...SELAMAT MEMBACA...
Setiap malam Hendery datang, dan pagi dia sudah pergi. Seperti itu saja setiap hari. Membosankan bukan?
Chalodra merangkak turun dari tempat tidur. Matanya sayu memandang pintu kamar yang terbuka, langsung saja maniknya melebar.
"Eh? Dibuka?!" serunya berlari mendekati pintu. Wajahnya berseri kesenangan. Binar iris matanya berkilau. "Boleh keluar?"
Ada rasa takut dan bersalah ketika melangkah ke luar kamar. Bagaimana jika Hendery tahu? Pasti akan marah. Ah, sudahlah, untuk saat ini Chalodra tidak peduli.
Langkahnya perlahan tanpa arah, pandangannya ia edarkan. Chalodra berhenti di tangga, turun satu anak tangga. Jantungnya berdegup kencang.
"Loh? Ada perempuan?!"
Suara berat laki-laki membuatnya menoleh. Lelaki itu berdiri di samping kamarnya. Matanya membulat, lelaki itu menakutkan tapi tampan.
"Sewaannya Hendery, ya?"
Chalodra diam seribu bahasa. Langkahnya mundur menuruni tangga. Lelaki itu mendekati Chalodra. Chalodra akan turun, tetapi tangannya dicekal oleh lelaki itu.
"Lepas," ucap Chalodra lirih.
"Hai, bolehlah saya coba."
Chalodra disentuh. Dagunya diangkat oleh tangan lelaki itu. Chalodra memalingkan wajahnya. "Hey, jangan takut sama daddy!" Desir napasnya terasa menyeruak di wajah Chalodra.
"Taka! Lepaskan dia!" sentak seseorang dari belakang Chalodra.
Lelaki itu langsung melepaskan Chalodra. Chalodra berbalik, itu Hendery, Chalodra bersembunyi di balik tubuh Hendery.
"Dia istriku. Sekali lagi kau sentuh, tahu sendiri akibatnya." Berat suara Hendery terdengar menakutkan. Apalagi rahangnya yang mengeras.
"Oh, istrimu. Aku tidak tahu, maaf, ya ...." Dia mengintip Chalodra yang berada di balik tubuh Hendery. Senyum tengil ia tunjukkan agar Chalodra tidak takut.
"Ayo!" Hendery menarik pergelangan tangan Chalodra. Langkah besarnya membuat langkah kecil Chalodra menjadi cepat.
Hendery menarik Chalodra ke dalam kamar, tidak lupa pintu itu ia tutup dan dikunci.
Hendery mendudukkan tubuh Chalodra di tempat tidur. Chalodra yang ketakutan hanya menunduk.
"Kenapa keluar?!"
Chalodra tersentak kaget. "Pintunya dibuka, jadi aku keluar."
"Lain kali jangan keluar. Ini salah satu alasan saya tidak kasih izin kamu untuk ke luar kamar."
"Maaf." Suara Chalodra sangat pelan. Wajahnya memanas akan kemarahan suaminya itu.
Hendery mendudukkan pantatnya di samping Chalodra. Chalodra menegakkan tubuhnya dengan kepala yang masih menunduk.
"Lihat saya!"
Chalodra bergeming. Istrimu sedang ketakutan, kenapa kau suruh menatapmu?!
"Cha, lihat saya!" Suara Hendery menjadi lembut, meski berat.
Chalodra menghela napas panjang, lalu ditatap wajah tampan suaminya.
Tangan kekar Hendery menyelinap masuk di balik rambut Chalodra, dipegang tekuk leher Chalodra. Wajahnya dimajukan, kelopak mata Chalodra terpejam.
Sekilas, Hendery mengecup bibir mungil Chalodra. Lalu dia berdiri sembari merapikan jasnya.
"Sebentar lagi Bibi akan antar sarapan kamu," ucapnya.
"Om sudah makan?"
Tatapan tajam Hendery kembali keluar saat menatap Chalodra. "Sudah saya bilang, jangan panggil Om! Panggil Mas, atau Daddy."
"Daddy?!" Suara Chalodra keluar dengan keras, segera ia tutup mulutnya dengan tangan.
"Kenapa? Kamu maunya Taka yang kamu panggil Daddy?"
"Bu-Bukan seperti itu."
"Kalau Sayang?" lanjut Chalodra.
Hendery mematung sejenak. Lalu ia berbalik menghadap pintu. "Terserah." Hendery melenggang pergi ke luar kamar.
Chalodra tidak kuasa menahan dirinya agar tidak teriak. Dengan cepat ia berlari ke kamar mandi.
Hendery melangkah menuruni tangga dengan senyum yang berseri-seri. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. "Sekali lagi kamu seperti itu, habis." Ucapannya penuh penekanan membuat lelaki itu meneguk ludah.
"Maaf, aku tidak tahu." Bibir Taka berkerut.
"Ayo!" Hendery mendahului langkah Taka di belakangnya.
"Berliannya jadi?" tanya Taka di sela langkahnya menuju luar.
Hendery tidak menjawab pertanyaan Taka. Saat hendak masuk mobil, Hendery berhenti sejenak. "Ada tugas dari Papa Carlon," seru Hendery.
"Perintah?" tanya Taka.
"Ck, jangan banyak tanya!"
Mereka berdua memasuki mobil dengan Taka yang memegang kemudi.
Antaka Andreas, adik Hendery yang berusia 25 tahun. Dia putra bungsu dari keluarga Hendery. Taka dikenal dengan kepribadiannya yang bertolak belakang dengan Hendery yang dingin. Taka banyak bicara dan ramah senyum. Apalagi ketika bertemu seorang perempuan.
Chalodra mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Di sini, Chalodra bebas menggunakan listrik sepuasnya. Tidak disangka, bibi benar-benar membuatkan menu makanan baru untuk dirinya.
Langkahnya menuju tempat tidur, lalu duduk untuk menyantap sarapannya. Nasi putih hangat dengan lauk ayam, udang yang dipenuhi bumbu asam manis. Segelas jus jeruk untuk hari ini.
Habis sudah, piringnya kosong. Makanan itu pindah ke dalam perutnya. Ia teguk minuman itu sampai habis. Tidak lama, bibi datang dengan senyuman khas.
Chalodra kembali bingung, otaknya berpikir keras. Pasalnya, bibi selalu tahu ketika makanan Chalodra sudah habis, dia pasti datang. Sudah tidak bisa diragukan, di dalam kamar ada kamera pengintai.
"Bibi," panggil Chalodra.
"Iya, Non?" Bibi menghentikan langkahnya di depan pintu, ia berbalik.
"Nama Bibi, siapa?"
"Nama Bibi Aya."
"Bi Aya?"
"Iya, Non." Senyumannya sangat damai, dan sorot matanya terlihat kasihan pada Chalodra. "Sudah tidak ada apa-apa lagi?"
"Sudah, terima kasih."
. . .
Sebuah ruangan besar yang dihiasi lukisan di dinding, dindingnya berwarna putih dan sedikit corak kuning keemasan.
Pria baya duduk di sofa bersama dua pria muda. Sepotong rokok di tangan pria baya itu, senyum licik beberapa kali ia tampilkan.
"Putri dari Charleston Anggara, kamu bisa, Hendery?"
"Kenapa aku?" Kedua alisnya terangkat, punggungnya bersandar di sofa. "Papa punya banyak kenalan pembunuh bayaran, kan?"
"Papa mau kamu yang bunuh dia." Wajah liciknya tidak bisa diragukan lagi.
"Kenapa harus putrinya? Kenapa tidak Charleston Anggara saja?"
"Apa kamu tahu? Anggara yang sudah buat almarhum Adik perempuan kamu meninggal." Matanya melebar menatap Hendery.
"Tapi, putrinya tidak salah apa pun."
"Papa mau Anggara merasakan apa yang Papa rasakan." Ia hembuskan napasnya dari bibir hingga mengeluarkan kepulan asap rokok.
"Pa, putri dari Anggara banyak. Papa mau semuanya dibunuh, itu sama saja Papa tidak punya hati. Hanya mementingkan dendam," sahut Taka.
"Papa mau putri bungsunya saja."
Manik mata Hendery melebar. Bibirnya tidak bisa terbuka lagi. Tubuhnya ia tegakkan. Raut wajah datanya sulit diartikan. "Aku usahakan," ucapnya lalu melenggang pergi.
Taka itu pun menyusul Hendery. Pria baya yang dipanggil papa oleh kedua lelaki itu tidak lain adalah Carlon June, mafia serakah akan kepuasan hartanya. Carlon dibakar panasnya dendam akan masa lalunya. Mudah baginya untuk membuat orang lain kehilangan nyawa.
. . .
Hendery berdiri di tepi pembatasan jembatan, ditemani angin malam yang menerpa. Tatapannya kosong, hanya tertuju pada arus air.
"Putri bungsu Anggara? Anggara, putrinya ada empat dari dua almarhum istrinya. Putranya hanya satu dari istri pertama. Putri bungsu dari istri kedua, bernama ...."
Ia jeda kalimatnya untuk mengambil napas panjang. "Chalodra Agatha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments