Nadia melirik manja sahabat anehnya ini. Ingin rasanya ia menertawakan sang sahabat. Namun, ia takut Zi akan marah padanya.
Bagaimana tidak? Setelah mendengar kata 'Zolim' darinya, wajah ibu hamil satu ini langsung berubah pucat pasi.
Sepertinya Zi sadar. Bahwa di sini, dia juga salah.
"Jadi aku harus gimana dong, Nad?" tanya Zizi.
"Ya... mau bagaimanapun, kamu masih dalam masa iddahkan, andai suamimu merujukmu, masih bisa. Tapi ya terserah sih, aku cuma menyarankan kamu balikan sama dia. Kasihan anakmu," jawab Nadia, tanpa rasa berdosa.
"Ihhhh .... nggak, nggak... apaan! Ini anakku, nggak ada hubungannya sama dia. Enak aja! Dia cuma nanam. Terus ngajakin pisah. Siapa suruh dia nglirik cewek lain. Padahal aku sama dia, si cewek itu, cantikkan aku ke mana-mana. Dia ganjen, siapa suruh dia ganjen." Zizi terlihat kesal, sangat kesal. Bahkan sorot matanya tidak memungkiri itu. Wanita cantik ini juga menutupi perutnya degan kardigan yang menjuntai panjang menutupi perutnya.
"Ya, biar begitu, Bang Zein tetap ayahnya, Zi. Dia berhak tahu, " balas Nadia.
"Apa? siapa yang menyuruhmu memanggilnya abang, enak saja. Kegantengan dia. Nggak usah," jawab Zi semakin kesal, marah, emosi, muak, ahhh entahlah... pokoknya Zi sangat tidak suka jika diajak membahas pria menyebalkan itu. Apa lagi nasehat Nadia seolah membela pria itu.
"Ya, kan dia memang abang-abang, cowok, gimana sih?" Nadia memanyunkan bibirnya.
"Tau ah, pokoknya nggak usah. Pokoknya mulai sekarang kita nggak usah ngebahas pria jelek itu. Anakku akan baik-baik saja tanpanya. Aku bisa menjadi ibu sekaligus bapak untuk mereka," jawab Zi tegas.
"Jangan egois begitulah, Zi. Kasihan tahu mereka. Eh, kok mereka? Emang isinya berapa perut kamu?" tanya Nadia, merasa ada yang aneh dengan jawaban sang sahabat.
"Dua ... puas," jawab Zi ketus.
"Masya Allah, Zi. Serius isinya dua. Ya Allah." Nadia tertawa senang. Laku ia pun hendak mengelus perut sang sahabat.
Namun dengan cepat Zizi memukul tangan itu.
"Awwhhh, sakit Zi. Cuma mau pegang aja nggak boleh. Tega lu Zi," ucap Nadia.
"Bodo.... siapa suruh kamu belain dia," Zi terlihat semakin tak suka.
"Ini bukan masalah bela membela Zi, aku cuma meluruskan saja," jawab Nadia,
rasanya tak tahu lagi harus berkata apa. Pendirian sahabatnya ini begitu teguh. Seakan tidak paham dengan kode-kode yang coba ia tunjukkan. Padahal berkali-kali Nadia menatap chip yang menempel di dadanya.
"Ngapa sih kamu ngedorong aku buat balikan ama dia. Kan kamu tahu dia kek mana. Kamu sebenarnya bela siapa sih? Kamu masuk tim siapa? Tim aku apa tim pria jelek itu?" tanya Zizi, lagi-lagi mengungkit kesalahan sang sahabat. Yang menurutnya sangat-sangat menjengkelkan itu.
"Ya aku sih di kubu kamu, Zi," jawab Nadia lirih. Seperti terpaksa. Ingin rasanya ia mengungkapkan semuanya, tapi alat penyadap ini. Kalau dia sampai tidak berhasil membujuk Zizi kembali pada Zein, maka habislah riwayatnya.
Ahhhh... dasar keluarga aneh bin menyebalkan, batin Nadia kesal.
"Dah ah... eh ngomong-ngomong gimana ceritanya kamu bisa sampai sini?" tanya Zizi, heran.
"Ada mutasi pekerja, eh aku lihat di sini masih nerima pegawai. Ya udah aku daftar," jawab Nadia. Padahal dia berbohong. Nadia datang ke tempat ini atas perintah sekaligus ancaman dari orang tua Zein, agar membantu sekaligus menjaga Zizi untuk mereka. Jika tidak maka karir keperawatannya akan jadi taruhannya. Membuat Nadia tak berkutik.
"Oh, ya udah... kamar kamu sebelah mana?" tanya Zizi.
"Persis tepat di depan kamar kamu, Honey!" jawab Nadia sembari tersenyum tanpa dosa.
"Apa?" pekik Zizi. Malas saja, sebab Nadia pasti akan sering menganggunya.
"Hehehe... jangan manyun gitu atuh, Honey, Baby. Di sini tugasku bukan hanya jadi perawat di rumah sakit. Tapi juga jadi perawat pribadi kamu. Asisten kamu. Mengingatkanmu supaya minum Vitamin, makan yang banyak, kalo bisa balikan lagi sama ayang beb," ucap Nadia asal. Seperti apa yang Laskar perintahkan padanya seminggu yang lalu.
"Apa? Ngapain kamu repot-repot begitu. Siapa yang nyuruh kamu, hayo ngaku. Apakah Zein, si pria jelek itu?" cecar Zizi, serius.
Deg ... astaga, hampir saja ketahuan, aduh Nadia, kenapa kamu bodoh baget sih. Mulut-mulut, dasar lemes... minta dipukul ini mulut, ahhhh.... batin Nadia kesal.
"Jangan marah atuh, honey bunny sweety... Dih, apaan. Aku aja ngak pernah ketemu dia. Pan aku cuma mau jadi teman yang baik, sahabat yang manis. Dan sebagai Sahabat yang baik dan tidak sombong, aku cuma menyarankan yang terbaik untuk kamu dan babymu. Lagian abang Zein kan baik. Aku cuma kasihan lihat babymu. Masak lahir nggak ada bapak," bujuk Nadia lagi. Berusaha menetralkan keadaan.
"Tahu ah, udah sana keluar kamu. Aku mau tidur. Makin pusing aku ngelihat kamu," ucap Zizi sembari membalikkan tubuh sang sahabat dan mendorongnya pelan. Agar keluar dari kamarnya.
"Wait, wait, Honey!" pinta Nadia.
"Apa lagi?" Zizi melotot sebel.
"Tapi masih cinta kan ama, abang beb?" canda Nadia, tapi dia serius.
"Nggak, ngapain!" jawab Zi tegas.
"Astaga! Masih lah ya, ya... masih kan!" desak Nadia, karena sebenarnya itu adalah ini dari pembicaraan mereka. Karena kedua orang tua Zein menginginkan jawaban itu.
"Dih, ngapain sih maksa. Kalo aku bilang nggak ya nggak. Aku nggak cinta sama dia lagi, karena aku memang nggak pernah cinta dan nggak akan pernah cinta. Puas!" jawab Zizi, kali ini Zi tak mau kalah. Ia harus berhasil mengeluarkan biang kerok dalam kamarnya ini. Jika tidak, maka ia takut akan mengakui rasa yang saat ini ia rasakan.
"Hilih, nggak cinta kok bisa hamidun. Dua lagi langsung," balas Nadia sembari mencebikkan bibirnya, meremehkan jawaban sang sahabat.
"Apa hubungannya cinta sama anak. Nggak ada, banyak kok bikin nggak usah pakek cinta cintaan. Udah ah, sana... malas aku lihat kamu lama-lama," ucap Zi lagi, kali ini dia benar-benar kesal.
"Jangan gitu lah, Honey! Kan aku cuma... " belum selesai Nadia meneruskan kata-katanya, Zi sudah menutup rapat pintu kamarnya, membuat gadis ini kesal. Ia pun beradegan hendak memukul pintu kamar Zi, namun tidak jadi karena ada sepasang mata yang mentapnya dengan tatapan mengintimidasi tentunya.
"Maap, Pak Ajudan... hehehe," ucap Nadia pada ajudan Pak Laskar yang ditugasi mengawasi gerak-geriknya.
Ngeri dengan tatapan tajam pria itu, Nadia pun langsung memilih berlari kabur. Masuk ke dalam kamarnya. Bukankah itu lebih baik. Dari pada di luar dan dipelototin pria menyeramkan itu.
"Hih... " ucap Nadia mengidik ngeri.
"Mimpi apa kamu, Zi. Jadi mantu mafia begitu?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.
Nadia terus mengumpat dan mengomel kesal, tanpa menyadari, bahwa saat ini alat yang memonitor setiap kata yang ia ucapkan masih di dengarkan jelas oleh Laskar dan juga Laila.
Matilah kau Nadia, nikmatilah keteledoranmu.
Bersambung...
Jangan lupa like komen n Votenya ya gaes🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
sintesa destania
kayaknya nadia salah satu utusan mertua
2024-04-20
2
saya cantikkj
😃
2023-11-18
0
Sulati Cus
udah dibuang ngapain msh cinta emang dikira pria cm zein doang di muka bumi kok jd w yg emosi
2023-01-24
0