Tak ingin pulang dengan tangan kosong, Safira dan Lutfi setia menunggu Zein keluar dari kamar. Mereka ingin meminta penjelasan dari ucapan bodoh sang kakak yang lontarkan kepada mereka.
"Apa sebaiknya Fira masuk aja ke kamar abang ya, Mas?" tanya Safira pada sang suami.
"Sebaiknya begitu, Bun. Lebih cepat lebih baik. Abang nggak bener ini, kenapa bisa pisah sama Kak Zi, dan nggak kasih tahu kita. Maunya dia apa sih?" Lutfi terlihat geram. Entahlah, rasanya tak rela saja jika pasangan yang selalu terlihat adem ayem itu malah berpisah.
Tak menunggu waktu lagi, Safira pun masuk ke dalam kamar Zein.
Terlihat pria itu hanya merebahkan tubuhnya di sofa sembari melamun.
"Bang," panggil Safira pelan.
"Hemm!" Zein masih berada di posisinya semula.
"Di sini aku nggak mau menghakimi, Abang. Tapi aku hanya ingin tahu, kenapa abang dan kak Zi memutuskan pisah?" Safira masih mencoba tenang.
"Aku bukan jodoh terbaik untuknya," jawab Zein singkat, terlihat beberapa butir bening keluar dari sudut mata pria tampan itu.
"Dari mana abang tahu, jika abang bukanlah pria yang baik untuk kak Zi. Abang nggak usaha, makanya begitu. Apakah karena Vita?" Safira menatap kesal pada pria aneh itu.
"Entahlah ... aku memang bodoh. Harusnya aku lebih matang memikirkan semuanya. Tolong jangan tanyakan dia lagi! Aku mohon!" jawab Zein lagi.
"Astaga, Bang! Abang ini kenapa? Memangnya apa salah kak Zi sampai abang tega menjandakan dia?" tanya Safira mulai terlihat tak sabar. Wanita cantik ini tak peduli jika seandainya Zein berpikir bahwa dia memaksa.
"Dia nggak salah, aku yang salah." Zein kembali mengeluarkan air mata penyesalannya.
"Abang benar-benar gila, Bang. Aku sengaja nggak ngebuka masalah ini depan Vita karena aku masih menghargai abang. Coba kalo Vita tahu! Apakah abang pikir Vita akan mau kembali dengan cara ini. Abang menceriakan istri abang demi balikan lagi sama dia? Aku rasa Vita nggak akan mau, Bang. " Safira menatap marah pada Zein.
"Kami saling mencintai. Bukankah mencintai bisa menerima kekurangan dan kelebihan pasangan," jawab Zein enteng.
"Astaghfirullah.... istighfar, Bang, istighfar ... Abang pikir wanita itu seperti tisu. Sekali pakai langsung buang. Ingat, Bang! Coba abang pikir lagi!
Abang sudah pernah kehilangan dua wanita yang paling berharga dalam hidup abang gara-gara kekolotan dan kepicikkan abang itu. Dan sekarang, abang mengulang kesalahan yang sama... sumpah, aku nggak habis pikir, Bang!" balas Safira, mencoba menyadarkan pria menyebalkan ini.
"Jadi aku harus gimana? Haruskah aku mencari Zi dan memintanya kembali. Lalu apakah kamu pikir dia akan menerimaku. Lalu, bagaimana dengan Vita? Kami sudah terlanjur berkomitmen untuk kembali menyambung cinta yang pernah ada di antara kami. Sungguh, Ra! Ini nggak mudah bagiku. Isi otakku hampir meledak memikirkan ini. Coba katakan aku harus gimana?" Zein kembali meneteskan air mata penyesalannya. Andai dia lebih bisa menahan egonya. Mungkin ini semua tidak akan terjadi.
"Ya harusnya abang tu pikir dulu! Coba abang ingat, Siapa yang selalu ada di saat abang terluka? Siapa yang selalu ada di saat abang terpuruk? Kak Zi, Bang. Kak Zi... bukan Vita. Kak Zi yang selalu ada di saat itu. Lalu, sekarang setelah luka hati itu mengering, dengan mudahnya abang menghempaskan wanita itu. Oh My God... anda bodoh luar biasa, Bang. Serius!" balas Safira penuh emosi jiwa. Andai Zein anak kecil, sudah pasti akan ia pukul kepalanya.
"Tolong Ra, pergilah! Jangan membuatku lebih pusing!" pinta Zein, karena ia memang sedang merasakan dilema yang luar biasa.
"Nggak! Abang memang pantas perasaan hukuman ini. Sebab abang bodoh. Selalu mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Aku nggak bisa ngebayangin gimana sakitnya kak Zi, Bang. Cintanya untuk abang sia-sia begitu saja. Kasih sayang yang dia kasih ke abang, abang buang begitu saja. Sungguh, Bang! Jika saat ini aku bisa bertemu dengan wanita itu, aku pasti bakalan bilang, jangan pernah lagi ingat abangku yang super bodoh ini, jangan pernah menengok ke belakang lagi! Aku pasti akan memintanya pergi jauh sejauh mungkin. Agar abang tahu, bahwa wanita bukan sekedar mainan, Bang. Kami punya perasaan!" jawab Safira marah. Kali ini ia benar-benar marah.
Zein diam dan hanya mendengarkan nasehat adiknya itu. Menimbang baik buruk kenyataan yang memang saat ini sedang ia hadapi. Sungguh, Zein seperti masuk ke dalam neraka cinta. Terlalu menurut pada nafsu, hingga ia tak sadar bahwa saat ini dia telah masuk ke dalam kebimbanhan yang kuat biasa.
Safira muak dengan wajah abang bodohnya ini. Tak ingin terus terbawa emosi, Safira pun beranjak dari tempat duduknya.
Namun, sebelum itu, ia masih menyempatkan diri untuk bertindak tegas pada pria itu, "Fira kasih waktu tiga hari buat abang untuk jujur pada Vita. Vita adalah sahabat Fira. Fira nggak mau dia kecewa di belakang. Karena tahu bagaimana kelakuan bodoh abang sebenarnya dan setelah itu, Fira minta sama abang untuk pulang ke Batam dan jelasin masalah ini ke orang tua kita. Apapun yang mereka putuskan, Fira harap abang tidak melawannya?"
Safira mengahapus kasar air matanya. Rasanya benar-benar muak melihat kelakuan Zein yang menurutnya sangat keterlaluan itu. Ya Zein memang keterlaluan.
Sepeninggal Safira, Zein tetap berada di tempat. Tidak menyalahkan kemarahan adiknya itu. Zein tahu, bahwa dia memang salah. Namun, ia tetap berpikir bahwa dia juga ingin memilih. Salahnya di mana?
***
Usai cerita cinta yang menyakitkan itu, Zevana atau yang biasa dipanggil suster Zi itu tampak lebih sumringah menjalani hidupnya.
Tempat barunya sepertinya memberinya tempat yang begitu nyaman. Teman-teman barunya juga juga sangat menyayanginya.
Zi juga mendapatkan kebahagiaan lain, Ia tidak menyangka, bahwa salah satu dokter yang bekerja di sana adalah teman masa SMAnya. Mereka bertemu di rapat dewan direksi pagi tadi. Lalu berjanji untuk makan siang bersama.
"Kamu udah lama di sini, Bim?" tanya Zi pada mantan temannya sekolahnya suku.
"Belum juga, Zi. Baru satu tahunan lah. Awalnya aku di Semarang, eh di tawarin di sini. Ya udah, ambil aja lah. Itung-itung cari pengalaman," jawab Bima sambil tertawa senang. Senang karena tak menyangka bisa bertemu dengan salah satu teman sekolahnya.
Zi tersenyum sekilas, lalu ia pun kembali bertanya, "Anak udah berapa?"
"Anak? Duh... belum Zi, jodohnya juga belum datang ni. Do'ain ya," jawab Bima sembari terkekeh.
"Masak sih? Jangan sibuk belajar makanya. Sampai cari cewek aja nggak sempet," balas Zi santai.
"Nggak juga sih, Zi. Belum ketemu aja. Terus kamu gimana?" tanya Bima lagi.
"Ya, gimana ya? Ya gitulah Bim. Nanti kamu juga bakalan tahu. Hahahha!" Zi tertawa geli. Sebab ia tak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya. Zi memang tidak suka terbuka perihal masalah pribadinya. Ya, begitulah Zi dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
"Sorry, Bim. Aku balik dulu ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi. Selamat bekerja Pak Dokter, tak do'ain cepet dapet istri. Eh napa nggak sama sustermu aja. Kan sustermu cantik-cantik, Pak?" canda Zi.
"Lalu kenapa kamu nggak sama aku aja, kan aku juga tampan," canda Bima.
"Hissst, jangan... nanti Bapak nyesel!" balas Zi, lalu mereka berdua pun terkekeh senang.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
Kenzi Kenzi
iyap... nyesel krntrnyata zi janda
2023-11-25
1
Ajeng Ina
thor jangan d satukan zi dan zaen lg... gemas sy sm cara berpikir zain seenak zidatnya sendiri... semoga zi dapat jodoh yg lebih baik dr zain
2023-11-09
4
나의 햇살
salahnya itu di OTAK YG BERPIKIRAN SEMPIT. WANITA ITU BUKAN BARANG YG JIKA GK SUKA LANGSUNG DIBUANG. Pengen gw bejek kalau ada cowok itu 😤
2022-07-28
0