Malam hari tiba begitu cepat, tetapi Chalodra merasakan setiap detik berjalan begitu lambat. Setelah mandi sore dan mendapatkan makanan, Chalodra bersantai menikmati senja dari balkon kamar. Bukankah tadi Hendery bilang hanya pergi sebentar? Tapi Chalodra sudah biasa dengan Hendery yang berdusta seperti itu.
Hingga Bi Aya mengantarkan makan malam ke kamar pun Hendery belum datang. Mungkin pria menyebalkan itu tengah berbincang hangat dengan malin kundang. Yah, bisa saja.
Bila dihitung, Chalodra makan empat kali dalam sehari. Rasanya sangat lapar dan seperti ada yang menggaung di dalam perut. Mungkin seekor singa atau gorila terjebak di dalamnya. Bi Aya sudah pergi dengan membawa nampan bekas makan Chalodra, sekitar 20 menit lalu.
Chalodra tidak langsung tidur setelah makan, bisa-bisa dirinya gemuk. Chalodra membiarkan makanan itu diolah terlebih dahulu sambil menonton televisi. Benda pipih yang terselip di sofa membuat kening Chalodra berkedut. "Handphone Mas Hendery?" gumam Chalodra.
Chalodra mengambilnya, memutar ponsel itu di tangannya. Dengan senyum miring, Chalodra memainkannya. Ternyata tidak ada kunci. Kuotanya penuh membuat Chalodra bersorak dalam hati. "Janji gak buka yang privasi!" katanya.
Chalodra menginstal sebuah permainan merias kesukaannya. Chalodra tersenyum lebar mendapati aksinya berhasil. Chalodra memainkannya dengan gencar.
"Seru!"
Namun, tidak lama seseorang membuka pintu dengan kasar. Tidak ada orang lain selain Hendery yang bersikap seperti itu. Hendery menutup pintu dan menguncinya. Chalodra segera mengembalikan ponsel Hendery.
Melihat rahang kokoh Hendery mengeras, Chalodra berdiri dengan gugup. "Maaf, Mas. Aku cuman download permainan, kok," ujar Chalodra. Jelas, Hendery tengah marah dengan wajahnya yang merah padam.
Meski Chalodra berpikir Hendery marah karena dirinya memainkan ponsel laki-laki itu, tetapi itu tidak benar. Ada hal lain yang membuat amarah Hendery membeludak.
"Mas kenapa?" tanya Chalodra dengan suara lirih.
Hendery mendekat tanpa berucap sedikit pun. Bibir pria itu terbuka sedikit, untuk mendesis. Netra Hendery menyorot kebencian pada Chalodra, membuat perempuan itu ketakutan.
Bruk
Tubuh Chalodra ambruk di bawah Hendery. Beruntung ada sofa di belakang Chalodra, jadi dirinya tidak terbentur ke lantai. Namun, jantung Chalodra masih berdegup kencang. Hendery mendekatkan wajahnya, menciumi wajah Chalodra. Bau alkohol itu menyengat di indra penciuman Chalodra. Ketika Hendery mabuk, laki-laki itu akan kehilangan kendali.
Chalodra memukul kecil dada bidang Hendery, tetapi tidak mendapatkan respon. Hendery semakin brutal dan kasar menciumi bibir Chalodra. Chalodra memberontak, bukannya tidak mau tapi laki-laki itu kasar membuat bibirnya tergigit berulang kali.
"Mas," lirih Chalodra saat Hendery memberi jeda ciuman kasarnya. Namun, Hendery acuh, dia kembali menautkan bibirnya. Chalodra tidak bisa membalas, terasa sesak dan menyakitkan.
Chalodra mendorong pundak Hendery dengan kuat membuatnya mundur ke belakang. Kedua tangan Hendery mengepal mendapatkan penolakan dari istrinya. Chalodra melirih dengan air matanya.
"Mas?" Chalodra meraih tangan Hendery, tetapi dengan kasar Hendery menepisnya. Membuat Chalodra terjatuh dan tangannya tergores pinggiran meja.
Terasa sesak di dada Chalodra. Hendery mengikis jarak dan beralih dengan tempat tidur. Laki-laki itu tengkurap di kasur tanpa peduli sedikit pun terhadap Chalodra.
Chalodra mendudukkan pantatnya di sofa, menghembuskan napas berat. "Mas Hendery lagi mabuk, Cha," ucap Chalodra pada dirinya sendiri. Dengan tangis sesenggukan, Chalodra merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Chalodra memiringkan tubuhnya, tempat yang sempit akan menjadi kasur malam ini. Chalodra menatap punggung suaminya dengan sedih. Pasti Hendery mengalami masalah besar, hingga dia kembali kasar pada Chalodra. Namun, kenapa Hendery tidak pernah terbuka?
Chalodra mencoba memejamkan matanya yang panas karena air matanya, pelupuknya bahkan sudah kebanjiran. Lagi dan lagi, terlintas nama Egry di benak Chalodra. "Atha mau pulang, Egry."
Chalodra merasa iri dengan wanita di luaran sana yang bebas keluar-masuk rumah. Bahkan untuk ke luar kamar saja, Chalodra tidak bisa. Apa itu keluarga? Chalodra masih belum menemukan artinya.
.....
Chalodra mengulas senyum tipis merasakan hangat merambat di wajahnya. Sinar matahari memaksa masuk melalui cela fentilasi. Bersamaan dengan Chalodra menggeliat, Hendery melangkahkan kaki keluar kamar dengan keadaan rapi dan segar.
Chalodra membuka matanya, meregangkan ototnya yang kaku. "Ah, gak nyenyak," serunya sambil menguap. Padahal, posisi tidur Chalodra terlihat seperti orang keenakan tidur, tetapi dia bilang tidak nyenyak. Chalodra mengedarkan pandangannya, ternyata suaminya itu sudah pergi.
Chalodra berjalan ke arah kamar mandi. Masih pukul enam, pasti airnya sangat dingin. Chalodra merasakan perih saat kulit tangannya bersentuhan dengan air. Chalodra mendesis. "Perih."
Tanpa Chalodra ketahui, Hendery sempat terbangun malam tadi karena dengkuran Chalodra. Hendery juga melihat luka di tangan kiri Chalodra, tetapi gengsinya besar untuk mengobati itu diam-diam. Akhirnya, Hendery memilih tidur kembali.
Chalodra keluar dari kamar mandi dengan keadaan segar bugar. Namun, tangan kirinya sengaja tidak dibasahi. Goresan itu terlalu dalam, seperti luka batin Chalodra yang menyakitkan. Chalodra merapikan rambutnya terlebih dahulu, sebelum berniat mengobati lukanya.
Chalodra mengambil kota obat dari laci nakas, mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Perlahan mengoleskan obat merah pada lukanya.
Kriek
Pintu terbuka, menampakkan Hendery yang berdiri membawa nampan berisi makanan. Hendery berjalan mendekat, meletakkan benda itu di atas nakas. Hendery mendudukkan tubuhnya di samping Chalodra.
Chalodra tersentak kaget dan bergeming mendapati Hendery mengambil kapas dari tangannya, lalu mengelus lukanya dengan lembut. "Maaf, Cha. Mas semalam terpengaruh alkohol," ujar Hendery.
Chalodra tersenyum tipis. "Bukan masalah besar," jawab Chalodra.
Hendery mengambil plester dari kotak obat itu, lalu menempelkannya di permukaan luka Chalodra. Hendery meletakkan tangan besarnya di atas kepala Chalodra membuat Chalodra meremang. "Mas mau keluar kota, nanti malam pulang, kok. Sarapannya dihabiskan, ya?"
Hendery berdiri dari duduknya, lalu Chalodra mengangguk setuju dengan ucapan suaminya. "Ingat, jangan keluar! Aku akan suruh Bi Aya cek kamar kamu lima kali," jelas Hendery.
"Aku selalu sabar dan menerima semuanya, Mas," kata Chalodra menghela napas gusar.
Terselip rasa kasihan pada Chalodra, hati batu Hendery sedikit tergores dengan ucapan wanitanya. "Mas pergi," pamit Hendery melenggang pergi dari kamar.
Chalodra menghembuskan napas berat sambil mengelus lukanya yang sudah diplester. "Punya suami tapi terasa jomblo."
Chalodra terkikik geli saat sesuatu melintasi pikirannya. "Mas Hendery orangnya punya gengsi besar," ucapnya. Senyum lebar Chalodra membuat kedua matanya menyipit. Baiklah, jika Chalodra mau Hendery memberikan perhatian, Chalodra harus terluka terlebih dahulu.
"Tapi, aku rasa aku sayang dengannya," lanjut Chalodra. Hal yang membuat Chalodra berpikir seperti itu adalah setiap bersentuhan kulit dengan Hendery, tubuhnya akan bergetar hebat. Dan lagi, Chalodra sudah dibobol oleh suaminya itu, jadi dirinya harus belajar mencintai Hendery.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments