Hari-hari Chalodra tidak lepas dari kata bosan. Perempuan berambut panjang itu berulang kali menghembuskan napas berat. Chalodra membiarkan angin menerpa wajahnya, sinar matahari membuat matanya sedikit menyipit. Chalodra tengah berdiri di balkon.
Chalodra berjongkok, memainkan bunga mawar putih yang semalam dibeli Hendery untuk dirinya. Setidaknya, Chalodra punya teman sekarang. Apalagi handphonenya berada di tangan suaminya. Tubuh Chalodra memang hidup, tetapi tidak dengan jiwanya.
Rasanya Chalodra ingin lompat dari atas sini sekarang juga, lalu berlari jauh dari kediaman Hendery. Cinta? Bahkan Chalodra tidak merasakan itu meski sudah menikah hampir tiga bulan. Memang, Chalodra sudah menjadi milik Hendery, tetapi tidak dengan hatinya.
"Egry, Atha kangen," gumam Chalodra. Sorot matanya penuh luka, laki-laki itu selalu diingatnya setiap saat. Hanya Egry, yang mengerti perasaannya.
Laki-laki yang menjadi kekasihnya sejak menduduki bangku SMA, hingga memasuki dunia perkuliahan pun masih menjalin hubungan. Cinta pertama Chalodra dan Chalodra cinta pertama Egry. Mereka bahkan tidak pernah bertengkar melebihi 24 jam. Egry sangat mengerti perasaannya.
Chalodra menegakkan tubuhnya, kembali melihat jalan di samping rumah Hendery. Namun, seorang laki-laki yang sangat dirindukannya melintas. Chalodra membulatkan mata. "EGRY!" teriak Chalodra memanggil.
Tidak mungkin Egry tidak mendengar teriakan Chalodra yang keras. Chalodra melambaikan tangan tinggi-tinggi ketika melihat Egry mendongak ke atas. "INI ATHA!"
Namun, Egry berlari memasuki mobil hitam yang terparkir. Laki-laki itu seakan tidak mengenal Chalodra. Raut wajah Egry yang ketakutan membuat Chalodra berpikir keras. Kenapa dia kabur dari kekasihnya?
"Egry? Itu kamu." Chalodra menggelengkan kepala, ternyata memang sudah tidak ada yang peduli dengannya. "Kamu sudah tidak sayang aku, Egry." Tubuh Chalodra meluruh ke bawah, bertumpu dengan pagar besi.
Chalodra terduduk di lantai dengan air matanya yang menetes deras. "Ini aku-Atha. Kenapa kamu pergi?"
Chalodra menangis tersedu meratapi nasibnya. Matanya sudah memerah karena tangisnya. Hidung Chalodra seperti badut. Chalodra menenggelamkan wajahnya di sela kaki yang dilipatnya. "Atha gak suka di sini, Egry."
"Chalodra mau pergi."
"CHA!" Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu di buka dengan kasar. Hendery, membuat Chalodra bergegas menghapus sisa air matanya. Chalodra berdiri menghampiri laki-laki itu.
"Mas?" Chalodra memanggil Hendery yang seperti ketakutan itu. "Kenapa?" Hendery memeluk Chalodra erat. Chalodra mendengar jelas detak jantung suaminya itu berdebar hebat. "Mas, kamu kenapa?" tanya Chalodra lagi.
Hendery tidak menjawab, dia menangkup kedua pipi Chalodra. Menyorot perempuan di hadapannya itu dengan khawatir. "Kamu gak kenapa-kenapa kan, Cha?" Suara Hendery terdengar berat dan bergetar. Chalodra menggeleng cepat, lalu meraba wajah suaminya.
Kenapa Hendery seperti dikejar jutaan luka? Dan wajahnya dipenuhi lebam kebiruan. "Mas bertengkar sama siapa?" tanya Chalodra.
Hendery baru ingat, dirinya baru saja adu fisik dengan seseorang. "Luka kecil," balas Hendery. Dia menjauhkan diri dari Chalodra, berjalan ke balkon. Terlihat Hendery mengedarkan pandangan mencari sesuatu.
Semalaman laki-laki itu tidak pulang, karena marah dengan Chalodra. Namun, kemarahan Hendery kepada Chalodra tidak bisa bertahan lama, mengingat ada orang yang ingin membunuh Chalodra.
Tadi, rumahnya terdapat penyusup. Anak buah Hendery yang berjaga pingsan karena menghirup gas tidur. Beruntung, Hendery melihat orang itu dan lengsung menghajarnya, tetapi lawannya memiliki ilmu bela diri melebihi dirinya, membuat Hendery terjatuh.
"Mas," panggil Chalodra sambil menepuk pundak Hendery. "Aku kompres lukanya, ya?" Melihat sorot khawatir di netra Chalodra, Hendery mengangguk.
Chalodra berlari ke dalam, mengambil handuk kecil dari almari, lalu berjalan ke kamar mandi. Chalodra kembali menghampiri Hendery yang sudah duduk di tempat tidur. Dengan lembut, Chalodra mengusap luka suaminya.
Lebam di sudut mata Hendery terlihat begitu menyakitkan di mata Chalodra, tetapi saat Chalodra menyentuhnya, Hendery sama sekali tidak mendesis atau sekadar mengadu kesakitan. Laki-laki itu tetap pada wajah datarnya.
"Mas, tidak perih?" tanya Chalodra.
Hendery menggeleng singkat. Merasa kesal, Chalodra mencoba melayangkan pukulan pada luka di bagian pipi. Hendery memekik, "****!" Chalodra tersentak kaget. "Apa-apaan kamu, Cha?!" tegur Hendery.
"Maaf, kata kamu tidak sakit," ucap Chalodra seraya menunduk. Chalodra menyembunyikan wajah ketakutannya dari amukan Hendery. Ekspresi Hendery menakutkan.
"Lagian, yang namanya luka itu sakit, Cha," tutur Hendery.
Chalodra mengangkat pandangannya. "Tapi, tadi Mas biasa saja."
"Karena ada kamu, apapun itu rasanya manis."
Chalodra membulatkan matanya. Itu tadi sebuah rayuan? "Mas, tadi kamu?"
"Iya, Cha. Meski sakit, kalau ada kamu sakitnya tidak terasa." Hendery mengulas senyum tipis. Membelai lembut pipi Chalodra.
Seperti dikejar hantu, Chalodra merinding merasakan sentuhan Hendery.
Plak
Handuk basah itu sengaja dilempar Chalodra hingga menutupi wajah Hendery. Mungkin, Hendery akan menciumnya detik itu juga karena dia lupa, pintu kamar belum ditutup.
Hendery sontak terkejut dan menegakkan tubuhnya. "Kenapa, Cha?"
"Mas, pintunya," ucap Chalodra masih menunduk.
Hendery melihat pintu itu yang terbuka lebar. Hendery menghela napas gusar, bagaimana bisa dirinya lupa. "Tunggu di sini! Jangan keluar! Mas mau pergi sebentar," cetus Hendery.
Chalodra mengangguk membuat Hendery melangkahkan kaki keluar kamar, tidak lupa menutup pintu agar wanitanya aman.
.....
Chalodra melangkah keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya, yang basah setelah keramas tadi. Akhir-akhir ini, dirinya sering merasakan berat di kepalanya, terlalu banyak hal yang dipikirkan olehnya.
Chalodra mendudukkan tubuhnya di sofa setelah merapikan rambutnya. Tangan kananya meraih remote televisi yang berada di sampingnya. Chalodra pun menyalakan layar gelap itu. Aneh, dia melewati drama dan lebih memilih film kartun.
Chalodra tidak mau tertinggal Naruto yang sekarang tayang dengan season dua, meski Chalodra sudah menonton hampir semua episodenya. Ketampanan Kakashi membuat Chalodra tidak pernah bosan. Bahkan dulu Chalodra berlari seperti Naruto.
Chalodra mendengus kesal, tiba-tiba saja perutnya keroncongan. Cacing-cacing di dalamnya seakan menjerit minta makan. Chalodra memegangi lambungnya yang terasa panas. "Mas Hendery mana, sih?!" cetusnya kesal.
Chalodra melempar remote yang dipegangnya ke sembarang tempat. Untung saja tidak pecah. Chalodra mengambilnya kembali dan mematikan televisi. Chalodra melangkahkan kaki dengan kesal ke arah pintu, lalu mengetuknya, berharap ada yang lewat.
Tok tok tok
"Tolong!" Chalodra sengaja membuat suaranya terdengar seperti orang yang disiksa. "Tolong!"
Bi Aya melotot mendengarnya, dia baru saja dari membersihkan kaca di lantai dua. Bi Aya segera membukanya dengan kunci cadangan yang dibawanya. Hendery memberikannya pada orang kepercayaannya.
Bi Aya bergerak cepat membuka pintu. "Non Chalodra kenapa?" tanya Bi Aya dengan wajah khawatir. Sedangkan Chalodra hanya tersenyum lebar.
"Bi, Chalodra lapar," ujar Chalodra. Wajah melas Chalodra membuat Bi Aya menghembuskan napas panjang.
Bi Aya menggelengkan kepala. "Bibi kira ada apa."
"Chalodra lapar," tukas Chalodra.
"Bukannya dua jam yang lalu sudah makan siang?" tanya Bi Aya mengerutkan dahi.
Chalodra menautkan kedua alisnya, dia baru ingat dua jam yang lalu dirinya makan nasi lauk ayam goreng. "Tapi, Chalodra kok lapar ya, Bi?"
"Ya sudah, Bi Aya ambilkan dulu, ya?" tawar Bi Aya.
Chalodra mengangguk cepat. Bi Aya kembali menutup pintu kamar, ternyata wanita itu sama saja seperti suaminya, mengurungnya di kamar dan tidak mengizinkan keluar.
Chalodra mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Chalodra bingung, kenapa bisa dirinya lapar seperti tidak makan dua minggu? Namun, Chalodra membuang pikiran buruknya jauh-jauh mengingat perutnya memang doyan makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments