Bab 18: Perlakuan Khusus

Perlakuan Khusus

Meryn hanya diam memandangi lelaki itu sedang mencemaskannya. Ia rasakan sesuatu yang aneh di dalam dada. Ada rasa hangat yang memeluk. Juga rasa aman. Benak Meryn jauh lebih tenang setelah ia melihat Orlando baik-baik saja.

“Meryn, kamu dengar aku?” tanya Orlando panik lantaran Meryn yang tak kunjung memberi respon.

“I’m fine,” jawab lirih Meryn sambil berusaha bangun dari tidur.

“Hati-hati, tubuhmu masih lemah.” Lelaki itu membantu Meryn duduk dan mengatur tumpukan bantak untuk menyangga punggung Meryn.

“Aku tau semuanya.” Meryn mendesus pelan beberapa saat setelah ia duduk di atas ranjang tidurnya dengan infus yang masih menancap di tangan. Pandangannya jatuh. Tak peduli berapa lama ia terbaring di tempat ini dan berapa lama ia tak sadarkan diri setelah terkena tembakan itu, momen terakhir yang Meryn ingat adalah saat dirinya disekap di tempat mafia bernama Javer.

“Apa yang kamu dengar dari Javer?” tanya Orlando serius. Ekspresi paniknya hilang. Ia menatap Meryn dengan tatapan hangat.

Mereka bertatap-tatap setelah Meryn menaikkan matanya. Keduanya bertatapan lama.

“Siapa ayahku, dan ... tentang Henry. Benar katamu, dia bukan orang baik. Dia pantas menerima kematian itu,” kata Meryn.

“Aku sudah membunuhnya ... untukmu.”

“Harusnya aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri, Orlando.” Meryn menegaskan.

Lelaki itu terdiam beberapa detik. Menatap dengan pasti semburat kemarahan yang terpancar di bola mata Meryn. Sejenak berada di Milan telah membuat Meryn tahu banyak rahasia yang bahkan selama ini tidak pernah ia dengar. Meryn pasti hancur. Meryn pasti merasa sangat bodoh. Ia pasti sangat marah mendapati apa yang telah dilakukan John Patrizia dan bahkan Henry, lelaki yang dulu pernah ia cintai.

“Aku tidak ingin membuat tanganmu kotor, Meryn. Biar aku yang membunuh mereka semua untukmu.” Orlando berucap dengan tegas.

“Percuma! Agghh.”

Kepala Meryn seketika pening ketika emosinya bergejolak naik. Tubuhnya terperanjat. Rasa nyeri menjalari seluruh tubuhnya.

“Kamu butuh banyak istirahat,” kata Orlando sambil membuat kepala Meryn menyandar di tumpukan bantal belakang punggungnya. Ketika itu pandangnya jatuh menatap kilau kehijauan dari manik mata Meryn.

“Darah mafia sudah mengalir di darahku, Orlando. Aku tidak jauh berbeda darimu, dari ayahku, dan dari lelaki tua bernama Javer itu. Aku sama seperti kalian.” Meryn lanjut berucap.

“Kamu berbeda, Meryn.” Orlando memotong dengan tegas. “Dari kecil kau sangat berbeda dari kami. Begitulah Luca merawatmu sebagai putrinya. Ayahmu, yang bahkan bisa membunuh puluhan orang dalam semalam, tidak bisa melukai satu orang saja di depan matamu. Dia tidak pernah membiarkanmu melihat kekejaman seorang mafia. Seperti itulah kamu tumbuh. Sekarang, aku yang menggantikan posisi itu. Biar aku yang melakukan semua pekerjaan kotor untukmu. Aku sudah membunuh mereka semua ... untukmu.”

Meryn terdiam. Ia tidak bisa mengartikan jenis perasaan apa yang menyusup ke dalam hatinya saat ini. Melihat lelaki itu berkata penuh tekad membuat Meryn merasa aman dan terlindungi. Tapi di sisi lain kemarahannya sudah membumbung. Ia merasa tidak bisa diam saja di saat semua orang telah memanfaatkan dirinya untuk tujuan pribadi; seperti Henry, bahkan manusia yang selama ingi ia panggil ayah dan ibu.

“Kenapa harus kamu?” Meryn bertanya lirih. “Kenapa kamu sangat menginginkanku? Kenapa kamu harus melakukan banyak hal untukku? Apa kau sama seperti mereka yang hanya menginginkanku untuk sebuah tujuan?” imbuhnya tajam.

“Aku berhutang nyawa padamu,” jawab Orlando tanpa pikir panjang. Ia membelai wajah Meryn yang tersentak oleh jawaban yang didengarnya. “Di masa yang sangat dulu, kamu menyelamatkanku, Meryn. Aku nyaris mati di tangan ayahmu, Luca. Tapi kau membuatku selamat. Kamu menyelamatkanku.” Lalu pandangan Orlando turun ke perut Meryn. Mengangkat baju piama Meryn untuk melihat luka bekas sayatan operasi pengangkatan peluru sebulan yang lalu. Jari tangan Orlando membelai bekas sayatan yang sudah mengering, membelai perut Meryn.

“... Nggak cuman sekali kamu selametin aku. Tapi dua kali. Kalau bukan karenamu, mungkin aku sudah mati tertembak.”

Perutnya yang dibelai kembut membawa rangsangat menyenangkan yang tak dapat Meryn tolak. Tubuhnya masih terasa lemas. Tapi sesuatu membuatnya merasa semakin bertenaga. Kedua mata Meryn terpejam menikmati oksitoksin yang mulai menjalar ketika Orlando menyentuh bagian perutnya, bagian yang paling peka di antara tubuh Meryn lainnya.

Melihat Meryn yang berkedip-kedip bahkan terpejam membuat Orlando tahu bahwasannya Meryn menikmati sentuhnya ini. Kalau diingat-ingat, ciuman mereka di tempat penyekapan Javer itu berhenti dengan menggantung. Haruskah ia melanjutkan ciuman itu sekarang? Meryn sudah sadar, dan wanita itu butuh ‘perlakuan khusus’ untuk memulihkan tenagaganya.

Wajah Orlando perlahan-lahan turun tepat di atas perut Meryn. Ia menarik piama yang mengekspos perut Meryn tepat di depan wajahnya. Bibir Orlando pun mendarat tepat di atas sayatan operasi yang masih tampak rapuh. Ia menciumi tepat di tempat peluru yang ditujukan padanya menembus perut bagian kiri Meryn. Bibir Orlando mengecup. Lidahnya menjulur keluar dan membelai tepat di bagian itu, sampai di pusar.

“Haahhh.”

Desah nikmat terlontar dari bibir Meryn. Tangan kanannya berpegang pada ranjang tidur. Tangan kirinya berpegang pada bantal yang menopang kepalanya. Matanya melirik ke arah Orlando. Melihat bagaimana lelaki itu memanjakan tubuhnya yang masih lemah.

Melihat Meryn yang semakin nyaman akan perlakuannya ini, Orlando pun naik ke atas ranjang. Ia menyelaraskan posisi duduknya dengan Meryn, melihat wanita itu menuntut.

“Kenapa berhenti?” protes Meryn.

Orlando tersenyum. Ia berbisik, “Aku hanya perlu izinmu.”

“Lakukan sekarang, seperti yang kulakukan padamu sebelum keberangkatan kita ke Milan.” Meryn memerintah.

“Dengan senang hati, Nyonya.”

Tanpa basa-basi Orlando menuruti perintah wanitanya. Orlando mencium bibir Meryn. Lalu tubuhnya menyusup ke dalam selimut tebal yang menutupi kaki Meryn. Kepalanya diapit oleh kedua paha Meryn. Kemudian ia melakukan sesuatu yang seketika membuat Meryn mengeliat. Perutnya masih terasa sakit, tapi kenikmatan itu tak bisa membuat Meryn diam di atas ranjangnya.

*

Di atas ranjangnya Meryn kembali terbaring lemas. Kenikmatan itu membuatnya lupa pada segala rasa sakit yang ada di tubuhnya. Tapi sekarang semua nyeri itu terasa, setelah ia mencapai puncak lewat buaian bibir dan lidah Orlando yang lincah.

“Kepalaku pening,” keluh Meryn pada Orlando yang ikut terbaring di sebelahnya.

Orlando melihat jam di dinding.

“Sebentar lagi dokter datang buat menyuntikkan obat,” jawabnya menenangkan.

Sambil menghela napas pelan Meryn memiringkan tubuhnya ke samping, memeluk tubuh Orlando yang terbaring menatap langit-langit ruang.

“Kapan aku bisa pergi ke Milan lagi?” tanya lirih Meryn.

“Untuk apa kamu ke Milan lagi?”

“Ada urusan yang belum aku selesaikan di sana.”

“Apa?” tanya Orlando. “Ayah dan ibu angkatmu sudah mati. Calon suamimu yang kurang ajar itu sudah mati. Bahkan temanmu yang menembakmu itu sudah mati. Apa lagi urusanmu di Milan?”

Meryn bergeming.

“Jessica ... mati?” tanyanya ragu.

“Dia sudah bersekongkol dengan Javer untuk menculikmu, Meryn. Dia seorang penghianat. Tidak ada balasan yang setimpal untuk pengkhianat selain kematian. Hari itu juga Paulo sudah menembaknya mati, tepat setelah dia menembakmu.” Orlando menjelaskan.

“Aku harus cari tau tentang ayahku,” tukas Meryn.

Orlando tersentak. Ia seketika bangun dan menatap tubuh Meryn yang masih terbaring.

“Ayahmu De Luca, seorang mafia, dia sudah meninggal berpuluh tahun yang lalu.” Orlando menjelaskan singkat.

“Itu tidak cukup, Orlando. Aku harus cari tau bagaimana ayahku bisa meninggal kalau dia seorang mafia,” timpal Meryn.

“Menjadi mafia bukan jaminan seseorang tidak bisa mati, Meryn.”

“Aku perlu cari tahu kenapa aku sampai di tangan keluarga John patrizia. Dan di mana semua kekayaan yang dimiliki ayah kandungku. Dia mafia kan? Pastinya ayahku punya banyak kekuasaan dan banyak kekayaan, seperti keluargamu.”

Mendengar semua itu, Orlando terdiam. Gelagatnya membuat Meryn curiga.

“Kamu tahu sesuatu tentang ayahku, kan?” desus Meryn.

Orlando segera turun dari ranjang dan mengalihkan pertanyaan itu.

“Kamu tidak akan bisa pergi meninggalkan pulau ini lagi sebelum kita menikah. Kamu sudah berjanji, akan menikah denganku kalau aku menuruti keinginanmu pergi ke Milan waktu itu. Aku sudah turuti, kan? Sekarang kamu nggak akan bisa pergi meninggalkan pulau ini sebelum kita menikah.”

*

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

penasaran tor aku tunggu up nya ceritanya bagus

2022-01-25

1

Ria Soehartono

Ria Soehartono

jangan bilang luca mati gr2 orlando thor,

2022-01-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!