Wisanggeni duduk bersila di atas ranjangnya, kedua tangannya dia letakkan di kedua lutut kanan dan kirinya. Dia mencoba mengambil nafas untuk mengolah rasa pernafasan dan meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi lagi-lagi belum sampai dia merasakan hembusan nafas yang membawa aliran tenaga dalam sampai ke puncak, tiba-tiba kekuatan itu langsung menghilang. Dia membuka matanya, tetapi hanya keheningan malam kosong yang bisa dia lihat.
“Aah.., sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku?” gumam Wisanggeni sambil memukulkan kepalan tangannya ke tembok.
Dia merasa lelah, setiap malam tanpa didampingi guru, dia selalu berusaha untuk mencoba berlatih sendiri mengembalikan kekuatannya, tetapi jika sudah terkumpul saat akan dilepaskan, kekuatan itu seperti terbang dengan sendirinya. Baru saja dia akan mulai lagi latihannya, tiba-tiba.
“Tok.., tok.., tok..,” terdengar suara ketukan pintu kamarnya.
"Masuk, pintu tidak terkunci.” Wisanggeni langsung pura-pura tidur rebahan.
Tetapi melihat siapa yang mendorong pintu dan masuk ke dalam, membuatnya sedikit gugup. Akhirnya dia bangun dan duduk dengan meletakkan kedua kakinya menggantung ke bawah ranjang. Dia melihat Rengganis datang membawa nampan berisi cangkir yang terbuat dari kaleng.
“Akang, kebetulan Anis membuat jahe serai gula merah. Ini satu cangkir untuk Akang ya, mumpung masih panas ayo diminum!”
“Aduh, terima kasih Anis. Kamu memang selalu memperhatikanku.” Wisanggeni mengambil cangkir yang diulurkan Rengganis, kemudian langsung menyesapnya.
Rengganis kemudian duduk di samping Wisanggeni.
“Manis, seperti yang membuatnya, dan pedas jahenya pas di badan, jadi hangat.” Puji Wisanggeni, kemudian meletakkan cangkir di atas meja.
Rengganis merona pipinya tersipu malu.
“Ini sudah malam, kenapa Anis masih repot membuat jahe? Apakah tidak merasa capai, seharian berlatih?”
“Tidak Kang, masak Anis tidur awal, padahal Akang saja masih sibuk latihan di dalam kamar sendirian.”
“Jadi kamu tahu, kalau malam hari Akang berlatih untuk mengembalikan kekuatan Akang?”
Rengganis tidak menjawab, tetapi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar Wisanggeni meraih bahu gadis
itu, kemudian mendekatkannya ke badannya, dan mencium pucuk kepala Rengganis. Gadis itu terdiam dan tampak kaget dan tersipu malu. Tetapi dia membiarkan perlakuan yang diberikan Wisanggeni, dan tampak seperti menikmatinya.
“Bagaimana Kang, apakah ada peningkatan di kekuatan akang?” tanya Rengganis memecah kesunyian, dan menyadarkan Wisanggeni yang langsung melepaskan pelukannya pada gadis itu.
“Belum Nis, Akang sedikitpun belum merasakan ada peningkatan kekuatan. Padahal setiap malam, Akang sudah mencoba untuk berlatih, tetapi memang kesabaran ini masih harus diuji.” jawab Wisanggeni sambil menghela nafas.
“Akang sabar saja. Anis yakin, suatu saat Akang akan berhasil meningkatkan kekuatan Akang kembali.”
“Iya Nis.” Sahut Wisanggeni singkat dan melamun,
“Sudah malam akang, Anis balik ke kamar dulu ya!” tiba-tiba Rengganis membuyarkan lamunannya.
Wisanggeni menahan tangan Rengganis yang sudah berdiri. Tiba-tiba anak muda itu mencium tangan Rengganis, baru kemudian melepaskannya.
“Terima kasih Anis.”
Rengganis menganggukkan kepala, kemudian membuka pintu. Wisanggeni mengantarkan gadis itu sampai di pintu masuk pendhopo untuk para gadis.
“Wow.., ternyata ada yang jadi Don Juan malam ini? Mungkin menurutnya kekuatan itu tidak penting, asalkan
punya keberanian mengantar seorang gadis malam-malam itu jauh lebih penting.” tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari atas pohon mangga yang berada di dekat pintu masuk.
Wisanggeni menoleh ke sumber suara, dan melihat Wisnuadji sedang duduk di atas dahan. Melihat Wisanggeni menatapnya, Wisnuadji langsung melompat turun dan berdiri di depannya.
“Ada apa melihatku, sudah memiliki keberanian untuk melawanku malam ini?” tanya Wisnuadji.
“Adji, apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu selalu berusaha memancing gara-gara denganku?” Wisanggeni balik bertanya.
“Ha.., ha.., ha.., kenapa? Kamu takut ya denganku?” Wisnuadji mendekat ke arah Wisanggeni dan memegang kerah bajunya.
Wisanggeni paham jika kekuatannya jauh berada dibawah laki-laki itu, maka dia diam tidak menjawab. Menghindari konflik dengan Wisnuadji sepertinya merupakan cara jitu untuk menghindarinya dari perkelahian.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku Wisang?”
Wisanggeni menggeser kepalanya ke samping, saat tangan Wisnuadji hendak memegang dagunya. Tetapi tiba-tiba laki-laki itu merasa kesakitan.
“Aduh, siapa yang melemparku?” teriak Wisnuadji sambil melepaskan tangannya dari dagu Wisanggeni, karena kesakitan dan memegang belakang kepalanya.
“Hai keluar, siapa kamu? Tunjukkan badanmu, jangan beraninya main sembunyi?” Wisnuadji mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tetapi dia tidak melihat siapapun disitu.
Saat tahu Wisnuadji lengah, Wisanggeni langsung berlari meninggalkan laki-laki itu, kemudian langsung masuk kembali ke kamarnya. Wisnuadji tidak mampu mengejar Wisanggeni, karena saat dia sadar, laki-laki itu sudah masuk ke dalam kamarnya. Akhirnya diapun mengikuti langkah Wisanggeni, Kembali ke kamarnya karena memang malam sudah semakin larut. Wisnuadji adalah saudara sepupu dari Wisanggeni, dia adalah putra dari adik perempuan Mahesa. Saat kekuatan Wisanggeni belum hilang, dia sangat takut padanya, tetapi saat tahu jika kekuatan Wisanggeni hilang, selalu ada saja masalah yang dia cari darinya.
********************************
Hapsoro tersenyum saat melihat Wisanggeni berhasil melarikan diri dari gangguan Wisnuadji. Dia tadi yang melempar kerikil ke kepala Wisnuadji, karena tidak mungkin dia terang-terangan menolong Wisanggeni dari gangguan anak laki-laki itu. Dia hanya bisa membantunya secara diam-diam.
Setelah memastikan anak asuhnya itu memasuki kamar, Hapsoro berjalan menuju ruang semedi Mahesa ayah
dari Wisanggeni. Malam ini adalah malam terakhir, Mahesa melakukan semedi selama tujuh hari. Sesampainya di depan pintu yang terbuat dari kayu berukir, Hapsoro mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk!” terdengar perintah dari dalam kamar, kemudian laki-laki tua itu mendorong pintu dan masuk ke dalamnya.
“Sudah selesai Tuan semedinya?” Hapsoro bertanya pada Mahesa, sambil menyiapkan air minum yang diambil dari kendi yang diletakkan di atas nakas.
“Sudah dari tadi.., bagaimana keadaan padepokan selama aku semedi?”
“Aman Tuan.., apakah Tuan akan makan malam ini? Jika iya, saya siapkan dulu Tuan.”
“Tidak perlu Hapsoro. Aku akan mandi dulu saja, agar segar badanku. Siapkan saja air dan pakaianku!”
“Baik Tuan.., saya akan mengisi air di jeding dulu.”
“Ya pergilah, aku akan meregangkan otot-ototku dulu.”
Hapsoro segera meninggalkan kembali Mahesa, dan segera pergi ke sumur untuk menimba air.
******************************
“Ada apa Ki Narendra, malam-malam Aki menemui Anis?”
“Mohon maaf Roro Ayu, Aki hanya mau minta ijin untuk meninggalkan wilayah ini untuk sementara waktu. Aki harus kembali menyampaikan barang yang diminta oleh ayahanda Roro Ayu?”
“Barang? Ayah kenapa meminta pada Aki, bukan kepada Anis putrinya sendiri?”
“Aki tidak bisa menyampaikan barang apa itu pada Roro Ayu. Selama Aki pergi, nanti ada Asoka yang akan mengawasi Roro Ayu. Sampaikan saja pesan padanya, jika Roro Ayu membutuhkan sesuatu!”
“Baik Ki, hati-hati di jalan. Dan sampaikan pesan Anis untuk ayah dan Ibu disana!”
Laki-laki tua yang dipanggil Narendra itu kemudian pamit undur diri, dan sekali lompat sudah hilang di kegelapan malam. Rengganis menengok ke sekitarnya, karena tidak melihat siapapun, akhirnya dia juga segera Kembali masuk ke dalam kamar.
****************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 495 Episodes
Comments
Sofyan Muchtar
mantap
2023-08-13
0
faisal aja
mantaap.....
2022-06-04
2
armando lezza
oke
2022-05-02
2