Masa Kritis
Darah masih bercucuran dari perut Meryn tatkala Orlando menggendongnya keluar dari bangunan klub yang merupakan tempat prostitusi Javer. Dengan penuh rasa panik Orlando menggendong Meryn berlari menuju mobil.
“Meryn, bertahanlah. Aku mohon, bertahanlah.” Orlando mendesus pelan melihat Meryn yang sudah tidak sadarkan diri dalam dekapannya. Mereka pun masuk ke dalam mobil yang dikendarai Paulo.
“Ke rumah sakit sekarang juga! Aku tidak akan memaafkan siapa pun kalau sampai Meryn mati!” teriak Orlando penuh emosi. Di kursi penumpang ia duduk mendekap Meryn. Tangan kanannya menekan perut Meryn dengan kain kemejanya untuk mencegah darah keluar lebih banyak. Sementara itu, Paulo mengemudikan mobil dengan kecepatan maksimal.
Di waktu yang sama saat Paulo menginjak pedal gas pada mobil, lelaki itu menekan sebuah tombol ****** yang ia pegang di tangan kirinya. Seketika itu juga terdengar ledakan besar yang berasal dari bangunan klub milik Javer. Merupakan bagian rencana yang Orlando bikin dengan Paulo. Di mana mereka meletakkan bom ‘kecil’ di lantai paling atas gedung bangunan Javer. Lantai itu yang saat ini meledak dan menimbulkan suara gemuruh. Puing-puing bangunan berjatuhan bersamaan dengan mobil Orlando yang berjalan menjauh menuju rumah sakit.
*
Satu jam sudah berlalu. Masih belum ada tanda-tanda baik dari para dokter yang sedang mengoperasi perut Meryn akibat tembakan yang ia dapat dari Jessica. Operasi darurat itu masih berlangsung penuh ketegangan. Di luar pintu, Orlando menunggu penuh rasa panik. Sementara ratusan anak buahnya berjaga mengelilingi rumah sakit, menjaga keamanan rumah sakit tempat dilaksanakannya operasi terhadap Meryn.
“Siapa yang mengoperasi Meryn? Kenapa lama sekali?!” Tidak sabar, Orlando beranjak dari kursi tunggu yang ada di lorong ruang operasi. Ia menatap Paulo tajam-tajam dan mulai meragukan kemampuan dokter bedah yang sedang mengoperasi tubuh Meryn.
“Beliau adalah Dokter Yanuer, salah satu dokter terbaik di kota ini, Bos. Anda tidak perlu khawatir,” jawab Paulo dengan tenang. Sejak memiliki calon pengantin, Orlando memang sering tidak rasional ... seperti saat ini.
“Awas kalau sampai Meryn tidak selamat! Aku bunuh semua orang yang ada di ruang operasi. Semuanya!” ketus Orlando.
“Anda harus sabar, Tuan. Akhir-akhir ini Anda sering bertindak tidak rasional.” Paulo menegaskan.
Orlando diam. Ia merenungkan kembali sikapnya. Lantas terduduk kembali di kursi ruang tunggu. Saat ini ia sudah kehilangan banyak hal. Ia kehilangan bisnis kasino yang telah didirikan ayahnya puluhan tahun silam. Dan hampir kehilangan Meryn. Kalau sampai Meryn tidak selamat, seumur hidup Orlando tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Semua ini terjadi karena kesalahannya. Andai ia tidak luluh oleh bujuk rayu Meryn dan membiarkan wanita itu tetap di pulau pribadi, Meyrn tidak akan kenapa-napa dan bisnis kasinonya akan baik-baik saja. Ia bodoh. Orlando mulai menyalahkan dirinya sendiri.
“Kamu benar, aku yang bertanggung jawab atas semuanya. Harusnya Meryn tidak pernah kembali ke Mylan. Ada banyak orang yang mengincarnya karena ikatannya denganku.” Setelah mengucapkan beberapa kalimat itu, Orlando menaikkan pandangan. Ia menatap Paulo yang menatapnya serius, seperti biasa. “Sekarang aku harus kembalikan semuanya. Meryn ... dan bisnisku.”
Tepat setelah itu seorang dokter keluar dari ruang operasi. Buru-buru Orlando berdiri dari duduk dan menjumpai dokter yang telah selesai mengoperasi Meryn itu.
“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Orlando panik.
“Operasinya berjalan baik. Tapi akan sulit untuk Nona Meryn sembuh seperti sediakala. Pelurunya sudah menyasar berbagai organ vital. Nona Meryn akan membutuhkan waktu lama untuk bisa pulih kembali,” jelas dokter itu.
Wajah Orlando mengerut marah. “Katamu operasinya berjalan baik, tapi kenapa Meryn tidak bisa sembuh seperti sediakala?” cetusnya.
“Bos, Anda tenang dulu,” sentak Paulo yang segera menenangkan Orlando yang tampak marah mendengar penjelasan si dokter.
“Maksud saya, peluru sudah kami angkat dan permasalahan organ juga sudah kami tangani dengan baik. Tapi kami belum bisa pastikan kapan Nona Meryn akan bisa siuman.” Dokter itu kembali menjelaskan.
“Hah.” Napas panjang Orlando terembus berat. Langkahnya memundur mendengar kalau dokter itu tidak bisa memastikan kapan Meryn akan bangun. Dalam rasa tercengangnya, Orlando menatap ke arah Paulo.
“Bagaimana, Bos?” tanya Paulo.
“Lakukan sesuai rencana kita.”
“Anda yakin?”
“Itu yang terbaik untuk Meryn daripada dia terus di sini dan semakin terancam,” jawab Orlando lugas.
“Baik. Saya akan siapkan perlengkapannya.”
*
Banyak hal yang berubah ketika Meryn terbaring tak sadarkan diri setelah peluru menembus ke dalam perutnya. Ia tidak yakin sudah berapa lama ia terbaring di atas ranjang yang empuk ini. Tapi rasa-rasanya bukan waktu yang sebentar.
Di atas ranjang itu mata Meryn mengerjap-ngerjap. Ia masih terbaring lemas dengan berbagai selang media yang membantu pengoptimalan kinerja organ tubuhnya. Luka sayatan operasi itu sudah kering selama beberapa minggu yang lalu. begitu pula lebam bekas rantai Javer itu sudah hilang tanpa meninggalkan bekas. Satu bulan sudah berlalu sejak hari penembakan. Meryn dibawa kembali ke pulau pribadi San Dominic untuk mendapatkan perawatan maksimal dari tim dokter yang ada di sini dan supaya tetap aman tanpa ancaman dari Javer yang hari itu marah besar karena gedungnya bagian atasnya hancur oleh bom.
Keadaan begitu ricuh di hari itu. Dua hari setelah operasi, saat Orlando telah membuka kembali landasan udara di pulau pribadinya yang lama tak beroperasi, Meryn dibawa kembali ke pulai ini menggunakan jet pribadi dengan pengawasan penuh para dokter. Sementara Orlando tertinggal di Milan bersama Paulo untuk menyelesaikan urusan bisnisnya.
Dua minggu kemudian Orlando akhirnya kembali ke pulau pribadi ini dan menengok keadaan Meryn yang masih sama seperti saat itu. Masih terbaring tidak sadarkan diri dengan dua dokter dan tiga perawat kastel yang menjaganya.
Hari ini Meryn mulai membuka mata setelah satu minggu ia melewati masa kritisnya. Bola matanya bergerak pelan di balik pelupuk. Perlahan, ia membuka mata.
Dokter yang berjaga di samping ranjangnya seketika memeriksa pupil mata Meryn setelah terbuka. Meryn masih tidak tahu dia ada di mana. Momen terakhir yang ia ingat adalah saat Orlando meneriakkan namanya begitu dirinya tertembak oleh Jessica karena menghadang tubuh Orlando. Ia masih ada di tempat penyekapan waktu itu. Dan sekarang, ia tidak yakin ada di mana.
“Nona Meryn, Anda mendengar saya? Coba kedipkan mata Anda sekali kalau Anda mendengar saya,” kata dokter berambut putih itu.
Meryn lantas mengedipkan matanya sekali, pelan sekali.
“Hh, syukurlah. Anda sudah sadar.” Dokter itu mendesus pelan.
Meryn masih berupaya mengumpulkan kesadarannya. Bola matanya bergerak menelusuri sekeliling. Melihat tipe interior ruangan dan juga ukiran berwarna emas yang mengisi hampir seluruhnya. Ia tahu pasti tempat ini. Kastel Dominic. Rupanya ia sudah dibawa kembali ke tempat ini setelah susah payah ia keluar dari sini.
“Orlando ... di mana?” Adalah kata pertama yang terlontar begitu lirih dari mulut Meryn.
“Beliau masih meeting virtual di lantai satu. Sebentar, saya panggilkan.” Dokter itu berucap.
Sayup-sayup Meryn melihat dokter itu melangkah keluar dari kamar tidurnya. Ia teringat kembali hari itu, saat dirinya di sekap di tempat Javer. Dan semua fakta yang ia dengarkan dari lelaki itu. Tentang ayahnya, tentang kekejaman keluarga Patrizia. Juga tentang Henry dan Jessica yang menghianatinya. Semua fakta itu begitu pahit untuk Meryn. Namun tak sepahit saat ia melihat Orlando nyaris tertembak oleh sahabatnya sendiri—penghianat.
Hari itu tanpa pikir panjang Meryn menghalangi tembakan itu mengenai tubuh Orlando. Sebab, hanya Orlando seorang yang kini Meryn miliki. Ia tahu siapa ayahnya dan semua kebenaran tentang Henry. Bahkan semua keluarganya tak lagi memedulikan dirinya yang hanya seorang anak angkat. Ia memerlukan Orlando untuk bertahan. Ia memerlukan lelaki itu yang tahu semua seluk beluk keluarganya, dan bahkan identitasnya sebagai putri seorang mafia.
Tak lama, Orlando masuk ke kamar Meryn dengan tergesa. Sepertinya lelaki itu meninggalkan rapatnya dan langsung menjumpai Meryn yang akhirnya bangun setelah satu bulan tidak sadarkan diri. Lelaki itu berjalan mendekat. Duduk di atas ranjang tidur Meryn. Menatap Meryn antusias dan begitu hangat.
“Meryn, are you okay now?” cetus lelaki itu sambil menggenggam tangan kiri Meryn.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Ria Soehartono
semangat terus up nya ya
2022-01-24
0