Rengganis mengabaikan perkataan kelompok murid perempuan yang menghalangi jalannya. Teman-teman laki-laki yang saat ini sedang bersamanya, langsung membubarkan kelompok murid perempuan tersebut.
"Ciatt..," bumerang terlempar ke arah Rengganis, hanya dengan mengibaskan tangannya, bumerang itu langsung berbalik ke salah satu murid perempuan.
"Bisakah kamu mengajari tanganmu untuk memilih lawan yang tepat?" dengan sinis Rengganis berbicara dengan nada sarkasme pada murid perempuan itu.
"Ayo.., ayo.., ayo..., lawan Sari..., ayo lawan." beberapa murid perempuan menyoraki perempuan yang bernama Sari tersebut. Murid perempuan itu yang melempar bumerang pada Rengganis.
"Sari..., jaga perilakumu! Kamu dan kelompokmu yang mulai membuat keributan terlebih dahulu." teriak Jatmiko mengingatkan Sari.
"Apa urusanmu Jat..? Aku merasa tidak mengganggumu?" sahut Sari dengan sinis.
Rengganis memberi isyarat pada Jatmiko untuk bergeser dan minggir dari tempat tersebut. Dia menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya secara bersamaan.
"Auwww.., sakit." keempat murid perempuan yang menghalangi Rengganis berteriak kesakitan, dan murid laki-laki yang datang bersama Rengganis saling berpandangan. Mereka merasa tidak ada yang melakukan penyerangan pada murid-murid perempuan itu.
Saat orang-orang disitu kesakitan, Rengganis langsung pergi dalam satu lompatan, dan sudah jauh meninggalkan mereka. Jatmiko dan teman laki-lakinya menoleh untuk melihat Rengganis, tapi sudah tidak dapat menemukan siapapun yang ada di dekatnya.
"Kemana perginya Nimas Rengganis?? Ada yang tahu?" tanya Jatmiko.
Kedua teman laki-lakinya menggelengkan kepala, tidak ada satupun dari mereka yang melihat kepergian Rengganis dari situ.
"Gara-gara kalian, kami ketinggalan Rengganis." teriak Jatmiko dan teman-temannya sambil meninggalkan keempat murid perempuan yang masih merasa kesakitan. Sedikitpun mereka tidak memiliki rasa kasihan pada murid-murid perempuan itu.
***********
Rengganis dengan gesit melompat dari satu dahan ke dahan yang lain, dan binatang maupun ranting yang dia pikir menghalangi langkahnya, langsung dia singkirkan. Rasa kangen dengan Wisanggeni, bercampur dengan emosi gangguan dari murid-murid perempuan menghilangkan akal sehatnya.
Dari atas tebing, terlihat lembah yang menghijau di bawah, dan diatas sebuah batu besar, Rengganis mengambil posisi duduk meditasi. Dia mengawali dengan mencoba mengosongkan pikiran duduk bersila dan memejamkan mata. Nafas panjang dia ambil, kemudian perlahan dia hembuskan.
"Syukurlah dengan cepat Nimas Rengganis segera bisa mengendalikan emosinya kembali. Aku bisa mengawasinya dengan tenang." dari atas puncak pohon tertinggi, Ki Narendra tersenyum melihat Rengganis.
"Ada orang lain disini, siapa dia." Ki Narendra mengambil sikap siaga, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tebing dan Mata air.
Dalam sebuah gua yang tidak jauh dari tebing, Ki Narendra melihat ada seseorang orang yang sedang duduk dengan sikap sempurna.
"Siapa dia.., tapi sepertinya laki-laki paruh baya itu sudah lama tidak terusik disitu. Aku pikir dia tidak akan mengganggu proses semedi Nimas Rengganis. Tetapi aku harus tetap mengawasinya dari jauh."
**********
"Subali..., istirahatlah dulu! Kita hanya bermalam sementara di tempat ini. Tadi dari atas tebing, aku sudah melihat ada pemukiman terdekat dari hutan ini. Besok kita datang dan bermalam disana. Makanan rumahan yang tidak bisa aku lupakan." Wisanggeni meminta Subali yang dari tadi hilir mudik di sekitar situ.
"Tapi kalau ada musuh gimana Tuan? Masak tidak ada yang berjaga-jaga?" Subali masih mencoba untuk bertahan.
"Apakah kamu membawa barang berharga Subali?" tanya Wisanggeni.
Subali berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala.
"Tidak Tuan.., hanya ada beberapa keping uang. Hasil kerja saya sebagai tentara bayaran."
"Lihatlah Nimas Laras disana .. Jangan kamu khawatirkan keselamatan kamu jika baru bersamanya. Jarak puluhan kilometer dari sini, dengan mudah akan dia endus. Jadi kita pasti aman jika sedang bersamanya." Wisanggeni menunjuk ke Larasati yang sedang melatih pernafasannya.
"Benarkah Tuan?" Subali seakan tidak percaya.
"Benar .., bersemedilah di dekatnya, maka kamu akan aman bersamanya. Aku akan pergi dulu dalam waktu tiga hari, jika sampai hari ketiga, aku belum sampai disini. Pergilah, tinggalkan aku dengan Nimas Larasati." belum sampai Subali memberikan jawaban, Wisanggeni sudah melesat pergi. Sambil bergidik, Subali langsung menyusul dan mendatangi Larasati.
Sekitar satu putaran dupa melompat dan berlari, Wisanggeni sampai di tempat yang sudah dia temukan dari tadi siang. Satu buah batu lebar yang pipih, dan ada juga batu panjang seperti lingga sudah dia incar dari tadi siang untuk dia jadikan tempat untuk melakukan semedi.
Baru saja kakinya menapak sejauh lima langkah, angin kencang menerpa Wisanggeni yang nyaris membuatnya terjengkang. Dengan sigap, Wisanggeni berusaha untuk menguatkan pertahanannya.
"Angin dari mana ini?? Pohon-pohon saja tetap tegak berdiri, dan sedikitpun tidak ada yang bergoyang." Wisanggeni berpikir sendiri.
Dia melanjutkan lagi langkahnya, dan karena dia sudah menyiapkan fisiknya dia bisa tetap berdiri. Dengan berat dan tertatih, laki-laki itu kembali menaiki tangga dari batu untuk menuju ke atas batu. Tiba-tiba Wisanggeni merasakan tanah tempat dia berpijak seperti diguncang gempa. Untuk menahan guncangan yang sangat besar itu, dia kemudian duduk bersila dan mengatur pernafasan.
"Roar....." dalam posisinya, Wisanggeni melihat ada seekor singa dengan mata yang tajam menatapnya.
"Pergilah singa.., aku tidak akan mengganggumu!! Aku hanya ingin menggunakan batu pipih ini untuk berlatih meningkatkan kekuatanku." ucap Wisanggeni lirih pada singa yang sedang menatapnya.
"Auuummm..." singa besar itu malah mengaum, dan dari aumannya, menimbulkan gelombang suara yang memberikan tekanan pada Wisanggeni.
Laki-laki itu tetap bertahan dari semua tekanan yang ditimbulkan oleh Auman dari singa besar tersebut. Waktu demi waktu terus berjalan, sampai hari kedua, Wisanggeni masih bertahan untuk menerima gelombang yang dipancarkan oleh singa. Malam berganti pagi, pagi berganti siang dan malam tidak dirasakan oleh laki-laki itu.
"Bangunlah Wisang..., naiklah ke atas batu itu!!! Serap semua energi yang dialirkan oleh alam ini, menjadi bagian dari kekuatanmu!" Wisanggeni dibangunkan oleh suara bisikan laki-laki tua, yang terdengar jelas melalui telinganya.
Seperti mendapatkan energi baru, laki-laki itu dengan cepat membuka matanya. Tetapi dia tidak melihat siapapun di sekitarnya, bahkan singa yang tadi ada di depannya juga sudah tidak ada. Wisanggeni berusaha berdiri untuk naik ke atas batu yang berada di puncak. Tetapi dia hanya merasa lemas, semua daya seperti hilang tersedot.
Dia kembali duduk dan mengatur pernafasannya kembali. Setelah istirahat beberapa saat, dia dengan merangkak menaiki tangga satu demi satu. Berbagai gangguan yang muncul untuk menghalangi langkahnya, dia singkirkan dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Hampir satu malam dihabiskan Wisanggeni hanya untuk menaiki tangga terakhir. Akhirnya tepat di saat fajar menyingsing, dengan berjalan tengkurap menahan rasa sesak dan sakit, Wisanggeni berhasil naik ke atas batu tersebut.
************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 495 Episodes
Comments
Black Prime
berjalan tengkurap maksudnya gimana ya thor??
2022-08-22
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
masih coba bertahan di sini... mulai sedikit bosan sih. tp kita coba lagi..
2022-03-26
6
Jimmy Avolution
Nice....
2022-02-20
1