuk.
Kaki panjang Hendery seakan kehilangan tulang, tubuhnya ambruk ke lantai membuat Taka memeluknya dari samping. "Kak," panggil Taka lirih.
Air mata Hendery tidak berhenti meneteskan kepedihan. Napasnya tersengal-sengal karena sudah terisak. "Aku lemah jika sudah seperti ini," kata Hendery.
Taka mengangguk paham, memang kakaknya sangat lemah melihat perempuan yang mengeluarkan darah, sebab sering melihat sang ibu menangis karena terluka. Tidak tahu karena apa. "Kita duduk dan doakan Kak Chalodra, ya?"
Taka menuntun Hendery ke kursi dekat ruang UGD. Sebagai seorang anak bungsu, Hendery merupakan orang terpenting di hidup Taka, yang kedua adalah Tivani, kakak perempuannya. Melihat Hendery yang seperti itu, Taka menjadi iba.
Pintu itu masih belum terbuka, menandakan dokter bersama perawat masih menangani Chalodra. Hingga Anggara datang bersama Ratu. Hendery menyambut dengan tidak suka dengan kedatangan Anggara, mengingat dia penyebab ini semua.
"Bagaimana keadaan Chalodra?" tanya Ratu pada Hendery.
"Apa kau tidak bisa melihat? Chalodra masih ditangani dokter," jawab Hendery tanpa menatap netra Ratu sedikit pun.
Ratu menghela napas panjang, mengerti bahwa Hendery sama terpukulnya seperti dirinya. Ratu memilih duduk di samping Taka, lalu menenggelamkan wajahnya di lipatan telapak tangannya. Sedangkan Anggara hanya berdiam diri di kursi yang berjarak dengan yang lain, dengan sorot mata penuh penyesalan.
Lagi dan lagi, ketika Hendery mengangkat pandangannya, pintu masih tertutup, membuat dirinya menghembuskan napas panjang.
"Kak, sabar sebentar, ya?" ujar Taka melihat Hendery. Hendery itu hanya mengangguk singkat.
Lama, sekitar setengah jam dokter baru keluar dengan binar di matanya, membuat mereka berdiri menghampiri dokter. Berharap, mendapatkan kabar baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dokter Hiro?" tanya Hendery.
Dokter Hiro, kenalan Hendery saat dirinya pernah dirawat dokter itu, semasa mengalami depresi berat. Dokter Hiro tersenyum lebar. "Pendarahannya lumayan hebat dan luka tembakannya juga dalam. Beruntung, kami bisa mengambil pelurunya dan menghentikan pendarahannya," jelas Dokter Hiro.
Hendery menghembuskan napas panjang, jantung yang berdebar sekarang sudah berdetak santai. Sama seperti Taka dan Ratu. Anggara di belakang mereka, menundukkan kepala dalam, akan meminta maaf pada Chalodra.
"Karena operasinya sudah selesai, bisa dipindahkan di ruang rawat. Tapi, istri kamu masih belum sadarkan diri," sambung Dokter Hiro.
"Terima kasih, Dokter!" ujar Hendery.
"Administrasinya bisa dilakukan segera, juga untuk memilih ruang inap." Mendapat anggukan dari semua, Dokter Hiro melenggang pergi seraya melepaskan sarung tangan.
Hendery kembali menghembuskan napas panjang, Taka menepuk pundaknya membuat Hendery mendongak. "Aku urus pembayarannya dulu, ya?" ucap Taka.
"Ruang inapnya, VIP, ya!" pinta Hendery dengan senyum tipisnya. Taka mengangguk, lalu melenggang meninggalkan Hendery.
Sebelum pergi, Taka mengentikan langkah di samping Anggara. "Lebih baik Anda pergi sekarang. Emosi Kak Hendery sedang tidak stabil. Jika memaksa, Anda tahu akibatnya," kata Taka.
Anggara mengangguk paham, Taka kembali melangkahkan kakinya. Benar juga kata Taka, lebih baik dirinya kembali besok pagi.
Brankar itu membawa Chalodra yang tak sadarkan diri menuju lantai atas dengan sebuah lift. Hendery mengikuti langkah mereka, sambil sesekali mengulas senyum melihat istrinya.
Lengan kiri Chalodra telah diperban. Perempuan itu masih belum sadar. Selimut rumah sakit menutupi tubuh Chalodra hingga perut. Chalodra mengenakan baju khusus dengan lengan pendek. Pandangan Hendery tidak lepas dari istrinya.
Hendery menarik napas dalam, lalu dihembuskannya perlahan. "Cha, bangun!" pintanya dengan suara berat yang begitu pelan. Tangannya menggenggam erat telapak kanan Chalodra. Sekarang, hanya ada dirinya dan Chalodra, berdua.
Ratu tadi berpamitan pulang, akan kembali besok pagi. Taka juga berpamitan pulang setelah mengurus administrasi. Anggara? Dia tidak ingin membuat ribut dan memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan.
Malam hari begitu menusuk tulang Hendery. Berkali-kali dia menguap, merasakan kantuk. Saat hendak menyandarkan kepalanya di tangan Chalodra, jemari yang diganggam Hendery bergerak mengelus dengan lembut. Hendery melihat Chalodra yang masih tertidur pulas. "Cha?" panggilnya untuk memastikan.
Hendery mendekat, mengamati pergerakan di wajah Chalodra. Bola mata yang tertutupi kelopak terlihat bergerak. Bibir Chalodra seakan mendesis. Hingga, Chalodra membuka mata perlahan dan mendapati cahaya teras.
Kepalanya terasa berat dan tangan yang perih. Chalodra membuka mata, ruangan putih dan lampu menyala. Chalodra mendapati Hendery yang tersenyum tipis ke arahnya. Chalodra bisa melihat, manik Hendery berkaca-kaca. "Mas," lirih Chalodra.
"Cha, kamu sudah siuman?" Terasa berada di hamparan bunga, Hendery merasakan dirinya terbang ke awan.
"Aku gak apa-apa kok, Mas."
"Kamu lapar? Mau makan?" tawar Hendery beranjak, membuka pintu nakas. Dia mengeluarkan sebuah kotak berisi bubur, yang diberikan pihak rumah sakit tadi.
"Aku lapar. Dari tadi belum makan." Chalodra mengerucutkan bibirnya, membuat Hendery dengan semangat menyuapi Chalodra.
Sedikit demi sedikit, bubur di mangkok itu habis. Hendery memberikan segelas air, lalu Chalodra meminumnya hingga habis. Hendery tersenyum senang melihat Chalodra kenyang.
"Mas, dingin," ucap Chalodra pada Hendery.
Hendery berdiri, mengambil remote AC di atas nakas. "Aku matikan."
"Sudah tidak dingin?" tanya Hendery. Chalodra menggeleng. Hendery kembali duduk, sambil menatap Chalodra dalam. "Kamu tidur lagi, ya!" pintanya.
Chalodra mengangguk. Sebelum pergi, Hendery memberikan ciuman hangat di kening Chalodra, lalu membaringkan tubuhnya di sofa panjang, di sudut ruangan.
Chalodra memejamkan matanya, setelah makan dan kenyang, rasa kantuk itu datang. Apalagi dirinya habis minum obat. Padahal Chalodra tidak sadarkan diri hampir dua jam. Namun, hawa dingin kembali menusuk, membuat bulu tubuhnya berdiri.
Chalodra membuka mata, mengedarkan mata. Terlihat Hendery memejamkan mata di sebelah sana. Chalodra beralih, pada kaca yang mengarah di luar ruangan. Sekelebat bayangan hitam sukses membuat Chalodra berteriak. "MAS!"
Hendery langsung terbangun, lalu menghampiri Chalodra. "Ada apa, Cha?" tanya Hendery khawatir melihat pundak Chalodra naik turun.
"Hantu," ucap Chalodra, dengan sembunyi-sembunyi menunjuk jendela.
Jendela itu terbuat dari kaca yang tidak bisa dilihat dari luar. Ada tirai biru, yang sedikit terbuka. Hendery berjalan untuk menutupnya, lalu kembali memeluk Chalodra.
Tubuh Chalodra bergetar hebat. Sungguh! Dirinya melihat bayangan hitam itu. Napas Chalodra memburu, dia menyembunyikan wajahnya di dalam dekapan hangat Hendery. Tercium bau wangi dari tubuh suaminya itu.
Hendery mengelus lembut rambut Chalodra. "Mungkin, ini karena obatnya, Cha. Kamu jadi halusinasi," kata Hendery untuk menenangkan Chalodra. Dia melepaskan pelukan itu, menangkup pipi Chalodra. "Sekarang tidur!" Hendery melangkah, tangannya ditahan Chalodra.
"Takut," ucap Chalodra. Wajahnya terlihat begitu ketakutan, apa benar itu hantu. "Temani tidur!"
"Cha, ini tidak sedang di rumah. Tempat tidurnya kecil," jawab Hendery menolak. "Nanti terkena luka kamu, bagaimana?"
"Sudah tidak sakit. Temani tidur, Mas! Di sebelah kanan, supaya tidak terkena tanganku!".
"Cha ...."
Belum selesai Hendery berucap, Chalodra memotongnya. Perempuan imut itu menggembungkan pipinya. "Dingin, Chalodra butuh pelukan!"
Sekarang, Hendery yang terkejut seperti melihat hantu. Sebenarnya, laki-laki itu tidak merasa keberatan, apalagi saat hawa dingin seperti ini. "Oke."
Chalodra bertepuk tangan kecil. "Geser!" pinta Hendery. Chalodra sedikit bergeser, memberikan ruang untuk Hendery. Chalodra itu kuat, dia tidak merasakan nyeri sedikit pun di lengannya.
"Peluk!" Chalodra membuka mimik wajah lucu, membuat gengsi Hendery hilang.
Hendery membawa tubuh kecil Chalodra ke dalam dekapannya, memberi kehangatan di tengah hawa dingin ini. Chalodra merasakan benda berada di atas kepalanya. Hendery mencium pucuk kening Chalodra dengan sangat lama.
Keduanya perlahan memejamkan mata dan saling memeluk dengan erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments