Ibu Murti tergesa menyambut kedatangan ibu Lingling dan Lily. Hatinya dongkol dengan sikap Galy yang tidak mau ia atur. Sebelum ia membuka pintu, ditariknya nafas dalam-dalam dan mengubah mimik mukanya menjadi seramah mungkin.
"Selamat datang jeng! Eh, anak cantik...mari masuk!"
"Terima kasih bu."
Pandangan Lily langsung menyapu segala sudut ruangan namun sosok yang didambahkan tak terlihat. Ia pun lalu menghempaskan tubuhnya di sofa yang empuk dengan wajah murung.
Ibu Murti menghampiri pintu kamar Galy dan berharap anaknya mau menemui tamunya yang sudah menunggu di ruang tamu. Namun tak ada tanda-tanda bahwa anaknya akan merespon keinginanya. Ia mengetuk pintu tapi tak ada suara.
Pelan-pelan ibu Murti mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia langsung masuk ke dalam mamun kembali ia merasa kecewa karena kamar itu kosong. Rupanya Galy sudah lebih dulu keluar sebelum ibu Lingling dan anaknya tiba di rumah itu.
Ibu Murti kembali menemui tamunya dan menyampaikan bahwa Galy sedang ada urusan di luar sebentar.
Lily sudah bisa membaca situasi yang sedang terjadi. Ia tahu bahwa Galy sedang menghindar untuk bertemu dengan dirinya.
"Nggak usah bohong tante, aku tahu kalau Galy itu sedang tidak ada urusan di luar tetapi ia sengaja menghindari kami karena sebenarnya ia sudah punya seorang kekasih," Ucap Lily dengan lantang membuat ibu Murti kaget.
"Yang sopan nak, ayo duduk kambali!" kata ibu Lingling karena merasa tidak enak dengan sikap anaknya yang lancang.
Lily menuruti perintah dari ibunya. Ia pun kembali duduk dengan kesal. Dalam hati ia ingin segera keluar dari rumah itu dan langsung pulang.
"Apa benar yang kamu katakan tadi nak?" tanya ibu Murti yang datang mendekati Lily.
"Iya tante, malah di sekolah Galy sengaja bermesraan dengan gadis itu di depan saya, seolah-olah ia sengaja mau menyakitiku." jawab Lily dengan emosi.
"Tenang saja nak, saya sebagai ibunya tidak akan membiarkan Galy pacaran dengan orang lain. Kalau perlu ibu akan mendatangi perempuan itu!"
"Terserah tante aja."
Lily mengambil ponsel dari tasnya dan memperlihatkan foto-foto kebersamaan Galy dengan Melyn di kantin sekolah. Wajah ibu Murti memerah karena ia tidak pernah menduga sebelumnya bahwa anaknya akan memilih gadis lain, meski ia mengakui gadis yang ada dalam gambar itu lebih cantik bila dibandingkan dengan kecantikan Lily.
"Siapa nama perempuan itu? Berani-beraninya ia menggoda anak saya," ucap ibu Murti dengan emosi.
"Namanya Melyn tante," sahut Lily.
Aroma makanan yang sudah tersaji di meja mengundang rasa lapar, tapi tidak bagi Lily karena ia sedang kesal. Hampir satu jam ia berdandan untuk bisa tampil semenarik mungkin dan hampir setengah isi lemari pakaiannya ia bongkar dan mencoba satu per satu baju hingga ia merasa cocok dengan baju yang ia kenakan saat ini. Model baju yang kekinian, hanya satu lengan yang tertutup dan sangat ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya nampak dengan jelas dan mengundang perhatian bagi setiap mata yang memandangnya.
Ibu Lingling hanya makan beberapa potong kue karena suasana hatinya sedang tidak nyaman melihat wajah murung anak gadisnya.
Ibu Murti pun merasa tidak enak dengan keadaan ini. Ia berusaha memutar otak untuk mencairkan suasana.
"Nak Lily, tolong cari tahu keberadaan cewek yang bernama Melyn itu biar ibu datangi dan melabrak dia!" pinta ibu Murti.
"Iya tante, nanti saya kirim alamatnya."
Lily merasa sangat bosan untuk tinggal berlama-lama di rumah itu.
"Bu, ayo kita pulang sekarang!" ajak Lily sambil meraih tangan ibunya dan berjalan dengan tergesa keluar dari rumah ibu Murti. Ibunya hanya menurut dan mengikuti langkah putrinya menuju ke mobil yang terparkir di halaman rumah.
Ibu Murti merasa sangat dipermalukan oleh anaknya. Selepas kepergian tamunya ia mulai mengumpat dan membanting dengan kasar apa saja yang ada di depannya.
"Ada apa nyonya?" tanya bibi Wati yang datang menghampiri ibu Murti namun pertanyaannya tak digubris.
"Dasar anak durhaka, tidak tahu diuntung," Omelnya.
Pak Gading yang baru pulang dari kantor sangat kaget melihat keadaan rumah yang sangat berantakan. Nampak bibi Wati dengan sabar membereskan barang-barang tang berantakan itu sedangkan ibu Murti sudah masuk ke dalam kamar. Pak Gading pun memburunya ke kamar karena ia penasaran.
"Ada apa ma?"
"Papa puas lihat mama jadi malu akibat perbuatan Galy yang tidak mau diatur!" tuturnya dengan keras.
"Maksud mama?" tanya pak Gading karena semakin tidak mengerti.
Ibu Murti lalu menceritakan segala yang terjadi kepada suaminya.
"Itulah kekeliruan mama, dari dulu saya katakan bahwa anak-anak itu jangan terlalu dikekang. Toh, Galy itu sudah dewasa, ia sudah tahu mana yang terbaik untuknya. Mama tidak usah lagi memaksakan kehendak untuk menjodohkannya dengan perempuan pilihan mama. Apakah mama masih belum kapok juga dengan kejadian yang dialami oleh kedua anak kita yang sampai saat ini kita tidak tahu keberadaannya?"
"Ah, itu lagi ... itu lagi, mama mau menjodohkan Galy dengan Lily itu karena demi kebahagiaannya sendiri. Lily itu pewaris tunggal pa, kalau mereka jadi suami-istri maka Galy tidak akan pernah berkekurangan."
"Kebahagiaan seseorang itu jangan diukur dari banyaknya harta," kata pak Gading dengan pelan. Ia berusaha untuk menenangkan hati istrinya yang sedang panas.
Ibu Murti malah meningalkan suaminya sendirian di kamar. Ia tidak mau mendengarkan lagi ceramah dari suaminya.
Kejadian seperti ini bukanlah pertama kali terjadi. Dari dulu ibu Murti selalu memaksakan kehendaknya untuk diikuti anak-anaknya. Akhirnya anak-anaknya kabur dari rumah karena merasa tertekan.
Pak Gading adalah seorang penyabar. Ia selalu berdoa agar istrinya bisa berubah. Namun sudah sekian tahun mereka hidup bersama, perubahan itu tak kunjung terjadi. Malah semakin menjadi-jadi.
Terkadang bibi Wati merasa kasihan melihat pak Gading yang tidak pernah diurus oleh istrinya seperti yang biasa dilihat di sinetron, seorang istri menemani suaminya makan, menyiapkan pakaiannya, bahkan membawakan tasnya hingga ke mobil pada saat akan berangkat ke kantor.
Boro-boro mau melakukan itu, bangunnya saja nanti setelah suaminya berangkat ke kantor. Pak Gading sudah terbiasa dengan semua itu meski dalam relung hatinya ia sangat mendambahkan perhatian dan kasih sayang dari istrinya.
Pak Gading dan ibu Murti dulu juga dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Mereka menikah tanpa cinta karena orang tuanya berpendapat bahwa cinta itu akan lahir dengan sendirinya seiring dengan waktu. Dari situlah pak Gading merasakan bahwa perjodohan itu tidak baik bagi anak-anak. "Cukuplah saya yang rasakan," gumannya dalam hati.
Pak Gading keluar dari kamar dan berpapasan dengan Galy di ruang tamu. Wajah Galy sangat murung. Ia berjalan menunduk dan masuk ke kamarnya tanpa suara. Pak Gading hanya terdiam karena ia mengerti perasaan anaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments