Gadis Kecil Penyelamat
Dalam gelap ruang tidurnya, tubuh Orlando mengeliat kecil. Hujan deras dan suara petir yang ada di luar rupanya membuat tidur lelaki itu tak semakin nyenyak. Sepertinya ia sedang bermimpi buruk, seperti malam-malam sebelumnya dan malam-malam yang telah ia lewati sepanjang hidupnya.
Ia kembali pada kejadian delapan belas tahun silam, tatkala ia dan ayahnya berada di rumah seorang musuh mafia untuk negosiasi bisnis. Orlando yang saat itu tepat berusia tujuh belas tahun telah belajar berbisnis ala organisasi mafia yang dijalankan ayahnya. Ia ikut bersama sang ayah ke kediaman Luca, dan mengikuti proses negosiasi.
Semula semuanya baik-baik saja. Dua komplotan mafia yang telah bermusuhan lebih dari sepuluh tahun itu setuju untuk melakukan bisnis bersama tanpa memedulikan kejadian di masa lalu. Tapi tiba-tiba terjadi perdebatan sengit setelah satu nama diluncurkan. Maria.
Tanpa diduga pasukan Luca lebih dahulu menyerang. Mau tidak mau, San Dominic menyuruh pasukannya untuk maju menyerang pasukan Luca. Situasi sudah cukup runyam dengan hujan peluru yang mengepung rumah Luca. Orlando yang ketika itu masih terlalu muda, berlari tanpa arah dan masuk ke dalam bangunan kecil mirip gudang. Ia bersembunyi di sana dan menunggu pasukan ayahnya datang menyelamatkan. Namun, keberadaannya diketahui oleh Luca, yang memiliki dendam atas kelahirannya.
“Kamu putra yang dilahirkan Maria?” Luca datang dengan pistol di dalam genggaman. Api kemarahan, seperti rasa cemburu dan terluka, memenuhi bola matanya sata menatap Orlando Dominic. Luca pun berjongkok untuk menyelaraskan pandangan dengan Orlando yang terkapar karena kakinya tertembak.
“Aku tidak tahu siapa ibuku,” jawab Orlando dengan rasa takut.
Luca tersenyum menyeringai. “Mungkin karena dia tidak ingin melahirkanmu. Karena seharusnya kau tidak pernah lahir,” desusnya dengan seringaian. Lalu ia mengarahkan ujung pistolnya tepat di atas kening Orlando. Ia menarik pelatuk pistolnya, bersiap meluncurkan peluru.
“Papa!”
Suara seorang gadis kecil memanggil. Luca buru-buru menyingkirkan pistolnya dari kening Orlando. Tak peduli kalau dirinya seorang mafia yang telah membunuh banyak orang, di depan mata putrinya ia tidak bisa membunuh seseorang.
“Sayang, kenapa kamu keluar?” pekik Luca melihat putri kecilnya yang baru berusia tujuh tahun itu berjalan mendekat. Dalam genggaman gadis yang mungil itu, terdapat satu butir bunga pinus yang sudah kering.
“Papa, aku tidak bisa tidur karena ada keributan,” curhat si gadis kecil itu sambil melirik tepat ke arah mata Orlando
“Ayo, ikut papa masuk.”
Luca segera beranjak berdiri dan lantas menggandeng tangan kecil putrinya. Ia mengajak gadis kecil itu menjauh dari lelaki yang nyaris saja ia bunuh karena rasa cemburu.
Sambari berjalan menjauh, gadis kecil itu menoleh ke arah Orlando. Ia tersenyum manis, seperti sebuah isyarat kalau gadis itu sengaja menghentikan pembunuhan ayahnya. Matanya hijau jernih seperti lautan zamrud. Senyumnya betapa manis. Orlando melihat kemurnian terpancar pada gadis kecil yang rupa-rupanya tahu ia hendak dibunuh oleh sang ayah. Dan, sebelum gadis itu semakin jauh, ia melemparkan bunga pinus keringnya ke arah Orlando.
Orlando memungut bunga pinus kering itu tanpa mengalihkan pandang dari gadis kecil penyelamatnya. Hari-hari setelahnya, gadis kecil bermata hijau itu selalu bermunculan di mimpi Orlando. Mengusiknya seperti suara ombak lautan. Dan sampai detik ini gadis itu masih terus mengusik.
Mimpi buruknya tentang kejadian penembakan itu selalu berakhir dengan indah dan damai berkat gadis kecil bermata hijau. Mimpi yang semula buruk, berubah menjadi indah dan menenteramkan. Orlando tidur dengan damai ditemani suara hujan badai dan petir, juga gadis kecil yang senyum kemurniannya melekat bersemi dalam ingatan. Lelaki itu semakin pulas. Setidaknya sebelum mimpi-mimpi buruk yang lain berdatangan setelahnya.
*
Di kamar tidurnya, Meryn tampak tak bisa tidur. Matanya tak bisa terpejam meski sekuat tenaga ingin mencoba tidur. Ia hanya bisa mebolak balik badan di atas kasur. Sambil terus memikirkan setiap kalimat yang terlontar dari mulut mafia itu.
Kenapa ia merasa sangat terusik akan semua yang lelaki itu katakan? Hati kecil Meryn merasa seperti sedang berada di ujung jurang. Ada sesuatu yang membuatnya begitu tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang berusaha ia sangkal dalam ingatannya.
Ia memikirkan kembali masa kecilnya. Bertanya-tanya mengapa bunga pinus kering yang tadi ia temukan di jalan terasa sangat familiar di genggamannya. Dan ia temukan satu kejanggalan lagi. Ia tidak mengingat apa-apa sebelum usianya sepuluh tahun. Ayahnya, John Patrizia, pernah bercerita kalau sewaktu kecil Meryn pernah terlibat kecelakaan. Usianya waktu itu sepuluh tahun. Dan ia kehilangan ingatannya. Itulah sebabnya John amat protektif pada Meryn. Melarang Meryn melakukan banyak hal tanpa diawasi pengawal. Khawatir Meryn akan ‘terluka’ lagi hingga harus kehilangan ingatan seperti saat ia berusia sepuluh tahun.
Tapi, siapa itu De Luca, nama yang disebut-sebut oleh Orlando? Seolah-olah Meryn yang saat ini bukanlah Meryn yang ia kenal. Seolah lelaki itu tahu suatu rahasia besar yang tak Meryn tahu tentang dirinya sendiri.
Meryn beranjak dari kasur. Ada sesuatu yang aneh tentang ingatannya yang hilang sewaktu ia berusia sepuluh tahun. Ada rahasia ebsar yang disembunyikan keluarganya. Dan barangkali Orlando, yang sempat bilang ‘aku membunuh mereka untukmu’ mengetahui rahasia itu.
Setelah berpikir panjang Meryn berjalan keluar dari kamarnya. Lorong serba gelap. Ia hanya mendengar suara derasnya hujan. Dan kilatan petir yang terlihat dari jendela kaca.
Meryn berjalan di antara gelapnya kastel Dominic di saat malam. Di setiap sudur ruang itu, ia melihat para penjaga, yang sebagian besarnya tidur dalam keadaan duduk.
Di iringi kegelapan itu Meryn menyelinap masuk ke kamar yang ta tahu sebagai kamar tidur Orlando Dominic. Satu-satunya kamar tidur yang terletak di lantai empat kastel ini.
Kedatangan Meryn ke ruangan itu begitu senyap. Ia meninggalkan sendalnya di kamar tidurnya tadi supaya langkahnya tak terdengar.
Di atas ranjang, lelaki itu tampak tidur lelap. Bola matanya di balik pelupuk bergerak-gerak, tubuhnya beberapa kali menjingkat. Sepertinya ia sedang bermimpi. Meryn mengabaikan lelaki yang sedang lelap itu, dan mencari senjata yang biasa digunakan Orlando untuk membunuh.
Meryn mencari di dalam semua laci. Tapi tidak ada. Pelan-pelan tangannya merogoh ke dalam pakaian yang tergantung di tiang. Namun juga tidak ada. Ia menoleh pada Orlando, melihat bantal yang ada di bawah kepala lelaki itu.
Seketika ia berjalan pelan menuju ranjang. Dengan sangat pelan ia menyusupkan tangannya ke bawah bantal tidur Orlando, mencari senjata untuk mengancam lelaki itu dan memaksanya menceritakan semua yang ia tahu kepada Meryn.
Setidaknya rencana itu yang ada di kepala Meryn saat mencari pistol yang biasa dipakai Orlando Dominic. Ia ingin mengancam lelaki itu supaya menceritakan semua yang terjadi.
Tangan Meyrn mengusup semakin dalam. Ia merasakan ada benda keras di bawah bantal Orlando. Tepat sebelum ia meraih benda itu, tangannya justru dicengkeram.
“Kamu mencari ini, Sayang?”
Dengan cekatan lelaki itu menarik pistol di bawah bantal dan mengarahkannya ke dagu Meryn. Meryn terpaku. Sejak kapan lelaki itu bangun? Batinnya bertanya-tanya sambil menahan degup jantungnya yang amat kencang.
“Sejak kapan kamu bangun?” desus lirih Meryn. Ia sama sekali tak takut melihat pistol itu. Ia sudah mulai terbiasa dengan pistol. Tak ada lagi rasa takut saat melihatnya.
“Sejak aku mencium aroma tubuhmu.”
Orlando menarik pinggang Meryn dan seketika membuat Meryn terguling di atas ranjang bersamanya. Dalam sekejap, posisi Meryn sudah terbaring di atas ranjang. Ia terbaring di bawah tubuh Orlando yang mencengkeram kedua tangannya, dengan pistol yang masih terasah pada dagunya.
“Kamu sendiri yang menyelinap masuk ke kamarku. Jangan salahkan aku apa yang akan terjadi setelahnya,” desus pelan lelaki itu sambil menggunakan pistolnya untuk membelai wajah Meryn.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments