Bab 2: Kastel Dominic

Bab 2: Kastel Dominic

Dengan gaun pengantin yang sama, Meryn masih terbaring di atas ranjang tidur besar. Bius yang disuntikkan ke dalam tubuhnya bereaksi lebih lama dari dugaan. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu. Meryn belum sadarkan diri.

Beberapa menit kemudian tubuhnya mulai menggeliat kecil. Matanya mengerjap-ngerjap di dalam pelupuk. Kening Meryn seketika mengernyit saat ia sudah tersadar dari bius. Pusing pun melanda kepalanya. Ia merasakan kepalanya berdentum-dentum. Terdengar suara tembakan dari seluruh penjuru ruang, seperti adegan tepat sebelum ia dibius dan pingsan.

Menyadari itu, Meryn langsung terperanjat bangun. Matanya terbuka lebar, melihat tempat yang sama sekali asing untuknya. Ia tengah duduk di atas ranjang besar dengan seprei berbahan sutera warna indigo. Mendapati sebuah ruangan dengan interior megah yang acap kali ia lihat dalam film-film abad pertengahan. Seperti ruangan dalam istana, atau semacam kastel. Ukiran-ukiran mewah mengisi seluruh sudut ruang. Dinding berwarna emas dan lampu ruang superbesar yang menggantung begitu elegan.

“Aaagghh.”

Tiba-tiba kepalanya berdenyut. Seketika itu ia menunduk dan memegangi kepalanya yang berdenyut. Lalu ia lihat tubuhnya dalam balutan gaun pengantin.

“Ha?!”

Memorinya berputar ke belakang. Momen saat ia menikah dengan Henry di dalam gedung The Katedral Milano. Saat ia mendengar Henry mengucapkan sumpah pernikahan. Lalu lanjut dengan dirinya yang melontarkan sumpah itu. Dan serangan tiba-tiba komplotan mafia yang membunuh ayah, ibu, dan suaminya!

“Henry?!” pekik Meryn. Namun ia tidak yakin. Rasa-rasanya ia seperti baru saja bermimpi, dan bukan mengalami kejadian itu sungguhan. Tanda tanya besar mengapa dirinya bisa ada di tempat ini juga masih belum terpecahkan.

Dipenuhi tanda tanya, Meryn seketika bangun dari kasur. Ia beranjak turun untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Jangan bangun dulu. Tubuhmu belum sepenuhnya bebas dari bius.”

Tiba-tiba sebuah suara menyahut seiring suara pintu ruang yang terbuka. Tampak seorang lelaki usia 35 tahun yang masuk dengan langkah jenjangnya. Wajah itu ... wajah yang sempat Meryn lihat di pesta pernikahannya. Wajah yang menembak mati kedua orang tuanya, dan yang melubangi kepala Henry dengan peluru.

“Ha!”

Meryn langsung bergidik takut saat melihat wajah Orlando. Ia membungkam kedua mulutnya yang ingin berteriak kencang. Rupanya ia tidak mimpi. Rupanya ia benar menyaksikan orang-orang terbunuh dalam pesta pernikahannya. Rupanya Henry dan kedua orang tuanya sudah meninggal.

Langkah Meryn seketika terhuyung ke belakang melihat lelaki itu berjalan makin dekat. Meryn tahu pasti sekejam apa kelompok mafia Dominic. Tak hanya dirinya, tapi semua penghuni Italia tahu tentang kekejaman mereka.

“Tidak usah takut. Aku tidak akan melukaimu,” ucap Orlando sambil terus berjalan mendekati Meryn. Sementara Meryn terus berjalan mundur hingga punggungnya terbentur dinding. Lantas Orlando mendekati wajahnya.

“You kill my father! You kill all of my family. You kill ... my husban.” Meryn mendesus ketakutan saat lelaki itu menggapai pinggangnya. Air mata Meryn mulai bercucuran. Namun wanita itu menahan diri karena tak ingin terlihat semakin rapuh di depan mafia berdarah dingin yang telah membunuh semua orang tersayangnya.

“Suami? Dia belum menjadi suamimu. Pernikahan kalian sudah batal.” Orlando berucap.

Geram, Meryn melayangkan telapak tangannya di wajah Orlando.

Plaakkk!

Ia menampar pipi lelaki itu lalu melepaskan tubuhnya dari cengkeraman. Berjalan menjauh dari Orlando yang tercengang oleh tamparan itu.

“Menjauh kau brengsek! Aku tidak akan memaafkanmu seumur hidup. Aku tidak akan memaafkan seseorang yang telah merenggut segalanya dariku. Jangan mendekatiku. Aku tidak sudi engkau sentuh!” teriak Meryn geram pada Orlando yang sayup-sayup mulai dikerubuti amarah.

Tak menunggu lama lagi, Meryn berlari keluar meninggalkan ruang terkutuk itu dengan kaki telanjang. Ia berlari sekencang yang ia bisa dengan menenteng rok pengantin yang berat. Meryn berlari menyusuri lorong bangunan kastel yang amat megah ini. Turun melewati tangga yang meliuk seperti lekukan bulan sabit. Lalu ia melihat sebuah pintu keluar besar berbahan kayu jati. Tanpa pikir panjang ia membuka pintu itu dan keluar dari bangunan megah kastel yang berdiri di tengah-tengah pulai pribadi.

Ya, pulau pribadi!

Seketika melihat pemandangan luar, tubuh Meryn tercengang. Ladang hijau, beteng beton, dan hamparan luas laut mediterania. Ia tercenung. Melihat ke langit. Dan barulah ia menyadari dirinya terkunci di pulau pribadi milik seorang mafia.

“Kamu tidak akan bisa keluar dari pulau San Dominic. Kamu sudah terkunci di sini.”

Dari belakang, Orlando datang dengan langkahnya yang ringan. Ia tampak sangat tenang dengan memutar-mutar jam tangan yang ada di pergelangannya. Tak menunjukkan kekhawatiran sama sekali kalau Meryn akan kabur darinya. Karena memang tidak ada cara kabur dari tempat ini kecuali dengan helikopter pribadi milik Orlando yang ada di atap bangunan kastel.

“Siapa kamu? Apa maumu mengurungku di tempat ini?!” Dengan dikerubuti emosi, Meryn bertanya lantang kepada Orlando. Ia sungguh tak habis pikir pada mafia yang telah melibatkannya dalam situasi konyol seperti ini. Hari pernikahannya sudah hancur. Kekasihnya meninggal dunia, keluarganya meninggal dunia. Dan ia dikurung di tempat yang sama sekali tidak pernah ia tahu. Meryn memperlihatkan seluruh kesedihan dan juga amarah lewat manik mata hijaunya yang menatap tajam Orlando Dominic.

Pelan, Orlando melangkah mendekat. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Meryn yang masih menatapnya penuh geram.

“Akulah yang harusnya menikah denganmu, Sayang, bukan lelaki sialan bernama Henry itu,” ucap lirih Orlando.

“Jangan sebut nama kekasihku dengan mulut kotormu itu!” timpal Meryn.

“Kamu mau apa lagi? Dia sudah mati.”

Plakkk!

Sekali lagi, Meryn menampar wajah Orlando karena tak bisa menahan gejolak emosi yang bergumul di dalam dadanya. Setengah mati ia ingin membunuh lelaki sialan yang ada di depan wajahnya ini. Namun ia tahu dirinya tak akan mampu membunuh lelaki itu tanpa senjata apa-apa.

Mendapatkan tamparan sekali lagi, Orlando tersenyum getir. Tamparan seorang wanita tidak pernah sesakit itu. Tapi rasa sakitnya ada di tempat lain, di dalam hatinya.

Orlando yang sejak tadi mencoba menahan diri melihat sikap Meryn yang seperti ini, rupanya sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi.

“Aku mencoba bersikap jantan pada seorang wanita. Tapi kamu yang berbuat kasar terlebih dahulu,” gumam pelan Orlando menatapi Meryn yang melihatnya penuh benci.

“Tciuhh!”

Tak hanya menampar, sekarang wanita itu meludahi wajah Orlando. Membuat lelaki itu makin geram dan tak ingin menahan diri lagi pada wanita kasar seperti Meryn.

Penuh amarah, Orlando langsung mencengkeram leher Meryn dan menghimpit tubuh wanita itu di tembok kastel. Ia mencekik leher Meryn sementara kedua tangan Meryn berusaha melepaskan cengkeraman yang nyatanya tidak berhasil. Tenaga lelaki itu tidak bisa dikalahkan oleh Meryn.

“Kamu tidak akan bisa lepas dariku, karena dari awal engkau adalah milikku! Di sinilah tempatmu, di kastel paling megah milik keluarga Dominic. Di pulau pribadi San Dominic. Menjadi wanitaku! Jangan terus-terusan memainkan kesabaranku di saat aku telah berusaha bersikap baik kepadamu, Meryn De ... Luca!”

Wajah Meryn memerah karena dirinya tak bisa bernapas. Selesai meluapkan amarahnya, Orlando langsung melepaskan cengkeraman tangannya dan membiarkan tubuh Meryn jatuh ke lantai. Seketika jatuh, wanita itu langsung menarik oksigen sedalam-dalamnya karena sesaat lehernya tercekik dan tak bisa bernapas. Seiring dengan itu, air matanya kembali menetes. Ia menangis terisak sementara Orlando masih mengendalikan emosinya yang baru saja meluap.

Lelaki itu meninggalkan Meryn di teras kastel sementara dirinya masuk untuk mencuci wajahnya yang baru saja diludahi. Di depan wastafel ia membasuh wajahnya. Lalu menatap dirinya di depan cermin. Seiring emosinya yang reda, rasa bersalah itu muncul. Ia menyesal hampir saja membunuh Meryn yang sejatinya ia sayangi.

“Shit!”

Orlando mengumpat sambil memukul meja wastafel dengan tinjunya. Diperlakukan seperti sampah oleh wanita yang ia sayangi tentu saja membuatnya marah sekaligus terluka. Namun jika meluapkan kemarahannya ia akan menyesal seperti ini. Ia telah melukai Meryn.

Lelaki itu menata perasaannya selama beberapa menit di depan cermin wastafel. Lalu ia mengeringkan wajahnya dengan handuk dan kembali ke teras untuk menemui Meryn di sana yang masih menangis terisak. Lelaki mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang dicintainya menangis? Tak peduli kalau ia adalah seorang mafia berdarah dingin, Orlando tetaplah manusia biasa yang memiliki perasaan dan juga emosi.

“Kamu akan aman di tempat ini. Tidak usah khawatir,” ucap Orlando saat mencoba membangunkan tubuh Meryn.

“Kamu ingin membunuhku!” desus Meryn di sela isak tangisnya.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud.”

Dengan matanya yang berlinang air, Meryn melirik tajam ke arah mata Dominic. Tubuhnya dipenuhi amarah, rasa takut, dan juga kesedihan. Namun ia sudah terlanjur lemas dan tidak berdaya. Ia terlalu hancur untuk berpikir rasional. Akhirnya Meryn pun diam dan tidak memprotes saat tubuhnya didekap lalu digendong oleh lelaki perkasa yang hampir saja membunuhnya.

*

Terpopuler

Comments

Muta Mimah

Muta Mimah

lanjut2..
AQ yg pertma comen lho.

kygnya seru nih.pkoknya jangan langsng bucin2n.
perlu perjuangan demi perjuangan.ok kakak author🤗🤗✌️✌️💪🙏🙏🙏

2022-01-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!