"Pengalaman adalah guru terbaik. Dari pengalaman itulah kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan. Bukan hanya dari pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lainpun bisa kita jadikan pelajaran"
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku selalu di sibukkan dengan aktifitasku di dapur. Aku memang suka sekali memasak, dan nggak peduli meski ada ART yang harus masak kata mami. Aku memilih aku sendiri yang terjun ke dapur untuk menyiapkan makanan, selain hasil masakan yang sesuai selera kita, aku juga bisa belajar banyak tentang resep-resep baru.
"Masak apa dek" tanya bang Emir ketika memasuki area dapur.
Aku hanya menoleh ke wajah bang Emir sekilas. "Di situ saja bang" cegahku dengan memunggunginya dan tangan kiriku seakan menahan bang Emir agar tak mendekat. Selang beberapa detik, aku berbalik setelah meletakan spatula. Ku lihat bang Emir tengah berdiri mematung sambil memasukkan kedua tangan di saku celana trainingnya.
"Aku baru memasukkan stik sapi tadi"
"Ada yang bisa abang bantu?" tanyanya sambil berjalan ke arah kulkas lalu meraih satu botol air mineral.
"Sudah mau selesai." jawaban dariku membuat bang Emir mengangguk paham.
"Semalam gimana perkenalannya?, maaf tadi malam abang sama Meira pulangnya malam banget, soalnya dia minta nonton dulu. tahu kan, adekmu itu kayak gimana"
Aku tersenyum menanggapi ucapan Bang Emir yang tahu-tahu sudah duduk di meja makan sambil menyiduk spageti yang sudah aku siapkan. Abangku satu ini memang begitu, dia jarang sekali sarapan pagi bersama kami. Abang selalu sarapan terlebih dulu sepulang joging mengitari taman dekat kompleks. Setelah kenyang, dia akan pergi ke kamar sampai waktunya berangkat kerja.
"Ya gitu bang"
"Kira kira ada chemistry nggak?"
"Ada atau nggak ada chemistry aku tetap harus menerimanya kan bang?" jawabku sambil menaruh stik sapi di piring bang Emir. Ku lirik dia melambatkan gerakan mengunyah di mulutnya.
"Abang kan sudah bilang, jangan di paksa"
"Nggak apa-apa kok bang. Abang ingat kan kata nenek" ucapku seraya berjalan ke arah dapur hendak mematikan kompor. letak dapur yang hanya di batasi oleh setengah tembok, membuat kami bisa melakukan percakapan, meskipun aku sedang memasak, dan bang Emir di ruang makan. "Witing tresno, jalaran soko kulino. Kalau kita main kesemarang, ibunya mami Puspa suka bilang gitu. Tadinya aku nggak ngerti apa makna dari kalimat orang jawa ini. Tapi pas aku tanya, ternyata maknanya sama dengan yang mami pernah sebutkan" Aku memberikan jeda sejenak di sela-sela ucapanku. "Cinta datang karena terbiasa. Dan aku harap, setelah kita menikah dan sering bareng-bareng cinta itu akan tumbuh"
Bang Emir tampak serius mendengarkan ucapanku, mulutnya juga tak berhenti mengunyah sarapannya.
"Pengalaman papi juga gitu kan bang, bahkan sampai dua kali" Kini aku sudah duduk di ruang makan, sembari memperhatikan abangku yang tengah melahap spageti, stik sapi, dan tempura udang.
"Tapi kalau tetap nggak bisa jangan di paksa ya, setiap orang kan memiliki nasib yang berbeda-beda, kalau papi berhasil menjalin hubungan karena perjodohan, belum tentu kamu juga bisa"
"Tapi pengalaman orang lain bisa kita jadikan pelajaran kan bang"
"Betul" sahut Abang lalu meneguk air dari botol. "Yang jelas kalau benar-benar nggak bisa jangan di paksa"
"Iya bang"
"Abang ke kamar dulu"
"Nggak mau nambah lagi bang"
"Nggak udah kenyang" jawabnya sambil berlalu meninggalkan ruang makan.
******
Dahiku mengernyit ketika tiba-tiba sesosok mas Aksa muncul di restauranku dan mencariku. Mulai dari semalam, aku harus membiasakan diri memanggilnya mas Aksa, karena kalau enggak, papi akan melemparkan tatapan tajam seperti tadi malam saat aku hanya memanggilnya Aksa tanpa embel-embel mas. Lidahku masih kaku sebenarnya untuk menambahkan kata mas sebelum menyebutkan namanya, tapi mau nggak mau, suka nggak suka, aku harus berusaha. Dan pria yang saat ini sudah berada di depanku, merasa terbang karena senang mendapat panggilan baru dariku.
"Ada apa datang kesini?, memangnya nggak ke rumah sakit?"
"Aku dapat jadwal siang sampai malam nanti" jawabnya santai. "Dan aku berhak datang kesini kan?" lanjutnya.
Aku hanya diam menanggapi ucapan mas Aksa. bukan berarti aku ngga bisa membalas, tapi yang dia katakan memang ada benarnya, aku ngga bisa melarang pria ini datang ke restauranku. Dan menyanggahnya hanya akan membuatku terlihat aneh.
"Lalu mau apa kesini?"
"Kepo sama pria yang di bandara waktu itu, dia cukup inisiatif saat menjemputmu". Dia seorang dokter juga?" tanyanya kemudian.
Alih-alih menjawab, aku justru menatap jam di tanganku.
"Berangkat ke rumah sakit jam berapa?"
"Kamu pengin aku segera pergi dari sini?"
"Lagian nggak ada yang penting kan?"
"Ok, cukup katakan siapa pria yang menjemputmu di bandara waktu itu?" Dia bertanya setelah melihatku sekilas. "Ak_"
Ucapan mas Aksa terpotong saat kami sama-sama mendengar suara salam dari bang Emir.
"Waalaikumsalam" jawabku lalu bangkit dan meraih punggung tangannya. Ku lirik mas Aksa sempat terkejut, dan aku berfikir pasti dia tengah mengingat-ingat pria yang baru saja datang menyela obrolan kami. Pria yang saat ini sedang dia tanyakan.
Mas Aksa langsung mendorong kursi yang dia duduki, lalu bangkit. Pandangan mas Aksa dan bang Emir sempat bertemu selama sekian detik, nggak lama setelah itu, pandangan bang Emir ia alihkan padaku. Seolah meminta penjelasan mengenai mas Aksa.
"Dia Aksa bang"
"Oh jadi kamu Aksa" balas bang Emir tanpa menatapku, karena dia langsung menatap mas Aksa seraya mengulurkan tangan. "Saya Emir abangnya Khansa" tambahnya lengkap dengan seulas senyum.
Mendengar ucapan bang Emir, mas Aksa seperti kaget campur bingung, dia menerima uluran tangan bang Emir lalu saling berjabat tangan.
"Sudah dapat jawabannya kan?" tanyaku merespon tatapan bingungnya. "Bang Emir ini kakakku. Duduk bang, aku buatkan minum ya, abang mau minum apa?"
"Biasa dek" jawabnya sambil menarik kursi.
"Mas Aksa mau di bikinnin apa?" Aku bertanya sedikit ragu, selain malu karena ada bang Emir, lidahku seolah canggung memanggilnya mas. Panggilan mas bagiku sangat asing, mungkin jika aku panggil kedua abangku dengan mas, sedikit membantu karena terbiasa.
"Teh lemon hangat"
Dahiku mengerut seketika karena minuman yang dia minta sama seperti bang Emir.
"Apa karena kalian sama-sama dokter, jadi suka minuman lemon tea hangat atau nggak dingin?"
Ku lihat alis mereka sama-sama terangkat satu. Mungkin sedikit bingung dengan ucapanku barusan.
"Ya udah kalian ngobrol dulu, siapa tahu nyambung"
Aku sebenarnya masih ingin melanjutkan kalimatku, tapi mas Aksa buru-buru menyela.
"Terus kalau nyambung, tinggal jadian gitu?"
Mas Aksa menggelengkan kepala setelah mengucapkan itu, sementara bang Emir tersenyum geli.
Dan aku, langsung pergi begitu saja ke area dapur untuk membuat dua gelas lemon tea hangat. Melangkah dengan senyum yang tertahan.
Ternyata dia tipikal orang yang bicaranya blak-blakan. Dia begitu absurt melontarkan candaan.
Aku benar-benar harus menyiapkan mental dari sekarang, harus terus menambah imunku supaya nggak pingsan dulu sebelum berperang menghadapinya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Zila Aziz
Asyik.. Aku suka alur nya ringan
2024-03-02
0
Vina Suzanna
lanjut kak , semagatttttttt ..
....
2022-02-05
0
Lyzara
next
2022-01-13
0