Sang Petarung
“Huh…, hanya segitu kemampuanmu Wisang? Keluarkan kekuatanmu yang selama ini kamu banggakan, saat ini kekuatan yang kamu miliki tidak lebih dari anak usia 5 tahun!” tampak seorang anak muda yang bernama Sentono mencemooh kekuatan Wisanggeni, saat mereka terlibat adu pertarungan. Adu kekuatan dengan bertarung memang sering dilakukan di Klan Birowo saat mereka berlatih bersama.
“Ha..ha..ha.., selalu kalah, dan kalah lagi si Wisang.” suara ejekan dan gemuruh seperti tawon muncul di area tersebut, yang dilontarkan oleh saudara-saudara sepadepokan.
“Kemana hilangnya kekuatan Wisanggeni, dan apakah itu tidak berarti memalukan Tuan Mahesa?”
“Iya, apakah anak muda itu sedikitpun tidak memiliki rasa malu terhadap kedua kakaknya. Kakaknya yang pertama Wijanarko sudah menjadi Ketua Klan di wilayah Barat.”
Wisanggeni hanya tersenyum saat saudara seperguruannya itu mencemooh, dia tidak terpancing emosinya. Dia hanya mengambil nafas dalam, saat rasa nyeri muncul di ulu hatinya. Sebelum kekuatannya hilang, dulu Sentono berada jauh dibawahnya jika mereka melakukan latihan adu kekuatan, tetapi saat ini baru saja tahap pemanasan, Wisanggeni sudah jatuh terkapar kena tendangan Sentono.
Seorang laki-laki paruh baya berjenggot, datang menghampiri Wisanggeni, dan membantunya untuk berdiri kembali. Kemudian laki-laki tua yang bernama Hapsoro itu mendudukkan Wisanggeni di dhingklik atau kursi kecil tanpa sandaran yang terbuat dari kayu.
“Yah, mau bagaimana lagi? Aku juga merasa sudah berusaha untuk berlatih, tetapi seperti ada yang menghambat dalam peredaran darahku. Energi yang akan aku keluarkan seperti mampat tidak mau keluar.” keluh Wisanggeni sambil tersenyum kecut pada Hapsoro, abdi dalem yang sudah mendampingi dan merawatnya sejak dia masih kecil.
“Sabar Den Bagus, mungkin pada saatnya, energi Aden akan keluar dengan sendirinya. Mungkin belum saatnya dikeluarkan oleh Yang Maha Punya.” dengan sabar dan pelan, Hapsoro menenangkan perasaan Wisanggeni.
“Iya paman, aku selalu berusaha untuk berprasangka baik dengan kekuatan yang dianugerahkan oleh Ilahi. Terkadang memang muncul sedikit rasa kecewa juga. Tetapi Wisang tetap akan terus berlatih paman, dan tidak boleh cepat putus asa.” Sedikit merasa tidak enak hati dengan respon dari pengasuhnya sejak kecil, Wisanggeni berusaha membesarkan hati Hapsoro.
“Paman pijat sekarang ya Den, agar persendian Aden saat bertarung tadi, dapat segera longgar. Nanti malam, Aden bisa istirahat dengan nyenyak.”
“Tidak perlu Paman Hapsoro, Wisang baik-baik saja kok. Wisang pergi dulu ya paman, mau jalan-jalan dulu mencari udara segar di pinggir sawah.”
“Oh iya, hati-hati di jalan ya Aden! Jangan pergi jauh-jauh, khawatirnya sore ini Ketua Klan bangun dari semedinya. Karena Paman hitung, sore ini sudah jatuh pada hari ketujuh.”
“Baik Paman, Wisang jalan dulu.”
Sambil berjalan, Wisanggeni teringat dengan kekuatannya di masa lalu. Untuk anak muda seusianya di Klan Birowo, dia memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Bahkan, dia selalu diminta oleh ayahnya untuk membantu melatih adik-adik dalam klannya. Tetapi, sudah hampir setahun dia kehilangan semuanya. Tiba-tiba kekuatannya seperti ada yang menghisap dan membawanya pergi.
Sesampainya di pinggir sawah, Wisanggeni turun ke pematang sambil merentangkan kedua tangannya ke
kanan dan ke kiri untuk mengambil udara segar. Dia memejamkan matanya, dan merasakan udara segar terasa masuk ke paru-parunya. Setelah menghirup udara segar tersebut, rasa gundah yang sempat mengganggunya seperti hilang terbawa hembusan nafas keluarnya.
“Kang Wisang.., tunggu Rengganis kang!” tiba-tiba Wisanggeni dikejutkan oleh teriakan perempuan. Dia menoleh ke belakang, dan melihat Rengganis mulai turun ke pematang sawah.
Wisanggeni tersenyum dan menunggu kedatangan gadis cantik itu.
“Akang mau kemana, kenapa jalan sendiri? Biasanya ajak-ajak Rengganis.” protes gadis itu.
“Akang lagi pingin sendiri Anis, mau cari udara segar. Anis mau ikut akang?”
“Mau kang, memangnya mau kemana?”
“Akang mau ke punthuk itu, disana udaranya segar sekali. Kita bisa duduk di atas dahan pohon trembesi yang tumbuh itu!” sahut Wisanggeni sambal menunjuk Punthuk yang ada di tengah sawah.
Rengganis melihat ke arah punthuk yang sangat rindang, kemudian gadis itu menganggukkan kepalanya. Wisanggeni dan Rengganis menyusuri pematang sawah dengan hati-hati menuju ke punthuk. Wisanggeni berjalan di belakang Rengganis, sambil sesekali melempar burung yang mengambil hasil panen petani di sawah.
******************
“Kang Wisang kecewa ya dengan hasil pertarungan tadi?” dengan hati-hati Rengganis menanyakan pada Wisanggeni sambal menatap wajah laki-laki muda di depannya.
Hanya Rengganis yang tidak menjauhi Wisanggeni karena hilangnya kekuatan, dia tetap berteman dan selalu berusaha mendekati pria itu. Sebenarnya Rengganis tidak memiliki darah dari Klan Birowo, tetapi orang tuanya menginginkan dia untuk menuntut ilmu di klan tersebut. Belajar ilmu kanuragan di klan tersebut, sebagai persiapan awal kekuatan Rengganis untuk dikembangkan lebih lanjut di klannya nanti.
“Kenapa Anis bertanya seperti itu sama Akang? Yah, kecewa ada sih sedikit. Tetapi ya mau gimana lagi.
Akhirnya harus bisa menerima, karena akang yakin jika semua sudah digariskan oleh Ilahi.”
Wisanggeni menjawab sambil tatapan matanya diarahkan ke depan. Dia tidak mampu menatap mata gadis di depannya itu. Seorang gadis cantik dengan sepasang mata yang indah dan jernih, yang selalu menjadi sasaran para pria di Klan Birowo.
“Mungkin Akang baru mendapatkan ujian, tetapi Anis yakin, suatu saat Akang menunjukkan kekuatan Akang yang hilang. Pada saatnya, orang-orang yang saat ini mengejek Akang, akan merasa malu telah menganggap rendah Akang selama ini.” kata Rengganis, sambil menyandarkan kepalanya di bahu Wisanggeni.
Wisanggeni menengok sebentar ke arah Rengganis, kemudian tersenyum dan kembali menatap hamparan sawah di depannya.
“Kamu tidak malu untuk berteman denganku Anis? Kamu berteman dengan anak muda yang tidak memiliki kekuatan apapun.”
“Untuk apa Anis harus malu kang? Waktu Anis lahir, sedikitpun tidak ada kekuatan yang Anis miliki. Anis merasa senang saja, jika selalu berada di dekat akang. Hanya Akang di Klan Birowo yang membuat Anis merasa betah. Anis merasa memiliki kakangmas yang baik, yang selalu menghibur dan mendampingi Anis.”
Mendengar perkataan gadis cantik itu, hati Wisanggeni merasa damai dan sejuk. Sesekali tangan Wisanggeni
menyingkirkan rambut panjang gadis itu yang terkena angin dan menutup wajah cantiknya. Awal kedekatan hubungan antara Wisanggeni dan Rengganis, terjadi saat Rengganis pertama kali ditinggalkan keluarganya di Klan Birowo. Setiap hari Wisanggeni yang menemaninya berlatih dan melakukan kegiatan apapun. Jika ada orang yang mengganggunya, mereka akan lari ketakutan karena datangnya Wisanggeni. Bahkan pada malam hari, Wisanggeni selalu berada di kamarnya, dan baru akan pergi jika Rengganis sudah tertidur. Rengganis tersenyum sendiri mengingat masa-masa kecil mereka.
“Kenapa tersenyum Anis? Apakah ada yang lucu atau menarik hatimu?” dengan lembut Wisanggeni bertanya pada gadis di bahunya itu.
“Tidak apa-apa Kang, kebetulan Anis lagi pingin tersenyum saja.” kata Rengganis dengan pipi memerah tersipu malu.
****************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 495 Episodes
Comments
Dewa Koplak
kliatane kok menarik critane
lanjutttttt
2022-07-30
0
Dedy Hermanto Saputra
identik dengan kekuatan besar tapi tersegel😔😔
2022-07-18
1
OM Sigit
👌👍👍
2022-07-15
0