Bab 3: The Pain
Pandangan Meryn hanya kosong menatap hamparan laut tengah lewat jendela ruang. Ia adalah seorang yang tengah berada di posisi terbawa kehidupan setelah mendapati seluruh orang yang ia sayangi meninggal secara tragis di tangan mafia.
Memori Meryn kembali berputar ke belakang. Ia mengingat saat-saat bahagia yang ia habiskan bersama Henry, lelaki yang harusnya mengisi malamnya ini sebagai seorang suami, yang telah pergi meninggalkannya dari dunia.
Di ambang pintu masuk menuju kamar Meryn, Orlando memandanginya dalam keheningan. Lebih dari siapa pun, ia sangat tahu kehancuran macam apa yang tengah Meryn hadapi. Dalam situasi ini ia hanya bisa terdiam memandangi Meryn dari kejauhan.
“Anda tidak mau menemaninya, Bos?” tanya Paulo yang datang mendekati Orlando.
“Dia akan menamparku lagi kalau aku mendekat.”
“Apa yang akan Anda lakukan?”
“Menunggu.” Lalu Orlando menolehkan kepalanya ke arah lain. “Aku akan tunggu sampai kapan pun. Sampai ia mau berbicara lagi denganku. Lantas aku akan menjelaskan semuanya ... tentang keluarganya.”
Orlando menengok ke arah jam tangan. “Siapkan helikopter sekarang. Aku harus terbang ke San Marino,” ucap Orlando sambil berjalan jauh meninggalkan kamar Meryn.
“Bagaimana dengan Nona Meryn?”
“Perintah saja semua pelayan untuk memperlakukannya sebaik mungkin,” kata Orlando. Ia menghentikan langkah sejenak, menoleh pada Paulo yang berdiri di sebelah. “Dan panggil aku buat ke sini lagi setelah dia mencariku. Aku tidak peduli sampai kapan!”
Setidaknya sampai saat ini ia tahu dirinya tak bisa mendekati Meryn yang masih dalam situasi berkabung. Tak peduli kalau Orlando merasa bahwa membunuh keluarga Meryn adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk Meryn, Meryn tidak akan mengerti itu dan akan membencinya untuk sementara waktu. Maka dari itu lebih baik ia menjauh dari Meryn untuk mengurusi bisnisnya yang kacau gara-gara penyerangan yang ia lakukan di hari pernikahan Meryn. Ia tahu hari-hari ini Meryn akan semakin benci kalau ia memaksakan diri mendekatinya.
“Baik, Bos.”
*
Kehilangan orang-orang yang disayangi memang sangat berat. Setidaknya sampai satu minggu lamanya Meryn tidak bisa melontarkan sepatah kata pun dan tidak berniat menginjakkan kakinya ke luar kamar. Ia terus mengurung diri dan diam-diam meredam kesedihannya untuk kemudian berpikir jernih kembali.
Tepat seminggu setelah insiden dalam pernikahannya. Ia baru teringat akan panggilan lain yang lelaki mafia itu gunakan untuk memanggil namanya.
“Meryn De Luca?” gumam Meryn saat memandangi wajahnya di depan cermin. “Kenapa dia memanggilku De Luca? Nama belakangku Patrizia, bukan De Luca.”
Seiring dengan pikirannya yang kembali jernih, Meryn pun mencurigai hal-hal detail tentang lelaki mafia yang telah mengurungnya di tempat ini. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada rahasia besar yang belum ia ketahui.
“Nyonya, air hangat untuk mandi Anda sudah siap.” Seorang pelayan wanita masuk ke kamar Meryn.
“Di mana lelaki itu?” tanya pelan Meryn dengan ekspresi wajahnya yang dingin.
“Siapa ... maksud Anda, Nyonya?”
“Lelaki mafia itu!” Meryn membentak.
“M-maksud Anda, Tuan Orlando Dominic?” sahut pelayan itu dengan tergagap-gagap.
“Benar. Dia mana dia sekarang?!”
“Be-beliau ada di San Marino untuk mengurusi bisnis.”
“Apa? Bisnis? Bisa-bisanya dia mengurus bisnis setelah membunuh banyak orang? Apa memang mafia sekejam itu?!” teriak Meryn emosi sambil menggebrak meja riasnya.
Bruaakk!
Suara gebrakan meja itu membuat si pelayan wanita menjingkat kaget. Namun ia tak bisa berkata apa-apa selain mundur perlahan-lahan meninggalkan Meryn di kamarnya sendirian. Lalu melaporkan pada atasannya bahwa nyonya yang ia layani sedang mencari majikannya.
Kabar itu sampai pada Orlando yang masih ada di dalam ruang rapat. Ia tengah mendengarkan presentasi seorang anak buahnya saat Paula masuk secara tiba-tiba.
Mendapati tangan kanannya masuk ruang rapat rahasia ini, Orlando mengacungkan tangannya, menyela sejenak rapat yang tengah berlangsung. Anak buah yang tengah melakukan presentasi itu pun menghentikan sejenak kegiatannya seketika melihat isyarat tangan Bos Besar.
“Nona Meryn sudah mencari Anda, Bos,” bisik pelan Paulo kepada Orlando.
Orlando tersenyum tipis di antara wajah seriusnya. Ia tetap menawan dengan senyum samar-samar yang lantas hilang.
“Aku sudah duga,” balas Orlando pelan. Lalu pandangannya kembali pada anak buahnya yang sedang menunggu untuk melanjutkan presentasi. “Selesaikan presentasimu dalam lima belas menit. Aku tidak punya banyak waktu lagi.”
“Siap, Bos.”
*
Dengan cemas Meryn menunggu kedatangan Orlando kembali ke kastel. Ia sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk lelaki itu seketika ia datang. Setelah menunggu beberapa jam, terdengar bunyi kedatangan helikopter di atap bangunan kastel. Meryn terkesiap mendengar bunyi kedatangan helikopter itu. Namun ia segera mengendalikan diri supaya tak kelihatan sudah sangat menanti. Ia mencoba bersikap tenang dan menunggu Orlando mendatanginya ke kamar tidurnya untuk berbicara.
“Kamu menungguku, Sayang?”
Dari arah pintu suara itu tiba-tiba menyahut. Orlando datang dengan langkah tegapnya, menghampiri Meryn yang menunggunya di bangku depan jendela.
“Jangan memanggilku sembarangan. Aku bukan siapa-siapamu.” Meryn memperingatkan.
Dengan ekspresi setengah mengejek Orlando tegas berbicara, “Setidaknya untuk saat ini kamu bisa berbicara begitu.”
Meryn seketika bangun dari duduk. Ia mensedekapkan kedua tangannya di depan dada. Sementara Orlando berjalan mendekat dengan wajah menawan dan senyum tipisnya yang tersimpul. Senyum kerinduan.
“Siapa De Luca? Kenapa sore itu kau panggil aku De Luca?” tanya Meryn sinis.
Seolah pertanyaan itu bukan apa-apa, Orlando menjawab dengan ringan. “Itu namamu.”
“Namaku Meryn Patrizia!”
“Itu setelah mereka mengganti namamu.” Orlando menyahut dengan tenang.
Sambil mengernyit bingung Meryn bertanya, “Apa maksudmu?” sambil mendekat ke arah Orlando. Ia sungguh tidak tahu apa yang lelaki itu bicarakan dan tak mengerti apa maksudnya.
Orlando menghela napas panjang-panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke meja rias Meryn. Menumpukan pantatnya di meja itu sambil menyilangkan kaki.
“Kamu sudah ditipu sama keluargamu sendiri, Meryn. De Luca adalah nama aslimu ... Meryn De Luca.” Orlando menjawab singkat.
Sungguh penjelasan yang sangat tidak menjelaskan. Meryn justru dibuat bingung oleh pernyataan Orlando.
“Apa maksudmu? Ceritakan dengan jelas!” teriak Meryn sambil mendekatkan wajahnya ke arah Orlando.
Seketika Orlando mencengkeram kedua bahu Meryn. Membuat mereka nyaris tidak berjarak. Wajah mereka amat berdekatan. Satu inci lagi Orlando menariknya mendekat, mereka sudah akan berciuman.
“Aku sudah menyelamatkan hidupmu, Meryn. Itu yang harus kamu tahu.” Dengan tegas dan tenang, Orlando memberitahukan itu kepada Meryn. Bahwa keputusannya membunuh seluruh anggota keluarga Meryn di kedung katedral itu adalah keputusan terbaik untuk kelangsungan hidup Meryn yang telah hidup cukup lama dalam bayang-bayang keluarganya sendiri.
Beberapa detik Meryn diam tanpa kata untuk mencerna kalimat Orlando. Dan sama sekali ia tak mengerti maksud yang diucapkan lelaki itu.
“Aku sama sekali tidak mengerti, Tuan Dominic!”
Orlando melepaskan cengkeraman tangannya pada tubuh Meryn. Lalu wajahnya berpaling.
“Pelan-pelan kamu akan mengerti, Sayangku. Yang harus kamu tahu hanya satu...”
Pandangan Orlando kembali kepada Meryn sebelum ia lanjut berucap, “Aku membunuh mereka semua untuk kamu.”
“Pembohong!” timpal Meryn. “Jangan jadikan aku alasan. Kamu membunuh mereka semua untuk dirimu sendiri! Mana mungkin aku bisa percayai kamu yang seorang mafia? Apa aku sudah gila?”
Meryn berteriak sambil beberapa langkah memundur dari Orlando. Mengingat betapa kejamnya seorang mafia berdarah dingin itu, Meryn merasa tidak bisa memercayai lelaki itu. Mana mungkin ia bisa percaya dengan lelaki yang telah membantai habis keluarganya? Kalau mengingat bagaimana bengisnya tragedi saat pernikahannya, batin Meryn masih ingin menjerit kesakitan. Saat ia melihat orang tuanya terkapar tak berdaya. Dan saat ia melihat bagaimana kepala Henry ditembus oleh peluru.
Sambil menjauh, air mata Meryn berlinang jatuh. Melihat Meryn yang kembali menangis, Orlando mulai merasa geram. Lelaki itu menyusul langkah Meryn. Kembali mencengkeram kedua pundaknya dan memberi peringatan.
“Sadarlah, Meryn. Sampai kapan kau akan lemah begini?! Sampai kapan kau akan diperdaya oleh mereka? Sampai kapan?! Aku sudah membawamu jauh-jauh kemari untuk membuatmu menemukan kembali jati dirimu. Sadarlah! Jangan biarkan kesedihanmu itu menggerogoti jiwamu sampai habis. Aku tidak menginginkan calon pengantin yang lemah seperti ini!” cetus Orlando sambil mencengkeram kedua pundak Meryn.
“Pe ... pengantin?”
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
maestuti dewi saraswati
next thor
2022-01-26
0