Bibi Wati kasihan melihat pak Gilang yang setiap hari hanya duduk termenung di pekarangan belakang rumah menghabiskan waktunya saat pulang dari kantor. Bibi Wati juga baru tahu dari salah seorang tetangga perihal yang menimpa keluarga majikannya. Selama beberapa hari ini ia tidak melihat ibu Murty berada di rumah namun sangkahnya majikannya itu sedang sibuk di luar.
Bibi Wati juga tidak pernah menanyakan keberadaan ibu Murty kepada pak Gilang karena menurutnya itu bukanlah urusannya. Kerjaannya di rumah ini hanyalah sebatas sebagai pembantu, jadi urusan keluarga majikannya tak perlu ia campuri.
Sore ini pak Gilang sedang bercakap-cakap dengan seseorang melalui ponselnya. Ia terlihat sangat serius sehingga kehadiran bibi Wati yang datang membawa air minum di depannya tak ia gubris walau hanya dengan ucapan terima kasih seperti yang sering ia ucapkan selama ini ketika mendapat layanan dari bibi Wati.
Pak Gilang sedang bicara dengan Galy lewat ponsel. Galy selalu menghibur ayahnya atas masalah yang sedang terjadi dalam keluarga mereka.
"Ayah yang sabar ya! Sebentar lagi saya akan kembali ke situ untuk menemani Ayah setelah selesai ujian meja," kata Galy membuat ayahnya terharu.
"Iya Nak, Ayah akan menunggumu," ucap pak Gilang dengan suara parau, hatinya sesak menahan kesedihan.
Bibi Wati sampai meneteskan air mata mendengar ucapan pak Gilang. Ia sengaja menguping pembicaraan majikannya dengan berpura-pura menyapu halaman belakang yang penuh dengan daun-daun kering yang berjatuhan karena tertiup angin.
Pak Gilang menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan kembali dengan perlahan usai mengakhiri percakapan dengan anaknya. Ia berdiri hendak masuk ke dalam rumah.
"Kopinya nggak diminum dulu Pak, nanti keburu dingin loh!" kata bibi Wati menghentikan langkah pak Gilang.
"Oh iya, hampir lupa. Terima kasih Bi!" ucapnya ramah.
"Sama-sama Pak." Bibi mengangkat sampah yang telah di sapu dan berlalu meninggalkan pak Gilang. Ia merasa risih karena pak Gilang terus memandanginya.
"Bi, sini dulu istirahat sejenak!" ajak pak Gilang membuat wajah bibi Mira bersemu merah, hatinya berdegup kencang tak karuan. Ia ingin menolak ajakan majikannya itu tapi hati kecilnya berkata lain. Dengan wajah tertunduk ia membalikkan tubuhnya dan duduk di bangku kosong tepat di depan pak Gilang.
"Kenapa Bibi gugup begitu?"
"Nggak kok Pak,"
"Mulai hari ini Bibi bebas memilih pakaian yang ingin dikenakan saat datang ke rumah ini," kata pak Gilang sambil memandangi baju daster yang sudah lusuh melekat di tubuh pembantunya.
"Maksud Bapak?" tanya bibi Mira sambil terus tertunduk malu.
"Tidak ada lagi aturan di rumah ini yang mengharuskan kamu mengenakan pakaian layaknya untuk pembantu,"
"Tapi kan saya memang pembantu di rumah ini Pak,"
"Mira ... kamu mau dengarkan saya atau mau saya pecat!" kata pak Gilang dengan pura-pura bersuara tegas membuat Bibi Mira kaget.
"Kumohon Pak, tolong jangan pecat saya. Anak saya mau makan apa kalau saya tidak kerja," kata bibi Mira sambil menatap pak Gilang dengan sedih. Matanya sampai berkaca-kaca.
"Saya yang akan memberi makan kepada anak-anakmu," ucap pak Gilqng sambil tersenyum.
"Jangan bercanda Pak!"
"Saya ini lagi serius Mira," kata pak Gilang sambil meraih jemari bibi Mira dan meremasnya dengan perlahan. Walaupun terasa agak kasar tapi pak Gilang justru senang karena ia tahu bahwa Mira adalah seorang pekerja keras. Mira adalah perempuan yang setia. Kesetiannya terbukti karena sudah lama ia ditinggal suaminya tapi sampai kini ia masih tetap sendiri mengurus kedua buah hatinya.
Wajah Bibi Mira kembali bersemu merah, ia merasakan kehangatan dan bulu kuduknya sampai merinding. Getaran aneh mengalir dalam tubuhnya dan ia sangat menikmati remasan tangan pak Gilang.
"Maaf, saya lancang Mir," kata pak Gilang merasa bersalah. Bibi Mira hanya tersenyum manis lalu beranjak dari duduknya. Ia hendak melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Setelah bibi Mira menghilang di balik pintu pak Gilang tersenyum. Ia merasa bahagia dan wajahnya tidak murung lagi.
Sementara itu, di dapur bibi Mira bekerja dengan semangat, senyuman menghiasi bibirnya yang seksi karena hatinya sedang berbunga-bunga. Bibi Wati dulu menikah di usia yang masih sangat muda. Ia juga hidup berbahagia bersama dengan almarhum suaminya hinga dikaruniai dua orang putri yang cantik-cantik namun mereka harus berpisah dengan cepat karena ajal telah menjemput sang suami.
Pak Gilang sengaja ke dapur untuk mengambil air minum karena ia ingin dekat dengan bibi Mira. Bibi Mira tidak menyadari kehadirannya karena ia terlalu sibuk menyiapkan makan malam. Ia tahu pak Gilang sangat menyukai sayur yang dimasak bening dan disajikan dalam keadaan panas. Sambil bersenandung kecil ia membersikan sayur dengan lincah.
Mata pak Gilang terus mengawasi gerak-gerik pembantunya. Ia mulai menyadari bahwa bibi Mira ternyata cantik dan menawan.
Perlahan ia mulai mendekati bibi Mira dan merangkulnya dari belakang. Bibi Mira hampir saja berteriak karena kaget mamun ia membiarkan tangan kekar majikannya itu melingkar di pinggangnya bahkan ciuman pak Gilang mulai menempel di beberapa titik membuat sensasi yang sangat terkesan bagi keduanya yang sudah sangat lama tak pernah merasakan hal itu.
Bibi Mira terpaksa menghentikan aktifitasnya sejenak karena pak Gilang telah menuntunnya ke tempat duduk di ruang makan.
Pak Gilang menyentuh bibir seksi milik Mira dengan jari tangannya lalu mengecupnya dengan lembut. Tidak hanya sampai di situ, ia mulai mengulum bibir itu dengan nikmat hingga keduanya sulit untuk bernafas.
"Saya akan segera menikahimu sayang," kata pak Gilang sambil tersenyum setelah melepaskan ciumannya.
"Apakah anak-anak Bapak akan menyetujui soalnya saya ini hanya seorang pembantu," tanya bibi Mira. Ia merasa sangat tidak pantas untuk menjadi nyonya seorang pengusaha kaya.
"Tentu saja mereka akan setuju, saya yakin semua anak-anakku akan mendukungku," jawab pak Gilang meyakinkan.
Dalam hati bibi Mira sangat mengagumi kepribadian pak Gilang bahkan ia sangat menyesalkan sikap ibu Murty yang sudah menyia-nyiakan suaminya yang sebaik itu.
Hasrat dalam tubuh pak Gilang sudah menggebu-gebu namun ia masih bisa menguasai diri. Ia sangat menghormati bibi Mira yang sudah lama menjadi bagian dalam keluarganya.
Bibi Mira kembali melanjutkan pekerjaannya dan menyiapkan makanan di meja untuk pak Gilang. Setelah itu ia pun bergegas untuk pulang ke rumahnya namun kali ini pak Gilang memintanya untuk menemani dia menikmati makan malam.
Akhirnya bibi Mira makan berdua dengan pak Gilang. Bibi Mira melayaninya layaknya seorang istri membuat pak Gilang semakin yakin jika rencanaa dan pilihannya tidaklah salah. Ia terharu mendapat layanan dari bibi Mira karena hal serupa ini tidak pernah ia dapatkan dari ibu Murty.
Bibi Wati pulang ke rumah dengan suasana hati yang sangat bahagia bahkan ia berharap malam akan segera beralu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments