Vita tak mau dipermainkan lagi oleh Zein. Ia pun ingin meminta pertanggungjawaban atas janji yang pernah Zein ucapkan kepadanya.
Malam ini juga, Vita mendatangi Zein. Wanita ini tidak peduli. Mau Zein mengusirnya atau tidak akan mengizinkannya masuk, terserah. Yang penting baginya adalah ia harus mendapatkan jawaban atas apa yang pernah Zein janjikan kepadanya.
Masih seperti malam-malam kemarin, Zein terbaring lemas di kamar. Menikmati rasa sakit di kepala yang luar biasa. Perutnya serasa termasuk. Entahlah, bagaimana rasanya, hanya Zein lah yang tahu.
"Abang kenapa lagi, sih?" tanya Vita ketika masuk ke dalam kamar kekasihnya tersebut.
"Entahlah, udah ke dokter kata dokter abang aman. Tapi, mual muntahnya nggak ilang-ilang. Sekarang di tambah sakit kepala," ucap Zein sembari melihat pelipisnya sendiri.
Merasa kasihan dengan Zein, Vita pun segera naik ke ranjang dan membantu kekasihnya itu memijat kepalanya.
Namun, ketika Vita hendak memegangnya, dengan cepat Zein bangun dan meloncat menjauhi wanita itu.
Rasa mual kembali ia rasakan. Dengan cepat, ia pun berlari masuk ke kamar mandi.
Vita mau mendekatinya, namun Zein menolak.
"Jangan mendekat... aku mohon!" teriak Zein sambil melanjutkan menumpahkan segala isi yang ada di perutnya.
Kali ini Vita tak mau menyerah, ia pun tetap menunggu di luar kamar mandi. Menunggu Zein menuntaskan apa yang sedang ia kerjakan.
Awalnya Vita kasihan, tetapi melihat sikap Zein yang selalu menolaknya tentu saja membuat wanita ini geram.
Lima menit berlalu, Zein pun keluar kamar mandi dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Menutup rapat matanya. Menetralkan apa yang ia rasakan di dalam perutnya.
"Abang ini sakit apa sih? Periksa ini yang bener napa, Bang!" pinta Vita dengan nada sedikit ketus.
"Dibilang udah," jawab Zein enteng.
"Kalo udah, kenapa masih begini? Ganti dokter, Bang. Cari tahu yang bener. Abang ini sebenarnya sakit apa?" Vita kesal sendiri akhirnya.
"Entahlah... kalo lihat obat, atau cium saja rasanya udah enakkan. Meskipun nggak di minum. Tapi kalo cium bau wewangian begini rasanya mual, sakit kepala Abang," jawab Zein jujur.
Bukankah ini aneh?
Vita dia sesaat lalu, ia duduk berjauhan dari Zein. Agar Zein tidak mual mencium aroma parfumnya.
"Udah berapa hari abang kek gini?" tanya Vita.
"Entah... "
"Astaga, Bang. Kalo Abang begini terus kapan abang bisa ke Batam dan melamar Vita?" tanya Vita, sedikit mendesak. Namun, itu memang caranya mendesak pria tersebut. Jika tidak, Vita takut Zein akan mengingkari janjinya. Sedangkan dirinya sudah terlanjur memberi tahu kakak dan juga kakak iparnya bahwa Zein akan datang melamarnya.
Mendengar kata melamar Zein membuka matanya. Di dalam hatinya serasa ada desiran aneh mendengar kata itu. Kata yang sebenarnya telah di lupakan oleh pikirannya. Namun, karena pernah menjanjikan itu, Zein pun tak berkutik. Mau tak mau ia harus tetap mempertanggung-jawabkan apa yang telah ia ucapkan.
"Ya, pasti Abang pasti ke sana. Tapi tunggu Abang enakkan ya," ucap Zein, terdengar lirih, sebab ia memang belum menginginkan itu.
"Kapan, Bang? Abang aja nggak ada usaha buat sembuh. Gimana Abang bisa sembuh," gerutu Vita, kesal.
"Abang udah usaha, Vit. Abang juga nggak mau kek gini. Siapa sih yang mau sakit! Aneh kamu," jawab Zein, ikutan terbawa emosi.
Sepertinya Vita belum mengenal betul siapa Zein. Sepertinya Vita belum cukup dewasa untuk menghadapi Zein. Ya, Vita masih suka terbawa emosi dan tidak sabar seperti Zi.
Zi... oh, wanita itu lagi.
Tiba-tiba saja, menerima tuduhan Vita yang sedikit menyinggung perasaannya itu membuat Zein teringat wanita itu. Wanita yang selalu bisa menghadapinya dengan lembut, dengan hati, dengan kesabaran yang tinggi, tak pernah marah padanya. Merajuk apa lagi menyalahkannya.
Zi selalu percaya apa yang ia katakan. Meskipun kadang ia membohonginya.
Sungguh, detik ini, Zein kembali merindukan wanita itu. Wanita yang selalu menghadapainya dengan cinta, dengan kasih sayang yang ia miliki.
"Abang! Kenapa melamun? Abang dengar nggak ucapan Vita?" tanya Vita dengan nada kesalnya, seperti biasa.
"Iya, abang dengar. Kan tadi juga udah di jawab. Tunggu abang enakkan. Nanti kita pulang ke Batam," jawab Zein lagi.
"Habis abang diam aja," gerutu Vita.
Zein melirik sekilas kekasihnya itu. Lalu memejamkan mata. Kebodohannya salah pilih kini terasa di detik ini.
Zein menyadari, wanita yang ia butuhkan adalah wanita dewasa yang mengerti dan mau menerimanya dengan segenap jiwa dan raganya. Bukan gadis kecil yang manja dan selalu menekannya tanpa mau mengerti kondisinya. Tak dipungkiri bahwa saat ini Zein menyesal.
***
Di sisi lain, Zizi langsung masuk ke dalam kamar di mana dia tinggal. Menetralkan perasaannya. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Seperti habis melihat hantu saja. Tidak, tidak, ini bukan hantu, malah lebih menyeramkan dari itu. Orang-orang yang bersama sang mertua itu, menurutnya sangat menyeramkan.
Sedetik kemudian, ia kembali dikejutkan dengan ketukan pintu di mana ia bersandar.
Pelan namun pasti, Zi pun membuka pintu itu. Mengintipnya pelan. Sedikit lega, karena yang datang bukanlah orang-orang yang sangat ia takuti. Tapi Nadia, sahabatnya dari Jakarta.
"Aaaaa ... suprise ....!" teriak Nadia sambil merentangkan tangannya. Sedangkan Zizi hanya tersenyum karena perasannya masih diliputi rasa takut.
Zi tak ingin kembali melihat orang-orang itu. Lalu ia pun langsung menarik tangan sang sahabat dan masuk ke dalam kamarnya.
"Ih, apaan sih? Ngapa narik-narik?" tanya Nadia heran.
"Stttt... jangan keras-keras!" larang Zizi.
"Apaan? Emang ada apaan?" Nadia.
"Nggak ada apa-apa. Eh pas kamu ke sini lihat orang-orang yang mencurigakan tak?" tanya Zizi.
"Nggak ada tu, emang kenapa sih?" Nadia bingung.
"Ih, aku tadi ketemu sama mantan mertua," ucap Zizi jujur.
"Serius? Di mana?"
"Di restoran, aku takut," Zizi meremaa jari-jarinya. Seperti dia emang takut.
"Ih, kenapa takut? Kan bukan kamu nyang salah." Nada duduk di samping sang sahabat.
"Masalahnya bukan itu, kamu lihat ini?" tanya Zizi sembari membuka jaketnya di bagian perut. Terlihat di sana perutnya yang mulai menggembung.
"Hah... " Mata Nadia membelalak, tak percaya dengan pelihatannya, spontan ia pun menutup mulut, merasa suprise.
"Wahhhh, kamu hamil?" tanya Nadia.
"He em, gimana dong?" tanya Zizi.
"Ya nggak apa-apa, malah bagus kan."
"Masalahnya bukan itu, aku takut mertuaku kasih tahu Mas Zein. Nanti ribet lagi urusan sama dia," jawab Zizi, terlihat jelas dari wajahnya bahwa dia sangat khawatir.
"Ya dia kan bapaknya, wajarlah... dia berhak tahu, Zi," ucap Nadia mengingatkan.
"Aku belum siap, Nad. Aku nggak mau ngancurin hubungan antara dia dan pasangan. Nggak mau aku."
"Entahlah, Zi. Tapi menurutku, kamu menzolimi anakmu, kamu menzolimi mantan suamimu. Karena kamu sengaja memisahkan mereka. Ngerti kan maksudku?" Nadia menatap serius pada Zizi.
Namun, Zizi sendiri masih gamang dengan percakapan mereka. Kini dilema menerobos ke dalam sanubarinya. Membuat wanita ini merasa terusik.
Bersambung...
Jangan lupa, like komen n share yes.. 🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
Sulati Cus
horang yg membuang zizi aja g merasa berdosa kok
2023-01-24
2
Juan Sastra
mati aja loh zein,,udah tahu salah bukannya nyesal tobat kek eehh malah umbar janji lagi sama tu jati janda di tinggal mati
2022-12-31
0
나의 햇살
tapi kalau menurutku itu pantas Zein dapatkan karena menceraikan istrinya
2022-07-28
1