Salty Memories III
Rangkasbitung, tahun 2052
Akira menghempaskan badannya ke kasur. "Aarrgghh..." erangnya, kemudian ia tersenyum. Teringat kejadian tadi siang, Ghina, salah satu siswi idola disekolahnya kini menjadi pacarnya. Meskipun memang sebelumnya teman-temannya sudah memberitahukan padanya kalau Ghina memang menyukai dirinya, Akira masih tidak menyangka hal itu benar-benar terjadi.
Siang tadi, sepulang sekolah, Akira mengungkapkan perasaannya kepada Ghina. Ghina pun menerima perasaannya, dan merekapun resmi pacaran. Kalau mengingat momen itu, Akira jadi tersenyum-senyum sendiri. Ia sudah tidak jomblo lagi sekarang. Predikat "jomblo abadi" yang sering dilontarkan teman-temannya sejak dahulu pun sudah berakhir mulai hari ini.
Tok..tok..tok.. Bunyi pintu kamar Akira diketuk dari luar. "Akiraaa..? kamu sudah pulang? Makanlah dulu". Ternyata yang mengetuk ibunya Akira. "Iyaaa maah...", sahut Akira. Akira pun segera membuyarkan lamunannya dan beranjak dari kasurnya. Sejenak ia menatap keluar jendela kamarnya dan melihat awan cumulus berbentuk hati. Akira tersenyum melihatnya. "Sepertinya sore ini akan indah", gumamnya.
Di tempat lain.
Bofu sedang berlari-lari kecil mengejar Meylin sambil tertawa-tawa. Terlihat mereka sangat gembira. Teman-temannya yang lain cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka berdua. "Hoii.. pacaran sih pacaran! Tapi jangan kaya film india gitu donk! Bikin sakit mata ngeliatnya!" Elvin yang sudah tidak tahan melihat mereka berdua pun berteriak. Bofu dan Meylin mendadak berhenti berlari sambil saling menatap, kemudian menoleh kepada Elvin dengan bersamaan, kemudian tertawa lagi. "Sirik nih yeee... makanya jangan jadi jomblo.. hahhaaha.." Bofu dan Meylin bahkan mengucapkannya berbarengan. Elvin cuma bisa menghela nafas kasar. Ingin protes lagi, tapi memang sudah kenyataannya dia jomblo.
Elvin menatap langit sore yang begitu cerah di atasnya sambil menggumam, "langit cerah tapi gue kok gini amat yah".
Sementara Bofu dan Meylin sudah berhenti berkejar-kejaran dan sekarang sedang duduk di kursi taman menghadap ke arah barat untuk melihat sunset. "Langit yang indah, sebentar lagi sunsetnya pasti indah. Lihat! Bahkan ada awan berbentuk hati disana", kata Meylin. “Ah, masih lebih indah bola matamu, sayang”, ucap Bofu sambil tersenyum-senyum. “Apasiihh…! Gombal!”, seru Meylin, lalu mereka tertawa berbarengan.
Keesokan harinya. Seperti biasa Akira terbangun pukul 5.00 pagi. Tiba-tiba gawainya berbunyi. (gawai\=handphone). Akira mengambil gawainya, ada nama Ghina disana. "Halo", Akira mengangkatnya. "Akira... hiks.. tolong.. hiks.. hiks.. orangtuaku.. hiks..", suara Ghina terdengar sedang menangis. Akira sedikit terkejut, tapi langsung tanggap dan berkata, "oke Ghina, kamu di rumah kan? tunggu aku segera kesana". Akira segera turun dari kamarnya yang di lantai dua, berlari keluar rumah menuju ke rumah Ghina. Kebetulan rumah Ghina hanya berjarak 3 blok dari rumahnya, jadi ia bisa secepatnya pergi kesana.
Akira pun sampai di depan rumah Ghina. Dengan tergesa ia segera memasuki rumahnya. Di dalam rumah, ia mendapati Ghina masih menangis terduduk di kursi. Akira segera menghampirinya. Ghina mengangkat kepalanya ke atas, saat matanya melihat Akira, ia segera bangkit sedikit berlari untuk memeluk Akira. Dalam pelukan Akira, Ghina masih sesenggukan. "Sudah tenang dulu ya sayang. Tenang ya...", bujuk Akira sambil mengelus rambut Ghina. Akira sebenarnya ingin bertanya ada apa, tapi ia lebih memilih kekasihnya itu tenang dulu.
Setelah Ghina mulai sedikit tenang, Ghina pun mulai bercerita. "Orangtuaku meninggal, Kira. Hiks.. Mobil yang mereka gunakan untuk perjalanan dinas keluar kota ditabrak truk Pertamina, dan meledak... " sampai disitu Ghina kembali menangis. Akira sangat terkejut. Ia segera memeluk Ghina lebih erat. "Ya ampun, sayang... yang tabah yah sayang. Kamu kuat.. kamu kuat.." bisik Akira pelan sambil mengusap-usap rambut dan punggung Ghina. Akira menyadari, kehilangan kedua orangtua secara tiba-tiba pasti berat sekali.
Proses pemakaman orangtua Ghina berlangsung khidmat. Setelah jasadnya dikebumikan, satu persatu kerabat, tetangga, dan orang yang hadir mulai meninggalkan tempat itu.
"Ghina sayang, yang tabah ya nak. Kalau butuh apa-apa, bilang sama kita. Kamu tinggal bareng di rumah kita juga tidak apa-apa sayang. Kami sudah mengganggapmu seperti anak kami sendiri", kata ibu Akira kepada Ghina.
"iya, mah. Terimakasih.." jawab Ghina. "Kami duluan yah, nak Ghina." Kata ibu Akira lagi. Ghina menganggukan kepalanya. Ia terlihat masih sangat sedih. Kini hanya tersisa Akira, Ghina, Bofu dan Meylin di situ. Mereka semua hanya diam, tapi seolah seperti sudah saling mengerti satu sama lain. Betapa sedih hati Ghina, Akira dan yang lainnya seolah merasakan perasaan yang sama. Tanpa bicara, Akira memeluk pinggang Ghina dari samping, lalu mereka kemudian meninggalkan tempat itu juga.
Selama perjalanan pulang hanya kebisuan yang ada di antara mereka. Baik Akira, Ghina, Bofu dan Meylin masih tidak menyangka dengan apa yang terjadi. Bagaimanapun mereka semua cukup dekat dengan orangtua Ghina, jadi mereka juga merasakan kehilangan. Apalagi Ghina, tantu ia merasa sangat terpukul sendiri. Sampai akhirnya mereka tiba di persimpangan jalan untuk menuju rumah masing-masing. “Kita berpisah disini, Akira… Ghina.. Aku turut berduka cita..”, kata Bofu. “Aku juga Ghina.. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku ya, Ghina”, kata Meylin. Mereka kemudian berpamitan. Rumah Akira dan Ghina searah, jadi mereka berjalan berdua. Akira hanya bisa merapatkan tubuhnya dan memeluk pinggang Ghina dari samping sambil berjalan. Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Ghina. “Yang, apa kau mau menginap di rumahku saja?”, tanya Akira memulai percakapan setelah sebelumnya mereka hanya membisu saja. Lagipula ia masih khawatir kalau Ghina sendirian di rumahnya. “Tidak apa-apa. Aku sedang ingin sendiri dulu..”, kata Ghina. “Baiklah. Tapi sering-sering kabari aku, ya…”, kata Akira. Lalu Akira mengecup dahi Ghina dan berkata, “aku pulang dulu ya, sayang”. Kata Akira.
Beberapa hari kemudian Ghina mulai sekolah lagi. Ia sudah terlihat biasa saja, meski Akira tahu, hati Ghina masih sedih. Ghina hanya menutupinya saja.
Tanpa terasa sudah waktunya pulang sekolah. Bel pulang pun berbunyi. Akira dan Ghina pulang bersama-sama. Mereka berjalan perlahan-lahan. Setelah agak jauh dari sekolah, tiba-tiba, "Akira, kesini!!", Ghina terlihat panik dan segera menarik Akira untuk bersembunyi di balik pohon besar di pinggir jalan. "Ghina?? Apa yang..." belum sempat Akira bertanya, sebuah sinar yang cukup terang menyinari jalan tempat Akira dan Ghina sebelumnya berada dengan sangat cepat dan tempat itu meledak seketika.
Duaaarrrrrrr... !!!! Duaaarrrrr... !!!!! Duaaarrrr...!!! Tidak berhenti sampai disitu saja, di beberapa tempat disekitar situ, bahkan seluruh kota dihujani sinar terang dan ledakan terjadi dimana-mana. Akira hanya bisa diam mematung, tidak mengerti apa yang terjadi.
"Akira, sini..", Ghina kembali menarik Akira untuk pergi dari situ menuju ke sebuah rumah tua yang hampir rubuh.
Karena bingung, Akira menurut saja mengikuti Ghina. Ternyata di dalam rumah itu sudah ada Bofu dan Meylin yang juga sedang bersembunyi di bawah meja yang terlihat sudah reyot di sudut ruangan. "Akira! Ghina! Syukurlah kalian selamat. Di luar tadi sangat kacau, ledakan terjadi di mana-mana, banyak kendaraan hancur dan orang-orang yang terkena ledakan tidak ada yang selamat", tutur Bofu dengan wajah masih sedikit ketakutan. "Iyah, untunglah kita masih bisa menghindar dan bersembunyi disini", tambah Meylin. "Sebenarnya... Apa yang sedang terjadi ini...", gumam Bofu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments