Ribut suara hewan yang ada di sekitarnya membangunkan Wisanggeni dari tidurnya. Perlahan anak muda itu
membuka matanya, dan seberkas sinar matahari menyinari matanya. Wisanggeni mengumpulkan ingatannya kembali, dan akhirnya dia ingat bahwa saat ini dia sudah berada jauh di luar rumah. Tadi malam setelah capai berjalan, mendekati waktu fajar dia baru menemukan tempat yang enak untuk mengistirahatkan dirinya.
“Aku harus menemukan mata air dulu, sehingga bisa membersihkan tubuhku.” Wisanggeni berpikir sendiri.
“Uuuu aaaa, uuuu aaaa,” suara monyet yang saling berkejaran di atas pohon mengiringi langkah Wisanggeni mencari mata air.
Setelah berjalan kaki kurang lebih sepuluh menitan, Wisanggeni memasang telinganya baik-baik. Dia mendengar suara gemericik air terjun, kemudian dia melangkahkan kakinya ke arah sumber suara. Tampak di depan matanya, sebuah pemandangan yang sangat indah. Sungai yang tidak dalam, dengan batu-batuan besar di sekitarnya tampak mengalir di depannya, ditambah dengan air terjun dengan cucuran air yang cukup besar. Tampak beberapa ekor ikan berenang di dalamnya.
Laki-laki muda itu segera mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan barang-barangnya, dan setelah
menemukan lekukan batu yang agak masuk ke dalam, Wisanggeni menyimpan barangnya disitu. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitarnya, dia melepaskan baju dan hanya mengenakan pakaian dalam untuk bagian bawah tubuhnya. Dengan menggenggam belati, anak muda itu segera masuk ke dalam air.
“Segar sekali air ini, dingin tapi menyegarkan. Dengan cepat, tenagaku seakan pulih kembali.” gumam Wisanggeni sambil tersenyum.
“Clap..” suara lemparan belati menembus sebuah ikan yang lumayan besar.
Wisanggeni mengambil kembali belatinya, kemudian mencabut belati dari ikan tersebut kemudian meletakkannya
di atas bebatuan besar. Dia mengulang kembali kejadian tersebut, dan akhirnya dia mendapatkan 5 ekor ikan segar. Sambil bermain air, anak muda itu membersihkan sisik dan kotoran ikan. Dia berencana untuk membakar ikan tersebut untuk menahan lapar.
Setelah puas bermain air, Wisanggeni kemudian naik ke atas. Menggunakan batu-batuan yang bersih, dan dahan-dahan kering, dia bermaksud untuk membakar ikan. Tiba-tiba telinga pekanya menangkap suara rintihan halus.
“Akh..akh..,”
“Ada orang disini? Siapa kamu, jangan coba-coba kamu menakutiku?” Wisanggeni berteriak mencari suara rintihan itu.
“Akh.., tolong.., tolong aku!”
Wisanggeni merasa mendengar suara rintihan seorang wanita yang sedang kesakitan, dan sedang berusaha mencari pertolongan. Laki-laki muda itu segera berdiri, dan meninggalkan ikannya di atas batu. Dia berusaha mencari darimana sumber suara itu berasal. Matanya dengan awas dia arahkan ke pinggiran sungai, tetapi dia tidak menemukan apa-apa. Dia semakin berjalan mendekat ke arah air terjun, dan matanya terbelalak melihat kulit mulus seorang wanita karena pakaian yang tersingkap oleh guyuran air terjun.
“Hei…, siapa kamu kisanak? Apakah kamu sedang merasa kesakitan?” laki-laki muda itu menanyai Wanita tersebut.
“To..long a..ku! Akh.., sakit.” Wanita itu Kembali meminta tolong padanya.
Membuang rasa takutnya, Wisanggeni segera kembali turun ke air, dengan hati-hati dia berjalan melewati bebatuan besar untuk menuju ke air terjun. Di depannya terbaring lemah seorang wanita cantik dengan pakaian yang sudah banyak sobek disana-sini. Tanpa sempat memperhatikan, laki-laki muda itu segera mengangkat tubuh wanita itu dengan mengangkatnya di depan dadanya, dan langsung membawanya ke daratan. Dia menidurkan wanita itu di sebuah batu besar tetapi pipih.
“Kenapa tubuhku jadi gemetar seperti ini, saat kulitnya bersentuhan dengan kulitku?” muncul pertanyaan aneh di pikiran Wisanggeni.
Tersadar dia melihat dirinya yang saat ini hanya mengenakan cela*a d*lam\, dengan tersenyum malu dia langsung meninggalkan wanita itu dan segera mengambil pakaiannya. Setelah berpakaian lengkap\, dia mengambil kain panjang\, dan kembali menghampiri wanita itu.
“Pundakmu terluka, aku akan membakar ikan dulu untuk mengisi energi kita, sambil mencari daun-daun untuk menutup luka-lukamu. Kenakan dulu kain ini, bisakah?” dengan perlahan Wisanggeni mengajak Wanita itu bicara.
“Teri..ma ka..sih.” dengan terbata-bata wanita itu mengambil kain panjang dari tangan Wisanggeni.
****************
“Kapan kang Wisang perginya Paman? Kemarin akang tidak berbicara apapun padaku, tetapi ternyata saat kemarin adalah saat terakhir kali kita bertemu.” Rengganis merasa kecewa setelah membaca surat dari Wisanggeni yang dibawa Hapsoro padanya.
“Tadi fajar Nimas, memang Aden dan juga ayahndanya tidak ingin menimbulkan keributan di padhepokan ini.
Sehingga Aden tidak bisa secara resmi berpamitan dengan semua orang di Klan Bhirowo ini.” sesuai pesan Ki Mahesa, Hapsoro menyampaikan pada Rengganis tentang kepergian Wisanggeni atas persetujuan dari ayahndanya.
“Tetapi, kepadaku…, apakah kang Wisang dan paman Mahesa masih menganggapku orang lain? Sampai kepergian Wisang saja, aku tidak bisa menyampaikan ucapan selamat jalan untuknya?” seru Rengganis dengan nada tinggi.
“Sabar Nimas…, kita hanya bisa mendoakan semoga kepergian Aden bisa membuatnya betul-betul menjadi seorang petarung yang unggul! Dan itu semua yang menjadi harapan untuk orang-orang di padhepokan ini Nimas.” Hapsoro menasehati Rengganis.
Tetapi gadis itu malah menangis tersedu-sedu, dia merasa kehilangan atas kepergian Wisanggeni secara mendadak. Dia menangkap ada hal yang disembunyikan Hapsoro dan Ki Mahesa, dan tidak diceritakan padanya.
“Nimas.., ada baiknya sekarang Nimas istirahat dulu di dalam kamar! Akan menjadi tidak baik, jika Nimas menangis disini, nanti paman yang akan terkena tuduhan sudah menyakiti hati Nimas.”
“Terima kasih paman, Nimas akan kembali ke kamar. Dan mungkin paman, dengan tidak adanya Kang Wisang, mungkin Nimas juga tidak akan lama lagi harus pulang ke rumah. Di padhepokan ini akan serasa sepi tanpa kehadiran kang Wisang.” selesai mengucapkan perkataanya, gadis itu langsung masuk kamar meninggalkan laki-laki paruh baya tersebut.
Hapsoro segera ikutan pergi meninggalkan pesanggrahan wanita, dan kembali ke kamar yang dia tempati.
Tidak menunggu waktu lama, kepergian Wisanggeni dari Klan Bhirowo sudah terdengar di semua padhepokan. Meskipun Hapsoro sudah menyampaikan pada khalayak, jika kepergian laki-laki muda putra Ketua Klan atas ijin dari ayahndanya, tetapi kabar burung juga santer terdengar.
“Mungkin Wisang kecewa karena putusnya pertunangan kemarin.” Beberapa orang mulai menggunjingkan tentang kepergian Wisanggeni dari padhepokan.
“Yah, memangnya siapa yang mau. Sudah punya wajah cantik, pintar, tetapi masak harus mau ditunangkan dengan laki-laki yang tidak memiliki kekuatan.”
“Jika kamu gimana Gayatri? Apakah kamu mau menjadi tunangan Wisang, hi..hi..hi..?”
“Awas kamu ya Lastri.., Kang Wisnuadji maksudmu? Kalau kang Wisnu ya terang saja aku mau, tapi kalau Kang Wisang.., ha..ha,..ha.., apakah kamu sendiri bersedia Lastri?”
“Mikir-mikir dulu kalau kang Wisang.. hi..hi..hi..”
“Baru bercanda tentang apa kalian? Apakah lucu, kalian membicarakan putra dari Ketua Klan di belakang?” Rengganis menegur Gayatri dan Laksmi yang sedang mengejek Wisanggeni.
“Tidak Anis.., kami tidak sedang membicarakan siapapun, hanya ikut prihatin saja atas kepergian Kang Wisang. Iya tidak Laksmi?”
“Iya Nis.., tidak kok. Aku ke kamar dulu ya, mau membersihkan tempat tidur dulu. Tadi belum sempat aku tata lagi.” Laksmi langsung berpamitan pada Rengganis.
“Aku juga.., tunggu aku Laksmi!” Gayatri berlari mengejar Laksmi yang langsung dengan cepat meninggalkan Rengganis.
******************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 495 Episodes
Comments
Linda Samudin
seekor ikan kli ya thor bukn sebuah
2023-05-22
0
GAMES
yesss
2022-06-14
0
wong ndéso
sebuah ikan gk ada ekornya
2022-05-10
0