"Kami bisa melindunginya sampai sekarang "
Ucap bu Intan dan kemudian dia terdiam.
Aku mendengarkan dengan serius perkataan bu Intan tadi. Apakah bu Intan sebegini percayanya padaku sehingga masalah ini dia katakan padaku yang sebenarnya masih orang asing untuk keluarganya.
Lama tak ada suara dan hanya terdengar deru nafas kami berdua. Hujan pun entah sejak kapan sudah reda.
"Kamu tidak keberatan kan kalau ibu cerita ini sama kamu? " Bu Intan menatap lekat wajahku.
Aku menggeleng.
"Saya siap mendengarkan semua keluh kesah ibu. "
"Tapi, apa bu Intan percaya sama saya? " Tanyaku. Bu Intan tersenyum.
"Ibu yakin kamu anak baik dan ibu sudah percaya sama kamu." Jawabnya dengan senyuman yang tulus.
Aku diam dan merasa bingung.
"Sebelumnya tidak ada orang luar yang bisa dekat dengan Kana seperti kamu. " Ucap bu Intan. Aku menatapnya lekat.
"Dulu ibu pernah mencoba mendekatkan beberapa anak gadis dari rekan ibu. Tapi mereka semua tidak pernah cocok dengan Kana. Ya, Ibu hanya berusaha. Lalu ibu pun mencoba memperkenalkan lagi gadis yang lain pada Azz. Tapi mereka malah jauh lebih buruk lagi sikapnya pada Kana.
Ibu sampai memasang CCTV tanpa sepengetahuan siapapun untuk mengetahui siapa yang benar dan salah. Namun ternyata Kana dan Azz memang tidak salah. Upaya ibu untuk membuat Azz dan Kana menyukai lawan jenis pun punah sudah. Tidak ada hasilnya sama sekali. Bahkan itu membuat Azz dan Kana semakin dekat."
"Bahkan selama pendekatan itu, kondisi Kana malah memburuk karena trauma akan pembullyan yang dialaminya terulang kembali oleh anak-anak gadis itu. Ibu sayang pada Kana dan Azz, ibu tidak bisa membuat Kana pergi dari kehidupan ibu. Anak itu begitu rapuh, bagaimana nasibnya kalau ibu melepasnya? "
Aku menghela nafas. Berat sekali sepertinya berada di posisi bu Intan.
"Ibu sekarang hanya bisa memberi mereka pilihan dan sedikit ancaman. Setidaknya mereka masih menghargai ibu dan tidak melakukan hal diluar batas. Tapi kalau mereka jauh dari jangkauan ibu, ibu tidak bisa memastikan mereka tetap dalam jarak aman." Ucap bu Intan dingin.
Aku merasakan ada kemarahan dalam kata-katanya. Tapi sepertinya dia juga tidak bisa berbuat lebih.
" Ibu akan lakukan apapun untuk membuat mereka sadar. Sedikit demi sedikit, ibu akan memberikan yang terbaik untuk mereka, bahkan dengan jalan pintas sekalipun. " Ucapnya datar dan itu membuatku terpaku.
Aku sedikit takut dengan ucapannya.
Kenapa dia tiba-tiba berubah menyeramkan begini?
Apa maksudnya dengan jalan pintas?
Apa jangan-jangan aku....
"Kamu orang yang sudah ibu percayai. Ibu tidak akan membawa kamu kedalam kerumitan keluarga ibu." Ucapnya sambil menepuk punggung tanganku. Aku terkejut.
"Kamu tetaplah kamu. Ibu tidak akan membuatmu berada di posisi para gadis itu. Tapi kalau boleh, mau kah kamu berteman dengan Kana? Ibu tidak pernah melihat dia setenang itu saat bertemu orang asing. " Ucapnya dengan raut wajah memohon. Nada suaranya sudah berubah lagi. Aku hanya diam.
Sikap bu Intan sebenarnya sulit untuk aku tebak. Cepat sekali berubah.
"Rain." Panggilannya lirih.
"Ya? " Jawabku, menatapnya datar.
Bu Intan tersenyum.
"Kenapa, bu? "
"Apa kamu mau berteman dengan Kana? "
Aku terdiam sejenak.
"Ya, saya mau." Jawabku
" Saya akan berteman dengannya dengan cara saya. " Ucapku dengan senyuman yang jahil. Bu Intan diam.
"Saya tidak akan menyakitinya, bu. Ibu tenang saja. " Ucapku menenangkannya karena terlihat ada kekhawatiran di matanya.
"Ya. Ibu percaya sama kamu. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ibu ceritakan sama kamu. Ibu akan menceritakan beberapa hal itu di lain waktu. " Ucapnya sambil mengelus rambutku.
"Kita keliling lagi yuk! Ibu akan bawa kamu ke lantai atas. " Ucapnya seraya berdiri dan menyimpan album foto tadi.
Kami pun beranjak dari ruangan itu dan berjalan menuju tangga di ruang tamu.
Kami sampai di lantai atas. Sepertinya tidak terlalu banyak ruangan di lantai ini. Terlihat hanya ada beberapa pintu dan ruangan yang sangat luas di sini. Luasnya bahkan melebihi ruang tamu.
Entah ruangan apa ini. Apa harus seluas ini? Untuk apa?
Bu Intan berjalan menuju balkon, aku mengikutinya. Balkon ini juga luas. Wow...
Aku bisa melihat banyak pemandangan di sini. Tapi sayang, langit sedang mendung. Kalau saja cerah, pasti akan terlihat lebih indah.
Aku berdiri dan berpegangan pada pagar pembatas yang tingginya hanya sebatas dada.
Taman kecil di pinggir kolam terlihat jelas dari sini. Terlihat pula setengah bagian dari kolam.
Namun tiba-tiba...
Angin bertiup kencang. Bunyi guntur datang beriringan disertai langit gelap yang mencekam.
Hem.... Phobia ku muncul lagi. Aku sedikit gemetar. Rileks lah. Malu dong sama bu Intan kalau aku terlihat ketakutan begini.
Aku hanya diam berdiri mematung.
"Kamu kenapa? " Tanya bu Intan. Aku menoleh ke arahnya.
"Kok muka kamu pucat begitu? "
Aku menggeleng kaku.
Hujan deras pun turun disertai angin yang semakin lama menusuk kulitku. Dinginnya sampai membuat tulangku sakit.
"Kamu takut hujan? " Tanya bu Intan kemudian dia sedikit tersenyum. Kenapa dia bisa menebak begitu? padahal aku tidak pernah menceritakan hal memalukan ini padanya.
Aku tidak menggubrisnya. Biarlah dia mengejek.
"Kamu ini unik sekali, ya. " Ucapnya sambil tersenyum. Dia tidak mengejekku?
"Mungkin seharusnya nama kamu itu Snow. "
Snow?
Aku menatapnya bertanya karena ucapannya.
"Kamu tidak akan takut hujan karena nama itu dan juga tidak akan takut salju, karena salju tidak turun di negara ini. "
Apa iya, ya? Apa karena namaku jadinya aku takut hujan.
"Gak usah terlalu di pikir. Setiap orang memiliki kebiasaan yang berbeda. Mungkin bagi orang lain yang kamu takutkan adalah hal sepele dan akan menganggap kamu aneh karena rasa takutmu itu, tapi orang lain juga pasti memiliki ketakutan pada sesuatu hal yang mungkin saja aneh bagimu."
"Ibu cuma bercanda soal nama barusan. "
Lanjutnya sedikit terkekeh. Aku hanya diam sambil menatap tetesan air hujan.
"Ayo kita turun! Lama-lama dingin disini. " Ucapnya lalu beranjak.
Padahal baru sebentar kami sampai. Haah...
Tapi memang dingin sekali rasanya disini.
Aku berjalan lesu. Mungkin akibat rasa takutku yang aneh jadinya aku lemas.
Aku turun perlahan sambil berpegangan pada tangga. Aku sudah tertinggal oleh bu Intan.
Kemana dia?
Aku mengedarkan pandangan tapi tak juga ku temukan dia. Aku tidak mau berkeliling di lantai bawah karena ruangan yang banyak itu bisa saja membuatku tersesat. Akhirnya aku duduk di ruang keluarga.
Rumah sebesar begini kenapa cuma ada sedikit penghuni? Bahkan aku tidak melihat satu asisten rumah tangga pun di sini.
Lalu siapa yang membersihkan rumah ini? kalau masak mungkin saja bu Intan. Tapi kalau membersihkan rumah, gak mungkin kan kalau bu Intan sendiri.
Bosan juga. Akhirnya aku mengambil ponsel di saku bajuku. Main game saja.
.
.
.
Kana POV
Aku melihat dia duduk sendiri sambil memainkan ponsel. Apakah aku harus datang padanya dan duduk bersamanya?
Sejujurnya aku takut, takut kalau dia juga sama seperti orang lain yang tidak bisa menerimaku. Sebenarnya aku pun tidak tau dimana letak kesalahanku sehingga aku selalu di pandang salah oleh orang lain.
Apa aku bisa benar-benar akrab dengannya ketika tidak ada seorangpun diantara kami?
Apa dia sama seperti mereka.
Saat pertama aku melihatnya, aku merasa cemburu akan kehadirannya. Apa dia juga akan didekatkan oleh mama pada kakakku? seperti itulah pikiranku. Tapi saat dia sedikit bersitegang dengan kakakku dan tetap baik padaku dan mama, saat itulah aku yakin bahwa dia tidak datang untuk kakakku.
Haaahhh....
Mungkin aku harus duduk bersamanya dan memulai obrolan.
Aku berjalan perlahan ke arahnya. Jantungku terus berdetak kencang. Aku gugup dan takut.
Hingga akhirnya.
"Rain." Suara yang lirih itu keluar dari mulutku.
Dia mendongak menatapku. Apa dia akan tetap baik?
"Hai." Ucapnya sambil tersenyum.
"Aku boleh duduk? " Ucapku ragu.
"Bolehlah, ini rumah siapa coba? " Jawabnya lalu menaruh ponsel yang digenggamnya ke saku bajunya.
Dia menatapku.
"Katanya mau duduk? "
"Eh!? " Aku lupa kalau aku masih berdiri.
Akupun duduk.
"Kamu tadi kemana sama mama? " Tanyaku sambil mengatur nafasku.
"Kami berkeliling. "
"Berkeliling kemana? Aku tidak melihatmu dimana-mana setelah dari kolam." Apa pertanyaanku aneh? terserahlah daripada tidak ada obrolan sama sekali.
Dia tampak berpikir, raut wajahnya berubah. Aku menelan ludahku, apakah pertanyaanku salah? aku gugup.
"Kami melihat-lihat pemandangan di ruangan penuh foto anak-anak dan pergi ke lantai atas." Jawabnya menatapku lekat seakan ingin memastikan sesuatu dariku.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Aku menatapnya, dia terlihat bingung.
"Ada apa? " Ku rasa aku bisa sedikit rileks berhadapan dengannya.
"Kamu tidak keberatan kalau aku tau tentang masa lalumu dan juga mengetahui siapa dirimu? " Pertanyaan yang aneh menurutku. Memangnya ada apa?
"Aku? masa lalu seperti apa? kamu tau siapa diriku kamu bilang? memangnya siapa aku menurutmu? " Dia terlihat berpikir, diam dan tidak menjawab pertanyaanku yang banyak.
bersambung......
.
.
.
.
semoga kalian suka.
salam dari yuya..... 😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Stanalise (Deep)🖌️
Padahal arti dari namanya itu Hujan loh... ko bisa dia takut sama hujan... tapi kalo mandi masih kan Thor? 🤣
2022-09-25
1
Stanalise (Deep)🖌️
Aku suka gitu sama namanya, Rain....
2022-09-25
0
Stanalise (Deep)🖌️
Siapakah si Kana ini?
2022-09-25
1