Seperti biasanya pagi ini pak Gilang sudah bangun. Ia sudah terbiasa mengurus diri sendiri. Kini saatnya untuk sarapan dan bibi Wati sudah menyiapkan semuanya di meja makan.
Pak Gilang menikmati makanannya dengan lahap dan sesekali ia melirik ke arah bibi Wati yang sedang merapikan perabotan di dapur. Bibi Wati tidak berani mengangkat muka karena ia tahu ada sepasang mata yang mencuri pandang ke arahnya.
Daster yang dikenakan bibi Wati agak lebar di bagian dada sehingga pada saat ia membungkuk, gunung kembar miliknya terlihat dengan jelas, mulus dan masih montok. Pak Gilang menarik nafas dan menelan ludahnya dengan berat. "Ya Tuhan, jauhkanlah cobaan ini dari hambahmu!" jeritnya dalam hati.
Setelah selesai sarapan, pak Gilang pamit kepada bibi Wati lalu berangkat ke kantornya.
"Hati-hati di jalan Pak!" kata bibi Wati dengan tulus.
"Terima kasih Bi, tolong jaga rumah yah!"
"Siap Pak!" sahut bibi Wati dengan sopan. Ia tetap menunduk karena hatinya mulai dag, dig, dug. Sudah lama ia merasa kasian kepada pak Gilang karena tidak diurus istrinya tapi saat ini muncul perasaan aneh. Bibi Wati berharap semoga pak Gilang tidak akan pernah mengetahui perasaannya ini karena ia juga tahu diri bahwa dirinya tidak selevel dengan majikannya.
Pak Gilang bekerja di kantor seperti biasanya namun kali ini pikirannya selalu melayang ke rumah. Senyuman bibi Wati terlintas dalam benaknya dan membuat ia ingin segera pulang ke rumah tapi kerjaan di kantor belum kelar.
Sementara ia duduk santai di ruangannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan ia segera memeriksanya. Sebuah video berdurasi 30 detik di kirim oleh seseorang yang menggunakan nomor baru. Dalam video tersebut tampak ibu Murti duduk di ranjang dengan pakaian yang setengah terbuka. Seorang laki-laki sedang memainkan gunung kembarnya dengan kedua tangannya lalu menyusu seperti seorang bayi. Laki-laki itu membelakang sehingga sulit untuk mengenalinya dan terdengar suara ******* ibu Murti setiap kali gunung kembarnya teremas.
Ponsel pak Gilang hampir jatuh karena tangannya gemetar menahan rasa malu dan emosi yang meluap-luap. Berbagai pikiran negatif muncul dalam benaknya. "Mungkinkah ibu Murti telah menjual dirinya demi uang? Inikah bisnis baru yang sedang ia lakoni?"
Pak Gilang bertekad untuk mencari lebih banyak bukti tentang perselingkuhan istrinya. Menurutnya, kurang baik jika terlalu gegabah dalam menyelesaikan persoalan seperti ini, jadi harus pakai cara halus.
Jona sengaja menyembunyikan identitasnya saat mengirim video itu ke ponsel pak Gilang karena ia tidak mau menambah permasalahan yang baru.
Tadi, sekitar pukul 09.00 pagi ia pulang ke rumah karena ada map yang ketinggalan. Tiba di rumah, ia sangat heran karena setahunya ibu mertuanya tadi pagi sedang menemani Lily ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya tetapi dari dalam kamar tamu ia mendengar suara perempuan sedang berbincang dengan pak Denis.
Jona ingat bahwa di kamarnya ada sedikit celah yang bisa digunakan untuk mengintip ke kamar tamu. Dengan berjingkrat-jingkrat ia masuk ke dalam kamarnya sehingga kedatangannya tidak diketahui oleh kedua insan yang sedang dilanda asmara di kamar sebelah.
Jona mengintip dari celah itu dan melihat ayah mertuanya bersama dengan perempuan yang pernah ia lihat dulu keluar dari ruangan pak Denis di kantor. Jona mengenal wanita itu karena ia pernah datang ke rumah dan Lily mengatakan bahwa itu adalalah istrinya pak Gilang. Namun sampai saat ini ia tidak pernah menceritakan kepada Lily kejadian yang pernah ia dengar dan lihat di kantor.
Jona kenal baik dengan pak Gilang karena mereka sering ketemu dalam urusan kantor bahkan boleh dikata pak Gilang adalah teman akrabnya.
"Mas, setelah ini saya mau ke toko perhiasan. Aku butuh uang Rp 10.000.000,00!" ucap ibu Murti dengan manja. Suaranya sangat jelas kedengaran ke kamar di mana Jona sudah siap dengan ponselnya untuk merekam kegitan mereka.
"Itu soal gampang sayang, itu ada kartu ATM di dompetku nanti kamu ambil tapi sekarang aku mau yang ini dulu," goda pak Denis. Tangannya mulai merayap ke berbagai penjuru membuat ibu murti terkekeh karena senang dan geli.
Nafas Jona seolah berhenti karena ia merasakan sesuatu dalam dirinya mulai menegang. Dengan cepat ia matikan ponselnya lalu mengambil map yang ada di meja dan keluar dari kamar.
Ketika sudah tiba di kantor ia segera mengirim video tersebut kepada pak Gilang dengan menggunakan nomor baru dan berharap hubungan terlarang itu tak berlanjut lagi.
Jona tidak bisa fokus dengan pekerjaannya hari ini di kantor karena selalu membayangkan adegan yang dilihatnya tadi. Setelah tiba saatnya untuk pulang ia sangat senang. Entah mengapa wajah istrinya terlintas dalam benaknya.
Sudah satu minggu ini Lily sangat sibuk karena ia membuka warung di samping rumah orang tuanya. Awalnya Jona menolak karena tidak mau jika istrinya lelah tapi alasan Lily sangat tepat, ia sangat bosan di rumah tanpa ada kegiatan sehingga Jona menyetujui dan mendukungnya.
Saat tiba di rumah, Lily menyambutnya dengan senyuman yang paling manis membuat Jona semakin bersemangat. Keduanya masuk ke kamar dan di meja ada teh panas yang sudah disiapkan oleh istri tercinta.
"Bagaimana tadi pemeriksaannya sayang?" tanya Jona sambil mengelus-elus perut istrinya dengan lembut. Perut itu masih tetap rata meski pernikahan keduanya sudah berjalan hampir dua tahun.
"Kata dokter, tidak ada yang bermasalah dengan kandunganku. Mungkin kita harus bersabar lagi. Saya yakin suatu saat pasti kita bisa punya anak," ucap Lily dengan semangat.
"Saya mau punya anak laki-laki dua dan perempua satu," kata Jona menggoda istrinya.
"Nggak, saya mau dua perempuan, satu laki-laki," sahut Lily tidak mau kalah.
Keduanya pun tertawa riang. Jona mencium perut istrinya dengan lembut dan tidak hanya sampai di situ, tangannya mulai nakal colek sana dan colek sini hingga menyentuh benda yang kenyal dan menantang. Jona sudah lihai memainkan bagian ini membuat lily memejamkam matanya dan menikmati setiap sentuhan lembut dari suaminya.
Lily pun membuka pakaian kantor yang masih melekat di tubuh suaminya. Dengan jari-jarinya yang lentik ia meraba dan mengelus dada bidang itu lalu menciumnya.
Kedua insan itu saling berbagi rasa hingga nafas saling memburu dan pada akhirnya kembali normal dengan senyum kebahagiaan menghiasi wajahnya.
Lily sangat bersyukur punya suami yang menurutnya sangat sempurna. Walaupun agak pendiam tapi sangat romantis, penyayang dan pengertian. Meskipun di awal pernikahan mereka berjalan dengan kaku tapi kini keduanya sudah saling melengkapi.
Lily benar-benar sudah melupakan Galy karena ia sadar bahwa cinta Galy bukan untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments