Selepas kepergian kedua orang tuanya, Zein menatap kosong ke arah jendela di mana dia berada.
Terbesit sebuah penyesalan telah mengambil keputusan gila tanpa melibatkan mereka.
Sang ayah benar, bahwa dirinya sangat bodoh yang bertindak semaunya sendiri seolah kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi.
Padahal, awalnya tidak seperti itu niat Zein. Namun, mereka juga tidak salah menilai demikian.
Zein tersadar dari lamunan ketika Vita membawakannya sepiring lontong dan juga sate kesukaannya.
"Makan dulu, Bang. Biar cepat sembuh," ucap Vita perhatian.
"Ya, terima kasih," jawabnya lirih. Lalu pria kolot ini pun mengambil piring berisi makanan itu.
Setelah itu ia pun mulai menyuapkan satu persatu makanan yang ada di piring yang ia pegang.
Meskipun sedang makan, Zein tetap terhanyut dalam pikiran kosongnya. Bingung bagaimana harus melangkah.
Zein sadar, Zein paham, bahwa kedua orang tuanya tidak menginginkan Vita sebagai menantu mereka. Namun, ia sudah berjanji pada Vita untuk menikahinya. Bukan hanya itu, Zein juga tak bisa mengulang kesalahan yang sama dengan mencampakkan putri dari keluarga yang sama.
Ia pernah berlaku tak adil pada kakak Vita, masak dengan Vita pun ia harus mengingkari janji. Tetapi Zi ... Bagaimana dengan wanita itu? Bagaimana dengan menantu kesayangan orang tuanya itu? Bagaimana dengan wanita yang nyatanya selalu sanggup membuatnya merindu itu? Ahhhh ... Zein serasa berada di dalam ombak dan terombang-ambing tanpa arah.
Tak memiliki pegangan hidup ternyata menyakitkan. Apa lagi saat ini kedua orang tuanya enggan merengkuhnya. Engan mendampinginya melewati masa sulit ini. Dan mereka tidak salah, karena Zein telah memilih.
Hampir tiga puluh menit Zein memeganh piring berisi makanan itu. Namun hanya beberapa yang masuk ke dalam mulutnya.
Sampai Vita akhirnya lelah menunggu. Ia pun menegur Zein.
"Sudah, Bang, makannya?" tegur Vita.
"Ya... makasih ya," jawab Zein seraya menyerahkan piring itu kepada wanita yang dipacarinnya. Sedangkan Vita pun langsung mengambil piring tersebut dan tak lupa ia juga mengambilkan minum untuk kekasihnya ini.
"Makasih," ucap Zein lagi.
"Sama-sama, bagaimana perasaan Abang? Ceritalah, Bang. Jangan diam saja!" pinta Vita halus.
Bagaimana aku bisa cerita? Ini menyangkutmu. Menyangkut masa depan kita. batin Zein.
"Apakah orang tua Abang nggak merestui kita?" tanya Vita, langsung pada intinya.
"Ya, seperti itulah!" jawab Zein, sedikit tegas.
"Lalu gimana, Bang? Vita udah terlanjur kasih tahu kakak kalo abang mau nglamar Vita. Kalo nggak jadi, apa kata mereka?" jawab Vita, air mata pun langsung meleleh keluar dari sudut-sudut matanya.
"Pelan-pelan nanti abang bujuk mereka. Kamu tenang aja, nanti kalo abang udah sembuh kita pergi ke rumah keluargamu," jawab Zein, mencoba menenangkan hati sang kekasih dengan janjinya lagi.
"Makasih, Bang," jawab Vita sembari tersenyum.
Zein pun memaksa bibirnya untuk tersenyum. Meskipun jika boleh jujur, hatinya merasakan perih yang teramat sangat. Sebab kali ini, perasaannya berbanding terbalik dengan ketika ia meminta Zi melepaskannya.
Kali ini, Zein menginginkan Zi. Zein menginginkan wanita itu. Wanita yang telah menjadi mantan. Mantan terindah baginya. Bukan wanita manja yang terus mendesak dirinya, untuk menikahinya tanpa mau mengerti apa yang ia rasakan saat ini.
***
Berbeda dengan Zein yang sibuk dengan kegalauannya. Laskar dan Laila telah memantapkan hati mereka untuk menyembunyikan mantu kesayangannya itu dari putra bodohnya itu.
"Papa yakin?" tanya Laila.
"Ya, bocah bodoh itu harus dikasih pelajaran, Ma. Yang penting cucu kita tetap terjamim kehidupannya. Mau tanpa dia atau mau sama dia. Papa nggak akan ngebiarin cucu-cucu kita kekurangan. Terserah bapak gilanya aja itu, terserah dia mau apa. Mau makan cinta, coba saja," jawab Laskar, terlihat jelas kesedihan dan rasa kesal bercampur aduk terpancar jelas dari mata pria itu. Ia sangat menyesal dan sedih mendengar jawaban Zein yang mengatakan bahwa dia tidak mencintai istrinya.
"Sabar, Pa. Sekali lagi sabar, mau bagiamanpun dia tetap putra kita. Kita wajib membimbingnya," jawab Laila mengingatkan.
"Mau dibimbing bagaimana lagi, Ma? Dia sudah dewasa. Harusnya bisa belajar dari kesalahan bodoh itu," balas Laskar. Lalu pria paruh baya ini diam. Berusaha meredam emosi yang terus meledak dan siap menghujam jantung hatinya.
Laila sendiri yang paham dengan kekecewaan sang suami hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Ia pun hanya bisa menuruti keinginan sang suami. Zein memang keterlaluan. Harusnya dia bisa berpikir lagi dan memilih yang tepat untuk hidupnya.
Rumah tangga bukan sehari dua hari tetapi untuk seumur hidup. Apakah dia sanggup menghadapi sikap ke kanak-kanakan Vita, mengingat dia sendiri memiliki sikap kolot dan mudah tersinggung seperti itu.
Bersambung...
Like komen dan vote kalian adalah hadiah terbaik untukku🥰🥰Lope sekebun pisang buat pembaca setia😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
R yuyun Saribanon
laila lu juga pake otak..jangan semua keinginan anaknya di iyahin aja..nanti jadi laki2 egois, tolol dan ga bertanggung jawab
2024-09-30
0
Ima Ko
nurut aja sama swami bu Laila,jangan kasih tau zi dimana,percuma Zein kan kan otaknya geser
2023-11-27
1
Juan Sastra
jika memang zein ggak cinta sama zi kok nikah,, apa di jodohin sama laskar
2022-12-31
0