"Kenapa Abang diam aja Vita serang ama tukang ojek sialan itu?" tanya Vita marah.
"La aku mesti gimana? Kamu tahu aku lagi sakit. Lemes gini?" Zein melirik memelas.
"Tahu ah, kalian berdua sama-sama
nyebelin." Vita merajuk. Malas menghadapi dua pria menjengkelkan itu, Vita pun memutuskan untuk pergi saja dari tempat ini. Tempat yang tak menginginkannya.
Namun, ketika ia mau membuka pintu, terlihat Laskar dan juga Laila ada tepat di depan pintu.
Terkejut, itu adalah ekspresi ketiga orang tersebut.
Vita diam membisu, sedangkan Laskar dan Laila melirik dan menghela napas kesal.
"Om, tante!" sapa Vita, manis.
Namun, sapaan itu tidak mendapat respon yang baik dari kedua orang tua Zein, mereka berdua terlihat cuek. Langsung masuk ke dalam ruang rawat sang putra, tentu saja tanpa memedulikan dirinya.
Vita mengurungkan niatnya untuk pergi. Tidak sopan saja dan bukankah ini adalah kesempatan untuk mendapat simpati dari kedua orang tua kekasihnya itu. Karena ketika putra mereka sakit dirinyalah yang merawatnya. Hohoho...
Laskar mendekati Zein. Sedangkan Zein menatapnya dengan tatapan takut. Namun ia tidak kuasa menghindar, sebab saat ini ia telah terbaring lemah dan pucat. Zein hanya bisa berackting memelas, agar macan tutul berwujud manusia ini tidak mencakarnya. Zein sangat hafal dengan sikap dan sifat sang ayah. Sedangkan Laila hanya mengikutinya dari belakang.
"Apa yang kamu makan sampai bisa sakit begini?" tanya Laskar dingin.
"Zein tidak salah makan, Pa. Justru Zein tidak bisa makan," jawabnya jujur.
Laskar diam sesaat, sedangkan Laila yang sangat menyayangi Zein langsung mengelus ramput putranya itu. Membuat Laskar geram.
"Mama bisa menjauh dari anak kurang ajar ini dulu nggak?" Laskar mulai mengeluarkan taringnya.
"Pa, dia sedang sakit. Mama tahu dia salah, tapi mbok ya jangan kasar-kasar begitu?" Jiwa keibuan Laila meronta, tidak terima jika putra kesayangannya ini dimarahi oleh ayahnya.
"Mama selalu belain dia, makanya otaknya jadi tumpul begitu!" Laskar mulai terlihat ksal.
"Pa!" Laila menatap dua orang asing yang terlihat sering menunduk karena tidak tahu harus berbuat apa.
"Sorry, Pa!" ucap Zein, ia tahu pasti kedua orang tuanya kesal padanya.
"Untuk apa kamu minta maaf, memangnya kamu salah apa?" tanya Laskar, sengaja meremas emosi Zein, agar putra bodohnya ini berpikir bahwa dia dan juga sang istri sangat tidak suka dengan keputusannya menceraikan Zi.
"Zein yakin papa dan mama udah tahu, kenapa Zein minta maaf," jawab Zein lagi.
Laskar memutar tubuhnya. Menatap Vita dan Rian secara bergantian. Seperti memberi mereka isyarat untuk meninggalkan tempat ini.
"Yan, Vit... bisa tinggalkan kami!" pinta Zein, karena ia paham apa yang hendak dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Vita dan Rian pun mengangguk pelan. Mereka mengerti, bahwa saat ini kedua orang tua Zein tidak menginginkan mereka di sini.
Selepas kepergian Vita dan Rian, Zein pun mencoba duduk. Berhubung tubuhnya sangat lemah, Zein hampir ambruk.
"Sudah ... sudah ... kamu baring aja." Laila masih sigap dengan tugasnya sebagai seorang ibu.
"Pa, tadi papa udah janji sama Mama, nggak akan emosi, lalu kenapa sekarang Papa jadi marah-marah begini?" tanya Laila sembari melirik kesal pada sang suami.
"Mama sudah tahu kenapa Papa kesal pada anak bodoh ini. Jadi sebaiknya Mama nggak usah bela dia terus." Laskar tak gentar dengan peringatan sang istri, ia yakin bahwa caranya mendidik sang putra tidaklah salah. Ia merasa memiliki hak untuk meluruskan pemikiran Zein yang bengkok itu.
Sejenak suasana menjadi hening. Zein bergelut dengan rasa takut dan pemikiraan kolotnya. Tak dipungkiri bahwa saat ini dia saat ini sangat takut jika sang ayah menyakiti Vita. Vita tidak tahu apa-apa.
Sedangkan Laskar, pemikirannya berbanding terbalik dengan Zein. Yang pria ini inginkan adalah putranya ini mencari sang mantan istri dan mengajaknya kembali. Hanya itu, perihal Vita ia tak mau tahu. Laskar tidak mau punya masalah dengan keluarga itu lagi.
Suasana hening itu tak bertahan lama, pada askhinya LAskar tidak tahan untuk meremas wajah putra bodohnya ini.
"Apa yang kamu pikirkan ketika melepaskan istrimu?" tanya Laskar dengan tatapan penuh intimidasi.
Zein tidak mampu menjawab, sebab ia tak paham dengan rasa yang ia miliki saat itu. Yang ia inginkan adalah hanyalah melepaskan Zi tanpa masalah dan bersatu dengan Vita. Itu saja, Zein tidak tahu ternyata saat ini keingiannanya itu berbeda dengan apa yang ia inginkan saat ini.
"Kenapa? Apakah saat ini kamu mengingat mantan istrimu itu?" tanya Laskar, sorot matanya masih menatap tajam seakan ingin menampar sang putra dengan kenyatannya yang ada.
"Maafkan, Zein, Pa. Maafkan, Zein, Ma. AMaaf kalau Zein tidak meminta izin dan pertimbangan kaian dulu ketika melepaskan Zi. MAaf!" ucap Zein lemah. Namun ia sungguh-sungguh dalam perkataan itu, bahwa sejatinya ia sangat menyesal.
Sayangnya permintaan maaf itu tidak merasuk ke dalam relung hati Laskar. Ia malah menganggap permintaan sang putra hanyalah taktiknya agar dirinya tidak marah.
"Untuk apa kamu minta maaf pada kami, bukankah sudah jelas kamu tidak menganggap kami orang tuamu lagi. Kami tidak masalah dengan itu," balas Laskar kesal.
"Pa, jangan begitu," sela sang istri mengingatkan.
"Jangan begitu bagaimana, Ma? Terbukti kan, biar dia mikir, Ma. Orang tua dia masih ada, harusnya kalau mau memutuskan sesuatu yang sangat penting begini, dia cari kita dulu," jawab pria paruh baya ini kesal.
"Iya, Pa. Mama tahu dia salah, kita juga harus paham kalau dia dilema," balas Laila, kasihan melihat Zein semakin pucat. Keringat dingin mulai nampak menyembul keluar dari pori-pori keningnya.
"Heh, dilema? Mau sampai kapan dia dilema, Ma. Emangnya hidup cuma butuh cinta. Hidup itu banyak aspek yang harus dipikirkan Zein, termasuk tanggung jawab. Termasuk hubunganmu dengan keluarga. Senang kamu begini? menjauhi orang tuamu ... menganggap mereka sudah nggak ada ... apakah ini yang kamu inginkan."
Zein berusaha bangkit dari pembaringan, rasa sakitnya seketika sirna. Zein merasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan oleh orang tuanya karena kelakuan buruknya.
"Maafkan Zein, Pa," ucap Zein, ya hanya maaf dan maaf yang bisa Zein ucapkan kali ini. Sebab ia memang salah.
"Papa memang tidak mendampingimu sejak kecil, Zein dan papa menyesal soal itu. Oke, fine ... Papa nggak nyalahin kamu kalo sekarang kamu membalasnya. Menggangap papa sudah nggak ada, tak apa. Tetapi, lihat mamamu... walaupun mama cuma ibu sambung, mama tetap menganggapnya putra mama sendiri kan. Mama begitu menyayangi bocah bodoh sepertimu ini, seperti anak mama sendiri. Lalu begini caramu membalasnya, Wah keren sekali," ucap Laskar lagi.
Kali ini Laskar tak ingin melepaskan putra bodohnya ini. Ia ingin putranya ini merenungkan kesalalahannya. Ia ingin putranya ini tidak mengulang kesalahan yang sama. Laskar ingin Zein benar-benar menyesali kesalahannya. Bukan hanya pada zi, mantan istrinya. Tetapi juga pada mereka, kedua orang tuanya.
Kenyataan ini memang pahit. Sepahit obat yang harus Zein konsumsi setiap hari. Namun Laskar yakin jika obat yang ia bawa kali ini bukanlah obat biasa. Obat pahit yang akan ia paksakan untuk sang putra, adalah siraman rohani yang akan membuat sang putra menyesal dan mau membenahi kesalahannya.
Bersambung ...
Pendukung Bang Zein Mbak Zi tunjukkan pesona kalian dengan aktif komen, like n votenya... agar mak semangat update ya gaes🥰🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
Kenzi Kenzi
wes.kadung pisah,mana bisa balik....vita ne lhoh panggah nempel
2023-11-25
0
Nana
kudukung duo Z
2022-07-17
0
Siti Komariah
bagus..omelin aja pa..kalo perpu tabokin wkwksk
2022-06-18
1