Gara-gara tikus semalam, Chalodra dan Hendery kelelahan hingga tertidur nyenyak. Hewan itu bahkan membuat kekacauan yang besar. Sangat tidak bisa dimaafkan.
Sejak semalam, tanpa sadar, Chalodra tidur dalam pelukan Hendery. Kepalanya bersembunyi di himpitan dada bidang suaminya. Hendery juga, seakan mendekap Chalodra dari dingin.
Sinar mentari membuat Chalodra mengedipkan matanya. Dia memang tidur di sisi kiri tempat tidur. Merasakan bantalnya yang enak, Chalodra menggeliat mencari kenyamanan.
Hendery yang merasakan pergerakan Chalodra, ikut menggeliat. Saat pelupuk matanya sudah terbuka, begitu terkejutnya dirinya melihat Chalodra berada tepat di depan wajahnya.
Chalodra perlahan membuka matanya. Dia membeku, hidungnya dan milik Hendery saling menempel. Chalodra terperanjat dan langsung beranjak turun dari kasur. Dia gelagapan melihat sorot tajam Hendery.
"Cha, apa merah-merah itu?" pekik Hendery bertanya ketika melihat bercak merah di seprai, tepat tempat Chalodra tidur.
Chalodra terbelalak, dia langsung mengecek celana piyamanya yang dikenakan. Benar saja, ada noda merah. "Mas, aku datang bulan!"
"Datang bulan?" Hendery seakan kikuk, dia tidak paham masalah yang begitu.
"Mas, belikan aku pembal*t. Aku gak punya sama sekali." Chalodra berjingkrak tidak karuan. "Cepat belikan, Mas!" teriaknya kesal melihat Hendery tidak bergerak sedikit pun.
Hendery menghela napas berat lalu melenggang pergi dari kamar. Chalodra mencomot seprai yang sudah Kotor karena ulah tamunya. "Ck, nyusahin," umpat Chalodra.
Seprai berat itu membuatnya kesusahan. Ditambah warnanya yang putih bersih. Sudah mirip bendera Indonesia. Chalodra membawanya ke kamar mandi untuk dicuci, dia harus menuangkan puluhan botol sabun agar kembali suci.
Chalodra bahkan tidak punya apapun. Hanya ada tujuh baju di dalam almari, lebih banyak baju Hendery. Bagaimana memiliki pakaian banyak, sedangkan dirinya dibawa secara mendadak ke kediaman laki-laki dingin itu.
Benar, Hendery berangkat untuk membelikan Chalodra benda itu. Namun tidak sebanyak itu. Chalodra menggelengkan kepalanya melihat kantung plastik yang hanya dipenuhi pembal*t.
Ada lima jenis, masing-masing dua bungkus. Chalodra hanya bisa mengembuskan napas berat. Dia berbalik badan menatap Hendery penuh tangan, dengan satu set pembal*t di tangannya. Chalodra mengangkat sebelah alisnya.
"Aku tidak tahu kamu pakai yang mana. Jadi, aku belikan bermacam jenis," ucapnya jujur. Wajah Hendery yang biasnya garang, kali ini terlihat polos dan linglung. "Jangan cerewet! Masih untung aku mau belikan sendiri." Hendery melenggang ke kamar mandi, menutup pintu dengan keras.
"Jadi, dia beli sendiri? Gak suruh Bi Aya?" gumam Chalodra bertanya pada dirinya sendiri. Malu setengah mati. Dia berguling-guling di atas kasur dengan pipinya yang bersemu.
Seprainya baru saja dia ganti. Setelah Hendery keluar dari kamar mandi, Chalodra langsung masuk menggantikan. Saat sudah selesai, laki-laki itu sudah hilang batang hidungnya.
Chalodra hanya bersantai menunggu sarapan datang. Dia sering merasa beruntung, tidak perlu sibuk melakukan pekerjaan rumah seperti di tempat sebelumnya. Namun, tetap saja, Chalodra masih berpikir belum menjadi istri yang sesungguhnya. Juga mengingat dirinya dan suaminya belum melakukan hubungan, meski sudah beberapa kali berciuman.
Chalodra mengerucutkan bibirnya kesal membuat Bi Aya tertawa ringan. Chalodra sangat malu. Saat dirinya mengelus perut sambil mengaca, Bi Aya tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Apalagi Chalodra berbicara sendiri "Sepertinya lucu kalau ada bayi di dalam."
Dengan lahap Chalodra menyuapi mulutnya. Hari ini, menunya berbeda dari biasnya. Daging steak rasa barbeque dan nasi semangkuk. Juga jeruk hangat dibuatkan Bi Aya khusus untuk Chalodra.
Setelah menghabiskan semuanya, Chalodra berniat untuk berbincang dengan Bi Aya yang masih ada di dalam. "Bi Aya punya anak berapa?" tanya Chalodra.
"Satu tapi sudah meninggal," jawabnya membuat Chalodra tersentak kaget. Namun, Bi Aya masih tersenyum lebar meski netranya sendu. "Waktu anak Bibi umur lima tahun, dia temenan sama Den Hen. Setelah enam tahun, dia menjadi korban tabrak lari. Setelah itu, suami Bibi selingkuh karena Bibi tidak bisa memberikan keturunan lagi."
"Nyonya sangat baik, sehingga menyuruh saya menganggap Den Hen sebagai anak sendiri."
"Lalu beliau meninggal. Semenjak saat itu, Den Hen sendiri bersama Kakak dan Adiknya." Bi Aya menundukkan kepalanya.
"Apa ini alasan Mas Hendery jadi laki-laki dingin?" tanya Chalodra tanpa pikir panjang.
"Bukan. Den Hen bahkan selalu mencoba ceria semenjak ditinggal Nyonya. Saya tidak bisa menceritakan, apa alasan Den Hendery berubah menjadi acuh pada sekitar," jelas Bi Aya.
"Terima kasih, Bibi sudah bercerita."
"Kamu mirip dengan anak Bibi. Namanya Caca." Bi Aya tersenyum tipis seraya membelai pipi mulus Chalodra.
"Mas Hendery sering panggil aku Cha."
"Kamu baik, Nak."
"Bi Aya super baik."
Bak anak dan Ibu. Chalodra merasakan kenyamanan saat bersama Bi Aya. Berbeda ketika bersama Ratu, yang bahkan tidak pernah menghabiskan waktu bersama dirinya.
Entah sejak kapan Chalodra merasakan sakit di perutnya. Seakan ditusuk ribuan tombak. Chalodra jarang merasakannya bila sedang datang bulan. Mungkin, ini karena telat satu bulan. Chalodra menggeliat di kasur sambil mencengkram perutnya. Bi Aya panik, tidak tahu harus berbuat apa. Biasnya diberikan air hangat akan sembuh, tetapi Chalodra masih kesakitan.
Chalodra sudah bagaikan kepompong yang akan berubah menjadi kupu-kupu. Dia merintih kesakitan. "Bi Aya, sakit," lirihnya. Chalodra meringis pelan, sesekali memukul kecil perutnya.
"Jangan dipukul, Non!" Bi Aya menggaruk leher. Dia beranjak pergi dari kamar. Bergegas Bi Aya menghubungi Hendery yang sedang tidak ada di rumah. "Hallo, Den."
"Itu, Non Chalodra ... Non Chalodra sakit perut."
"Iya, saya bantu tenangkan." Bi Aya bergegas kembali ke kamar. Dia mengelus punggung Chalodra yang membelakanginya.
Chalodra berbalik. "Bi, aku boleh tidur di sini?" tanyanya menunjuk paha Bi Aya. Bi Aya pun mengangguk.
Chalodra menahan sakit. Paha Bi Aya dijadikan bantalnya. Tangan Bi Aya naik turun mengelus punggung Chalodra. Gadis itu memejamkan matanya erat.
Pintu kamar terbuka kasar membuat Bi Aya mengisyaratkan Hendery agar tidak berisik. Rupanya, Chalodra sudah terlelap. Hendery berjalan perlahan dengan sorot matanya yang sendu.
Hendery menggantikan Bi Aya dengan perlahan. Bi Aya pun melenggang pergi, tidak lupa menutup pintu lagi.
Wajah tenang Chalodra saat tidur, membuat senyum tipis terbit dari bibir Hendery. Dia mengelus dengan lembut rambut kepala Chalodra.
Gadis itu menggeliat untuk yang kesekian kali. Meski Hendery lelah, dia tetap nyaman dengan posisinya. Tangan Chalodra bergerak, tanpa sadar memegang resleting celana Hendery. Pemiliknya membelalakkan mata, jantung Hendery seakan berhenti.
Chalodra menekan-nekan benda itu. Merasa janggal, matanya terbuka lebar.
"Sudah tidak sakit, Cha?" Suara berat Hendery ditangkap pendengaran Chalodra. Gadis yang sedang menahan malu itu segera mendudukkan tubuhnya. "Ini tujuan kamu?"
"Gak sengaja!" bentak Chalodra tidak terima. Dia berpaling, membalikkan tubuh ke arah lain.
Hendery tersenyum lebar, sebentar. "Masih sakit perut kamu?" tanyanya.
Chalodra menggeleng cepat. Tanpa aba-aba, Hendery memeluk Chalodra dari belakang, membuat gadis itu membeku. "Kalau masih sakit, Mas buatkan obat," bisik Hendery tepat di telinga Chalodra.
Dengan bibirnya yang kaku, Chalodra menjawab, "Sudah tidak sakit kok." Jantungnya ingin lepas sekarang juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments