Usai berbincang hampir setengah jam dengan bang Emir dan mas Aksa, lemon tea di gelas bang Emir juga sudah habis terminum, bang Emir pamit terlebih dulu karena barusan ada telfon darurat yang mengharuskan dia pergi ke rumah sakit sekarang juga.
"Sa" panggilnya dengan fokus tajam menatapku.
"Apa?" jawabku ketus. Aku nggak tahu kenapa saat bicara dengannya aku selalunya ingin ngegas.
"Kamu manisan dikit bisa nggak?" tanya mas Aksa membuatku memberengut. "Jangan galak-galak jadi cewek, perasaan aku manggilnya juga lembutkan?" lanjutnya bermaksud seperti protes.
"Iya ada apa?"
"Bukannya semua akan lebih mudah kalau kita nikah secepatnya, gimana?"
Pertanyaannya membuatku reflek meliriknya dengan sorot tajam.
"Aku pikir sebaiknya kita pacaran dulu, dengan begitu, kita bisa saling mengenal satu sama lain"
"Aku rasa itu nggak perlu Sa, pacaran hanya akan membuang waktu" Mas Aksa mengatakannya dengan sangat tenang, seolah yang ia bicarakan adalah hal sepele.
"Nggak perlu pacaran, aku sudah sedikit lebih tahu tentang kamu, jadi harusnya kita bisa langsung nikah. Iya kan?"
Aku nggak merespon ucapannya, karena aku masih belum yakin jika harus menikah dengannya secepatnya. Ketika mas Aksa melihatku masih diam, dia kembali bersuara seraya menegakkan posisi duduknya.
"Begini Sa" ucapnya serius. "Bukannya aku nggak mau menjalani selangkah demi selangkah. Dengan apa yang sudah aku alami dulu, rasanya aku sudah terlalu banyak membuang waktu. Lagian restu orang tua sudah kita dapatkan, jadi mau tunggu apa lagi?"
Aku masih diam sambil mencerna baik-baik setiap kata yang baru saja dia sampaikan. Orang tua kami memang meminta kami untuk secepatnya menikah, tapi melihat bagaimana kondisiku dan mas Aksa yang baru saja kenal, membuatku meminta waktu sedikit lebih lama, dan papi menyetujui unek-unekku.
"Lagi pula aku sudah tertarik padamu saat pertama kali kita bertemu" kata mas Aksa, kalimatnya membuat dahiku seketika berkerut. "Ku pikir saat itu aku hanya tertarik padamu, hanya sebatas rasa kagum, tapi setelah tadi malam, aku semakin yakin ingin segera menikah denganmu"
Butuh beberapa detik untukku mencerna ucapan mas Aksa, dan memahami apa yang mas Aksa maksud. Aku yang tadinya menunduk, ketika mengangkat kepala pandangan kami langsung bertemu. Dan persekian detik aku langsung mengalihkan pada gelas mas Aksa yang masih tersisa lemon tea, karena jantungku tiba-tiba berdetak cepat seperti pencuri yang baru saja ketahuan mencuri.
Aku berusaha menetralisir rasa gugupku dengan meraih gelas kosong bekas bang Emir lalu membawanya ke area dapur.
"Mau cepat atau lambat, kamu akan menikah denganku Sa" ujarnya saat aku kembali duduk bersebrangan dengannya. "Selain karena orang tua kita, kita juga sudah melakukan hubungan yang seharusnya nggak kita lakukan, iya kan?"
Mendengar ucapannya, aku merasa terjerat oleh sesuatu yang mampu menghimpitku hingga aku merasa terdesak, membuatku nggak bisa ngelakuin apapun.
Enggak puas mengejutkanku dengan kalimatnya barusan, mas Aksa tahu-tahu mengecup bibirku singkat saat aku mendongak mempertemukan netra kami.
Jantungku seketika bertalu-talu di dalam sana, sementara mas Aksa justru menyunggingkan senyum miring seolah mengejekku.
"Harusnya aku menuruti ucapan kakek dari dulu" kata mas aksa kemudian. Kalimatnya cukup membuatku mengernyitkan dahi. "Harusnya aku menemuimu sejak dulu, dan jika iya, aku pastikan saat ini kita sudah sah menjadi suami-istri"
Aku bergeming sambil menatap lekat mas Aksa. Dia makin berani usai melakukan makan malam keluarga tadi malam, ketimbang saat aku bertemu di Singapura waktu itu. Di tambah lagi orang tua kami sangat mendukung dan bahkan menjodohkan kami.
Tiba-tiba tangan mas Aksa bergerak merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan kotak beludru. Saat kotak itu terbuka, sebuah cincin berlian memancarkan kilaunya. Aku terhenyak menatap indahnya cicin itu.
Selang beberapa detik, mas Aksa mengeluarkan cincin itu lalu tangan kirinya meraih tanganku, sedangkan tangan kanan mas Aksa memasukan cincin itu di jari manisku.
"Menikahlah denganku Khansa"
Dia mengatakan itu dengan tatapan lekat tertuju padaku, ku lihat matanya mengerjap, ekspresinya sangat sulit ku baca. Tapi aku menangkap sorot serius di manik hitamnya yang bergerak mengekor mengikuti gerakan manik hitamku.
Detik kemudian ia mengalihkan pandangan pada cincin yang sudah terpasang di jari manisku.
"Cantik" ucapnya sambil mengulas senyum.
"Cincinnya apa tanganku?"
"Dua-duanya" sahut mas Aksa. "Apalagi orangnya"
Aku menautkan kedua alisku.
"Kamu cantik" pujinya yang membuatku cukup salah tingkah.
Ternyata selain menyebalkan dan humoris, dia juga cukup romantis, apalagi jika menjelaskan tentang makna bunga seperti ketika kami berada di Singapura, itu membuatku menghangat.
Tepat ketika aku akan menarik tanganku yang masih berada dalam lingkupan tangannya, mas Aksa justru mengeratkan genggaman itu.
"Ini sudah siang loh" ucapku membuat dia langsung menatap jam di pergelangan tangannya. "Mau ke rumah sakit jam berapa memangnya?"
"Sekarang" jawabnya tanpa mengalihkan netranya dariku.
"Kalau begitu pergilah"
"Makasih buat lemon teanya. Entah kenapa lemon tea di sini sangat berbeda dari lemon tea di restauran-restauran lain"
Aku tahu dia sedang menggodaku, itu sebabnya aku melempar tatapan sinis ke arahnya. Alih-alih takut, dia malah tersenyum sambil menggerakkan salah satu tangannya membuka telapak tanganku, lalu mengusap lembut punggung tanganku.
"Mau di ambil lagi cincinnya?" gurauku saat mas Aksa beralih mengusap permata di lingkaran cincin itu.
"Cincin ini cocok dan pas di jarimu, padahal aku memilih ukuran yang asal" katanya lirih.
"Ternyata alampun mendukung perjodohan papi sama kakek, buktinya beberapa kali kita bertemu secara nggak sengaja, saat aku was-was dengan gadis pilihan kakek, justru dia adalah gadis yang sudah aku tiduri. Dan kali ini, cincin ini menambah keyakinanku untuk secepatnya mengikrarkan sumpah setiaku di hadapan papi dan penghulu"
Menarik napas panjang, sekali lagi aku di buat menghangat oleh perkataannya, tapi tak serta merta membuatku langsung yakin. Karena sampai detik ini, aku masih sedikit aneh dengan perjodohan orang tuaku. Kalau saja aku tidak di tiduri olehnya, mungkin aku akan mencoba sedikit berkelit, menunggu satu atau dua tahun lagi untuk menikah. Karena aku masih ingin bergelayut di dunia bisnisku, masih ingin keliling dunia untuk menjajal semua resep di setiap belahan benua.
Aku benar-benar tak bisa berkutik apalagi saat teringat aku bangun tanpa mengenakan pakaian, dengan seorang pria di sampingku yang juga tak berpakaian satu helai pun. Dan kekhawatiranku jika aku menunda, aku takut benihnya tahu-tahu tumbuh di rahimku.
"Aku kerja dulu ya" pamitnya seraya berdiri tanpa melepas genggamanku.
"Nanti pulang jam berapa?"
"Aku bisa pulang jam berapapun aku mau, sementara aku belum tahu nanti pulang jam berapa"
"Hati-hati nanti" ucapnya lalu mengecup tanganku. Dan Jantungku seakan berontak dengan perlakuannya barusan. "Jaga jarak dua meter dari mobil di depanmu. Aku pergi, Assalamualaikum"
"Waalaukumsalam" jawabku, sepasang mataku lekat menatap punggungnya yang terbalut kemeja berwarna hijau telur asin.
Aku masih belum percaya bahwa jodohku seorang dokter bedah.
Bersambung
Ane
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Alfia
kok belum pernah ada kasus cicin nya kekecilan atau kebesaran y? 🤣🤣🤣🤣🤣
2022-02-22
0
Vina Suzanna
romantis nya pak dokter ini
2022-02-06
1
sri dartuti
bikin melting deh tokoh prianya kak ane nih😄😄😄😄... ayah danu.. papi Rio, mas kenand, mas pandu, mas aksa🥰🥰🥰
2022-01-13
1