Buat Reader, makasih sudah meluangkan waktu buat baca ceritaku. Sudah kasih hadiah dan vote supaya cerita nggak tenggelam.
Sampai bab sini, povnya aku rubah dulu ya, ceritanya dari sudut pandang Khansa.
Khansa.
Suara bel pintu membuatku reflek menghentikan aktivitasku yang tengah menata jamuan makan malam, untuk keluarga kami yang akan menikmatinya bersama keluarga dari teman papi. Dan seketika itu jantungku mendadak berdetak sangat keras. Entah apa yang membuat jantungku tiba-tiba seliar ini. Aku berusaha menormalkannya meski aku sendiri juga nggak tahu gimana caranya.
"Sa, kamu mandi dulu sana" Perintah mami padaku. "Dari tadi kamu nggak nyiapin diri malah sibuk memasak, lihat mereka datang sementara kamu masih bau dapur"
Aku langsung menatap mami yang juga sedang menatapku. Semua masakan ini memang aku yang memasaknya, sedikit mendapat bantuan dari mami dan bi Siti.
"Mih, nanti kalau aku nggak cocok, aku boleh nolak kan?"
"Boleh, tapi mami harap kamu cocok"
"Mari Kek, masuk" Itu suara papi, yang aku dengar dari arah dapur. Aku dan mami sama-sama mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu. Aku yakin kalau papi sedang mempersilahkan mereka duduk. Aku juga mendengar gelak tawa dari Papi, kakek neneknya si pria itu dan juga pria yang akan di kenalkan padaku.
Entahlah, pikiranku kosong porak poranda, nggak ada Meira dan bang Emir yang bisa melindungiku karena mereka masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bang Emir yang masih di rumah sakit, dan pulangnya akan menjemput Meira di kampusnya. Sedangkan bang Azam, dia sibuk merawat istrinya yang tengah hamil muda di rumah barunya yang nggak jauh dari rumah kami.
"Sa" panggilan mami membuatku tersentak.
"I-ya mih"
"Kok melamun, takut, gugup atau gimana?"
"Lebih ke gugup si mih" jawabku ragu.
"Nggak usah gugup, dulu juga mamih kayak kamu, malah papi sempat nolak mami. Dan menerima mami karena nenek dulu yang memaksa papi"
"Emang tradisi jodoh-jodoh gitu udah jadi adat ya mih?"
"Tidak juga" Sahut mami berusaha mengelak ucapanku. "Mami minta jangan tolak dia ya, dia anak baik, yatim piatu kayak mami"
Menghela napas panjang, Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku nggak bisa mengiyakan ucapan mami, tapi bagaimana caranya aku menolak. Mungkin jika malam bersama Aksa enggak aku lalui, aku bisa mempertimbangkan lagi, tapi ini benar-benar nggak bisa di tawar, aku harus tegas menolaknya.
"Udah sana lebih baik kamu siap-siap, kami tunggu di meja makan ya"
Sekali lagi aku menghirup napas panjang, kali ini sembari melangkah menaiki tangga. Rasanya aku ingin sekali menghilang kemana saja untuk menghindari mereka. Tapi bagaimana bisa, semuanya sudah di depan mata, nggak ada yang bisa aku lakukan kecuali menghadapinya.
Hampir lima belas menit aku mandi, aku sengaja nggak mandi lama-lama karena pasti mereka sudah menungguku.
Setelah siap dan memeriksa penampilan sekali lagi lewat kaca rias, dengan langkah terpaksa aku keluar dari kamar. Selagi aku menuruni anak tangga, pikiranku di buat melayang membayangkan seperti apa pria pilihan papi dan mami, apakah pria itu juga tampan seperti kisah-kisah perjodohan di dunia novel.
Kejadian malam bersama Aksa pun tak kalah ingin berebut masuk ke dalam khayalanku, pria yang belakangan ini menghantuiku sampai aku kekurangan jam tidur sebab selalu memejamkan mata hampir di pertengahan malam.
Menggigit bibir bagian bawah, mataku mengerjap begitu aku menyadari apa yang aku pikirkan. Sebagian dari diriku masih berusaha menyangkal acara ini dan nggak ingin terjerat ke dalam euforia ikatan yang terjalin karena perjodohan. Dan sebagian lagi memikirkan si dokter ahli bedah.
Begitu sampai di lantai bawah, aku melangkahkan kaki ke arah dapur. Tak ku temukan pria itu di ruang makan. Di sana hanya ada papi yang duduk di ujung meja, menghadap ke timur, Mami di sisi meja menghadap ke utara, berhadapan dengan kakek dan nenek dari pria itu yang menghadap ke selatan.
Apa pria itu menolakku, tapi aku yakin benar tadi sempat mendengar ucapannya saat papi menanyakan kabarnya.
"Khansa" Panggil mami, dan seketika jantungku berdebam. "Sini nak!"
Aku berjalan menghampiri meja makan, sebelum duduk ku raih punggung tangan kakek dan neneknya. Menyapanya lengkap dengan Senyumku yang melebar. Lebih tepatnya senyum paksa.
"Ini Khansa pak, bu" Ucap Mami dan langsung di respon dengan senyuman.
"Panggil kakek sama nenek saja kali ya" balas nenek menolak panggilan pak dan ibu dari Mamih.
"Betul" timpal Kakek. "Biar lebih akrab" lanjutnya sambil tersenyum.
Aku masih memaksakan diri untuk melengkungkan bibir ke atas, selain itu juga sibuk menormalkan ekspresi serta jantungku yang sedari tadi detakkannya semakin gila.
"Mami mau kemana" tanyaku ketika melihat mami hendak bangkit dari duduknya. Aku sedikit mendongak karena level mata kami tak sejajar.
"Mami mau ambil sendok sop" Mendengar jawaban mami, netraku langsung beralih ke wadah berisi sop iga.
"Biar aku saja mih"
"Oh iya" jawab mami yang sudah duduk kembali beberapa detik lalu.
Aku bangkit dengan hati penuh tanya, sebab masih belum lihat dimana pria itu berada. Fillingku mengatakan bahwa enggak mungkin pria itu menolak. Dia pasti ada di sini, bisa jadi sedang menerima telfon atau sedang ke toilet.
Buru-buru aku melangkah menuju dapur yang tak jauh dari ruang makan kami, lalu segera kembali dengan membawa satu sendok sop.
Aku mengerutkan kening sembari terus berjalan menuju meja makan. Bukan karena apapun, melainkan pria itu sudah duduk di kursi makan sebelah neneknya. Saat langkahku kian dekat, aku sempat kaget karena bayangan dirinya seperti pria yang tak asing bagiku. Dia tengah menunduk sembari memainkan ponselnya, dan aku nggak peduli dengan wajahnya.
"Ini mih" kataku seraya menyodorkan benda yang baru ku ambil tadi. Rasa gugup dan keringat dingin mulai mendominasi, sudah bisa di pastikan tensiku pasti naik.
Sedetik, dua detik, Tak pernah ku sangka, dan ini benar-benar di luar dugaanku. Tiba-tiba aku mendengar suara pria memanggilku.
"Khansa" panggilnya seraya berdiri.
Sontak Aku langsung memalingkan wajah untuk melihatnya. Aku yang tadinya hendak duduk urung ku lakukan karena shock dengan kemunculannya.
"Kamu?" ucapku dengan intonasi sedikit tinggi. Aku kaget campur heran. "Ngapain kamu disini?"
"Kamu ngapain disini?" tanyanya balik.
"Kalian sudah saling kenal?" pertanyaan itu keluar dari mulut papi.
"Dia yang__" sahutku dan Aksa kompak nyaris bersamaan. Dan kami sama-sama menggantung ucapan kami.
Aku nyaris mengatakan kalau dia yang sudah meniduriku di hadapan mami papi serta kakek neneknya. Dan detik itu juga aku sadar kalau aku nggak boleh mengatakan itu. Itu sebabnya aku menggantung ucapanku. Mungkin dia juga akan mengatakan hal yang sama.
"Jangan" ucapku sambil menggelengkan kepala, menatapnya dengan sorot memohon.
"Enggak" jawabnya juga sembari menggelengkan kepala. "Enggak" Ulangnya, mungkin pemikiran kita sama.
"Kalian nggak apa-apa kan?" tanya mami dengan dahi mengernyit.
"Eng-nggak apa-apa mih" jawabku terbata.
"Aksa, ini Khansa, putri om" untuk kesekian kalinya aku di buat terkejut. Ternyata dia Aksa.
"Sa, ini Aksa, anak teman papi. Bagus kalau kalian sudah saling kenal" Lanjut papi
Aku menahan napas, karena persekian detik, jantungku serasa berhenti berdetak.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Danny Muliawati
hahaha akhir nya jodoh
2025-01-13
0
Zila Aziz
Kelakar
2024-03-02
0
Vina Suzanna
yeeayyyy ...
gmn cerita selanjutnya ????
lanjutttt kak 😄😄😄😄
2022-02-05
1